Bab 7. Kejutan Di Ruang CEO

1086 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kebanyakan karyawan sudah bersiap-siap meninggalkan kantor, termasuk Yaya dan Ola yang baru saja menyelesaikan tugas magang mereka di divisi keuangan. Suasana kantor mulai lengang, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk di depan komputer mereka. Yaya duduk di salah satu kursi dekat pintu lift sambil menopang dagu, wajahnya tampak cemberut. “Aduh, Ol, gimana nih? Motor Yaya kan masih dibawa sopirnya Om Pasha buat dibetulin. Tapi sampai sekarang nggak ada kabar! Kalau pulang nggak bawa motor, ayah Yaya bisa marah besar,” keluh Yaya. Ola melirik sahabatnya yang gelisah itu. “Sabar, Yaya. Mungkin nanti malam atau besok baru ada kabar. Kalau nggak, 'kan bisa bareng aku dulu ke rumah.” Yaya menggeleng cepat. “Nggak bisa, Ola. Nanti ayah pasti curiga kenapa motor Yaya nggak ada. Aduh, repot banget deh!” Ia mendengus sebal, lalu matanya melirik ke koridor yang sejak siang tadi membuatnya penasaran. Itu adalah koridor yang katanya menuju ruang CEO dan tim eksekutif, tempat Pasha berada. “Apa Yaya harus ke ruangannya Om Pasha aja, ya? Siapa tahu motornya udah selesai, tapi dia lupa ngabarin,” gumam Yaya sambil berdiri. “Eh, Yaya, jangan nekat!” Ola langsung menarik lengan sahabatnya. “Kan udah jelas-jelas dilarang ke sana. Kita nggak punya kepentingan apa pun.” Yaya tersenyum lebar, menepuk bahu Ola pelan. “Tenang, Ola. Ini demi keselamatan motor kesayangan Yaya. Lagian, cuma sebentar kok. Yaya cuma mau tanya aja.” Gadis itu mengerlingkan matanya sebelum meninggalkan sahabatnya. Ola menghela napas panjang. Ia tahu percuma melarang Yaya kalau gadis itu sudah punya niat. “Ya udah, tapi jangan lama-lama. Kalau ketahuan, aku nggak ikut tanggung jawab, ya.” “Siap, Kapten!” Yaya memberi salam hormat dengan gaya bercanda, lalu melangkah santai menuju koridor terlarang itu. “Semoga aja nggak ada kehebohan baru,” gumam Ola sendiri sembari menggeleng-ngeleng. Koridor yang sepi itu terasa sangat berbeda dibandingkan suasana kantor di lantai lainnya. Dinding kaca dengan lampu-lampu redup membuatnya tampak mewah dan eksklusif. Yaya melangkah dengan hati-hati, matanya mengamati setiap detail di sekitarnya. Beberapa karyawan yang masih bekerja di kubikel-kubikel menatapnya sekilas, tapi tak ada yang berkata apa-apa. Menegurnya pun juga tidak. “Wah, keren banget ya di sini,” gumam Yaya sambil terus berjalan. Hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah pintu besar dengan plakat yang tertempel dengan bertuliskan 'Ruang CEO Grup Green Citra'. Mata Yaya berbinar. “Ketemu juga ruangannya Om Pasha!” Senyum ala kuda menghiasi wajah cubby gadis itu. Ia memutar tubuhnya, memantau sekeliling seperti maling yang mencari celah aman. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan, Yaya perlahan membuka pintu ruangan tersebut. “Surprise, Om Pasha!” seru Yaya riang saat melangkah masuk. Namun, langkahnya langsung terhenti, dan matanya membulat lebar. Di depan meja kerja, terlihat Pasha duduk di kursinya. Tapi bukan itu yang membuat Yaya terkejut. Ada seorang perempuan cantik dengan rambut panjang terurai yang sedang duduk di pangkuannya. Mereka tampak sangat mesra—bahkan Yaya yakin tadi sempat melihat mereka berciuman. Tas kecil yang Yaya bawa terjatuh ke lantai dengan suara berdebum. Pasha dan perempuan itu langsung menoleh ke arahnya. Perempuan itu terlihat bingung, sementara Pasha memijat pelipisnya, jelas kesal