Rafiq masih mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan oleh saudara jauhnya yang sering ia panggil ‘Om.’ Bagaimana mungkin anaknya mau dilamar, sementara yang pria sudah bertunangan dan dalam waktu enam bulan lagi akan dilaksanakan pernikahan.
“Maaf Om, sepertinya aku tidak akan bisa menerima niat baik Om. Pasha sudah memiliki calon istri, dan juga sudah bertunangan dengan Mecca. Jadi sangat tidak memungkinkan Om melamar Yaya untuk Pasha,” ujar Rafiq menolak secara halus.
“Dan, pastinya Pasha tidak akan menyetujui perihal ini. Lagi pula belum tentu Pasha menyukai Yaya. Satu lagi, sifat Yaya masih kekanakannya, rasanya amat memalukan jika Yaya bersanding dengan Pasha dan menjadi menantu Om.” Dengan terpaksa Rafiq merendahkan Yaya di depan Emir, demi niat tersebut tidak diseriuskan. Walau dalam kenyataan, dibalik Yaya yang agak oneng dan sedikit barbar, prestasi di kelasnya sangat baik dan anaknya mudah belajar dalam segi hal apa pun. Tidak bisa dianggap semena-mena.
“Pasha dan Mecca baru bertunangan, belum menikah. Dan masalah rasa suka itu bisa hadir dengan seiringnya waktu. Kamu juga jangan terlalu merendahkan anakmu sendiri yang cerdas itu. Om sering melihat nilai akademiknya, dan tidak bisa disepelekan, “ ungkap Emir dengan lirikan matanya penuh selidik.
Rafiq tidak bisa berkutik, ia pun baru teringat jika Yaya sekolah di yayasan milik Emir, jadi setiap per-semester pasti menerima nama-nama siswa/siswi yang berprestasi untuk mendapatkan uang saku , dan nama Yaya selalu masuk dalam peringkat tiga besar.
“Lalu, mengapa Om menginginkan Yaya dilamar? Apa Om menginginkan Pasha melakukan poligami?” tanya Rafiq semakin penasaran.
“Kalau sekiranya Pasha ingin berpoligami, sebaiknya jangan pilih Yaya, Om. Aku tidak menginginkannya,” lanjut kata Rafiq.
Emir menarik punggungnya dari sandaran sofa, tatapannya begitu serius menatap Rafiq. “Dalam keluarga Om, tidak ada namanya poligami. Sebenarnya pertunangan Pasha dengan Mecca tidak Om setujui, tapi semuanya terpaksa terjadi karena saking bucinnya Pasha pada model itu. Namun, saat melihat putrimu Om semakin yakin, mungkin Yaya bisa mengalihkan perhatian Pasha dari wanita itu. Jadi, Om minta kerja samamu. Om ingin Yaya menjadi menantu Om,” tegas Emir. Rafiq dibuat tercenung.
Banyak hal yang tidak bisa diungkapkan mengapa Emir tidak menyetujui hubungan putranya dengan sang model ternama. Setidaknya, sekarang ia menemukan solusi berdasarkan apa yang ia lihat tadi pagi.
Kembali ke rumah sakit, Yaya masih menunggu Pasha menembus obatnya. Sehubungan ia tidak membawa ponselnya, akhirnya gadis itu hanya diam melamun terkadang melihat orang lalu lalang.
“Loh, Yaya!” seru seorang pria yang tampaknya terkejut melihat sosok Yaya. Pemuda itu lantas mendekati untuk memastikan tidak salah panggil.
Sementara Yaya yang berasa dengar ada yang memanggilnya, ia pun menolehkan wajahnya.
“Eh, Kak Bian!” seru Yaya tercengang melihat kakak kelasnya yang sudah jadi alumni dua tahun yang lalu.
“Ah, benar yang kuduga kalau kamu, Yaya. Sudah lama kita tidak ketemu, “ jawab Bian tersenyum hangat.
Gadis itu pun membalas senyum hangat pemuda itu dengan sikapnya yang malu-malu. Pesona tampan kakak kelasnya semakin menjadi dan terlihat dewasa.
“Kamu sakit, Ya?” tanya Bian sembari memperhatikan kaki Yaya yang diperban.
“Iya Kak Bian, kaki Yaya terkilir. Kak Bian ke sini juga lagi sakit?” Yaya balik bertanya.
“Gak sakit, tadi habis ngantar teman yang pingsan di kampus. Eh, kamu sendiri aja di sini, tidak ada yang mengantar?” Bian melirik ke kiri dan ke kanan Yaya.
“Diantar sama saudara kok, sekarang orangnya lagi ambil obat,” jawab Yaya.
Pemuda itu tersenyum kembali. “Kalau begitu bolehkan kalau aku temani kamu di sini. Kebetulan aku belum buru-buru balik ke kampus. Lagian kita udah lama tidak ketemu,” pinta Bian seraya duduk di kursi tunggu yang kebetulan kosong, pas di sebelah kursi roda Yaya.
“Eh.” Tiba-tiba saja Yaya gelagapan menanggapinya, hal yang tidak terduga. Dan tidak mungkin pula Yaya menolaknya.
“B-Boleh kok kalau Kak Bian nggak keberatan,” balas Yaya tampak canggung.
“Makasih, Ya.”
Mereka pun berdua melanjutkan obrolannya, lebih banyak bercerita mengenai guru-guru yang masih mengajar di sekolah. Sesekali Yaya pun tertawa ketika Bian menceritakan saat mereka pertama kali berkenalan.
Sementara itu, Pasha yang sudah selesai dari bagian obat. Agak menyipitkan matanya saat dari kejauhan melihat Yaya berbicara dengan sosok yang tidak ia kenal.
“Ck, baru juga ditinggal ambil obat, dia udah menggoda laki-laki lain,” gumam Pasha, berprasangka seperti itu.
Langkah Pasha pun semakin mendekat, dan ia bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa cantiknya Yaya saat tertawa dan tersenyum. Dan tanpa Pasha sadari, ia kembali mengingat saat bibirnya menyatu dengan bibir Yaya, begitu lembut dan amat manis. Tubuhnya pun tergidik seakan ada sengatan listrik.
“Bisa-bisanya aku mengingatnya,” gumam Pasha sendiri, lalu dihempaskan sejauh mungkin bayang-bayang tersebut.
“Yaya, aku boleh minta nomor telepon kamu. Biar silaturahmi kita tidak terputus,” pinta Bian sembari memberikan ponselnya.
“Harusnya itu, Kak Bian bilangnya boleh pinjam seratus nggak, biar silaturahmi kita tidak terputus,” balas Yaya agak terkekeh pelan, lalu menerima ponsel pemuda itu.
Langkah Pasha sudah tiba di hadapan Yaya.
“Yaya, kapan-kapan aku boleh main ke rumah ya. Sekarang kamu udah kelas tiga ‘kan, dan sebentar lagi lulus sekolah, pastinya sudah boleh dong ngapelin kamu?” tanya Bian dengan lirikan matanya sangat berharap. Sejak berkenalan dengan Yaya, Bian sudah ada rasa, hanya saja Yaya selalu mengatakan tidak boleh pacaran sama ayahnya karena masih sekolah. Dan, mumpung bertemu kembali, otomatis Bian kembali memberikan sinyalnya yang sudah terpendam begitu lama.
“Ehmm!” Deheman yang begitu keras mampu menarik perhatian Yaya dan Bian. Mereka berdua lantas menolehkan wajahnya.
“Obat dan tongkatnya sudah saya ambil. Sekarang kita balik,” ujar Pasha dengan rautnya yang begitu dingin.
“Om.”
Bian lantas berdiri, lalu menyapa Pasha dengan ramahnya. “Selamat siang Om, saya Bian temannya Yaya,” ujar Bian memperkenalkan diri dengan tangannya terulur untuk berjabat tangan dengan pria itu.
Pasha hanya melirik sejenak, dan tidak ada niatan untuk menyambut tangan Bian. “Mmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Pasha.
Kening Yaya mengernyit, merasa aneh dengan sikap dingin pria itu, atau memang sejak lahir sudah seperti itu.
“Kita balik sekarang.” Pasha berkata sangat datar sembari memberikan kantong obat pada Yaya, sementara tongkat masih ia pegang.
Yaya kembali menatap Bian. “Kak Bian, ini ponselnya, nanti kita kabar kabari saja ya, soalnya Yaya harus balik ke tempat magang.”
Bian mengangguk paham. “Nanti, aku telepon kamu. Semoga cepat sembuh ya.”
Yaya yang belum menjawab ucapan Bian, kursi rodanya sudah didorongnya menjauh dari Bian. Gadis itu hanya bisa melambaikan tangannya.
“Ck, dasar genit, ngapain juga pakai lambaikan tangan segala sama cowok,” gerutu Pasha pelan.
Yaya mendengar jelas hanya bisa mendesis pelan. "Orang aneh, suka-suka Yaya'lah," balas Yaya agak kesal.