dengan kehadiran tak terduga Yaya. “Oh. My. God!” seru Yaya dramatis sambil menunjuk mereka. “Om Pasha, ini kantor, lho! Kok bisa-bisanya ciuman di sini? Nggak malu sama karyawan lain?” Pasha dengan wajah geram berkata. “Yaya! Kamu ngapain di sini? Kenapa bisa ada di ruangan saya!” Yaya yang tidak terintimidasi, malah berjalan mendekat. Ia menarik lengan perempuan cantik itu, membuatnya berdiri dari pangkuan Pasha. “Dan kamu, Mbak! Kok bisa sih pacaran di kantor? Kamu nggak tahu ini ruang kerja?” Perempuan itu—yang ternyata bernama Mecca Shafira, seorang artis ternama—terlihat sangat terkejut. “Maaf, Ade ini siapa?” tanya Mecca, menatap Pasha dengan tatapan bingung. Pria itu yang masih geram turut beranjak dari kursi kebesarannya. “Perkenalkan,” ujar Yaya sambil berdiri tegap. “Aku Yaya, calon istrinya Om Pasha yang cantik dan imut ini!” Mata Yaya mendelik-delik. “Apa?!” seru Mecca dan Pasha hampir bersamaan. Wajah Mecca memerah, sementara Pasha tampak seperti ingin meledak. “Yaya, diam!” Pasha mendekat, meletakkan tangan di mulut Yaya untuk membungkamnya. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Mecca dengan wajah yang berusaha tenang. “Mecca, jangan dengarkan dia. Yaya ini cuma keponakan jauh dari papaku. Dia kebetulan lagi magang di sini.” “Keponakan jauh?” Mecca mengerutkan dahi, masih belum sepenuhnya percaya. “Iya,” jawab Pasha dengan tegas. “Dia ini memang suka asal bicara. Maafkan aku kalau ini mengganggu kamu.” Yaya yang tangannya sibuk mencoba melepaskan tangan Pasha dari mulutnya, akhirnya berhasil berbicara. “Tapi, Om Pasha, ‘kan kita cocok banget. Om nggak lihat chemistry kita? Tahu nggak Mbak, Om Pasha ini suka loh sama Yaya, dan Om Pasha itu perhatian banget loh sama Yaya! Kayak tadi pagi aja mobilnya Yaya tabrak, tapi dia nggak marah sama sekali. Coba, siapa lagi yang begitu perhatian?" “Yaya!” Pasha membentak dengan nada rendah, tapi cukup tajam untuk membuat Yaya terdiam. Mecca masih terlihat bingung, tapi ia mulai tersenyum kecil. “Jadi, dia cuma keponakan jauh yang lagi magang? Kenapa dia bilang calon istri segala dan bilang Kak Pasha suka sama dia ini?" “Dia memang suka ngelantur, agak nggak waras, Mecca,” jawab Pasha sambil menghela napas. “Maafkan, Mecca. Dia nggak tahu apa yang dia bicarakan.” Mecca akhirnya tertawa kecil, lalu menatap Yaya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu lucu juga, ya. Tapi sayangnya, aku ini tunangannya Pasha.” Perempuan itu mengulum senyum hangatnya, lalu memeluk lengan calon suaminya. Mendengar kata tunangannya, Yaya tertegun sejenak. Tapi seperti biasa, ia cepat memulihkan diri. “Tapi siapa tahu, ya, ‘kan, Mbak. Jodoh itu nggak ada yang tahu! Sekarang boleh jadi ... Mbak-nya jadi tunangan Om Pasha, tapi tahun depan Yaya yang jadi istri Om Pasha.” Pasha langsung memijat pelipisnya lagi, merasa frustasi. “Yaya, cukup. Sekarang keluar dari ruangan ini, sebelum saya benar-benar marah.” Yaya melirik Pasha, lalu Mecca, dan akhirnya mengangkat bahu. “Oke, oke. Tapi, Om Pasha, inget ya. Yaya nggak akan menyerah!” Pasha hanya bisa menggelengkan kepala melihat kepergian Yaya. Sementara itu, Mecca tersenyum geli. “Sepertinya kamu harus hati-hati, Pasha. Keponakan jauhmu ini cukup ambisius.” “Dia bukan ancaman,” jawab Pasha dengan nada tegas. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa Yaya akan terus menjadi sumber masalah—dan entah kenapa, ia merasa itu baru permulaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN