Bab 4. Menyelesaikan Masalah Tabrakan

1159 Kata
Pasha duduk di kursi samping Yaya dan kembali menatap ke depan, setelah berkata dengan tegasnya pada Yaya. Sementara Yaya tampak tersenyum puas. Ola yang merasa tidak nyaman dengan tingkah Yaya, menepuk lengan sahabatnya dari belakang. “Yaya, plis, jangan bikin suasana makin awkward,” bisik Ola dengan nada memohon. Gadis itu lantas menoleh ke belakang. “Apanya yang awkward, Ola? Justru ini kesempatan buat Yaya mengenal lebih dekat calon suami idaman, iya 'kan, Om?” Yaya malah semakin percaya diri, menatap Pasha yang tampak jelas berusaha keras untuk tidak memandang ke samping. Sepertinya Yaya tidak mengindahkan perkataan Pasha barusan. Dewa yang duduk di kursi kemudi hanya bisa menahan tawa. Situasi ini terlalu menggelikan untuknya, meski ia juga tahu, jika salah sedikit saja, Pasha bisa saja meledak kapan saja. Dengan suara pelan, Dewa mencoba mencairkan suasana. “Pak Pasha, mau langsung ke kantor atau mampir dulu ke bengkel buat urus motor itu, atau jadi ke kantor polisi?” tanya Dewa sambil melirik Pasha melalui kaca spion. Pasha mendengus. “Langsung saja ke kantor. Urusan motor itu, serahkan ke Ali, setelah itu baru ke kantor polisi. Dan kamu,” ujar Pasha sambil menoleh setengah ke samping, menatap Yaya dengan tajam, “Jangan sembarangan menyebut saya calon suami. Kalau sekali lagi kamu sebut itu, saya tidak segan menurunkanmu di jalan,” ancamnya. Yaya yang awalnya ingin membalas, mendadak tersentak. Tatapan Pasha terlalu tajam untuk dibalas dengan candaan. Tapi bukannya mundur, ia malah berusaha mengalihkan situasi dengan gaya khasnya. “Oh namanya Pasha,” gumam Yaya pelan. “Om Pasha ini galak amat sih, tenang dong. Nanti cepat tua loh, hehehe,” ujar Yaya sambil tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. Ola yang duduk di belakang hanya bisa memutar bola mata. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa tegang, kecuali Yaya yang terus saja bicara tanpa peduli. Dari cerita tentang sekolahnya, magang yang harusnya sudah dimulai pagi ini, hingga protes tentang bagaimana mobil mewah seperti milik Pasha tidak berusaha ke jalur sebenarnya ketika melihat motor yang ia kendarai. “Om, ngomong-ngomong, kerja di mana sih? Mobilnya keren banget. Pasti orang penting, ya? Wah, cocok banget deh kalau Yaya jadi calon istri Om. Bisa jadi bos juga nanti,” kata Yaya tanpa jeda. Pasha menarik napas panjang, matanya menatap jalan lurus ke depan. Namun, di dalam pikirannya, ia mulai bertanya-tanya, dari mana gadis kecil ini mendapatkan keberanian untuk berbicara seperti itu. Dia terlalu percaya diri. Atau terlalu bodoh? pikir Pasha sambil mengetukkan jemarinya di sandaran lengan jok mobil. Ola yang sudah merasa malu, berbisik lagi ke Yaya. “Ya, Yaya! Plis banget deh, jangan ngomong sembarangan. Kita ini cuma siswa magang, inget!” Yaya menoleh ke Ola dengan ekspresi datar. “Justru itu, Ola. Kita harus kenal dengan orang penting biar magangnya gampang. Apalagi kalau nanti Yaya nikah sama Om ini, Yaya nggak perlu repot cari kerja lagi.” Setenang itu Yaya berkata padahal sejak tadi Pasha tidak menjawab kerja di mana, dan pria itu pun tidak mau tahu gadis itu magang di perusahaan mana. Pasha akhirnya tidak tahan lagi. “Diam, kalian berdua!” bentak Pasha dengan nada keras, membuat Yaya dan Ola serentak terdiam. Dewa yang ada di kursi depan menoleh dengan ekspresi kaget, tapi ia segera kembali fokus pada kemudi, bisa-bisa malah nabrak kendaraan lain yang ada di depannya. Sepanjang perjalanan setelah itu, suasana menjadi hening. Yaya, meski sebenarnya ingin berbicara lagi, memilih diam karena tatapan Pasha yang terlalu menakutkan. Ola, di sisi lain, berdoa dalam hati agar perjalanan ini segera berakhir. Setibanya di kantor, Pasha keluar dari mobil lebih dulu, diikuti oleh Dewa. Sementara itu, Yaya dan Ola masih duduk di dalam, saling pandang dengan bingung. “Kita ngapain, Ya?” tanya Ola. “Ya keluar’lah. Nggak mungkin juga kita diem di sini terus,” jawab Yaya dengan nada sebal, lalu membuka pintu dan melangkah keluar dengan percaya diri. Di depan pintu masuk gedung, Pasha sudah menunggu dengan tangan bersedekap. “Kalian ikut saya,” pinta Pasha singkat, padat, tegas, sebelum melangkah masuk ke dalam gedung. Yaya dan Ola saling pandang lagi sebelum akhirnya mengikuti langkah Pasha. “Lah, Ola ini'kan perusahaan tempat kita magang,” ujar Yaya baru menyadarinya. Ola langsung melihat jelas nama perusahaan Grup Citra Gree terukir jelas saat masuk lobby. Di dalam gedung yang megah itu, Yaya tidak bisa menahan rasa takjubnya. “Wah, keren banget tempatnya, Ola. Ini kantor ayah Yaya, tapi Yaya baru beberapa kali masuk ke sini, tapi itu juga waktu masih kecil.” Ola hanya mengangguk kecil, masih merasa canggung dengan situasi yang mereka hadapi. Di sisi lain, Dewa yang berjalan di belakang mereka berdua tersenyum simpul, merasa kasihan sekaligus terhibur dengan tingkah mereka. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruang rapat kecil. Pasha langsung duduk di kursi utama, sementara Yaya dan Ola disuruh duduk di sisi lain meja. Yaya mencoba mengalihkan suasana dengan senyuman lebarnya. “Om, jadi kita di sini buat bahas apa nih? Soal tabrakan tadi atau soal hubungan masa depan kita?” tanya Yaya sambil mengedipkan sebelah mata. Pasha memijat pelipisnya, merasa kehabisan kesabaran. “Kalian di sini untuk mendengarkan. Dan jangan coba-coba bicara hal yang tidak penting,” ujar Pasha dingin. “Dewa, siapkan dokumen ganti rugi untuk motor mereka. Saya tidak ingin urusan ini berlarut-larut.” Sebelumnya, saat Pasha sempat meninggalkan Yaya di tempat kejadian, pria itu mengecek rekaman dasbor di mobilnya, dan, ya, yang salah sopirnya bukan Yaya. Ali pun kena teguran keras darinya. Dewa mengangguk dan segera keluar ruangan untuk mengambil dokumen. Sementara itu, Yaya kembali mencoba mencairkan suasana. “Wah, baik banget deh Om ini. Ternyata di balik wajah dinginnya, hatinya selembut marshmallow. Jadi, Yaya nggak perlu ganti rugi mobil Om, ya? Padahal Yaya siap loh jadi istri Om buat ganti rugi mobil Om yang penyok kok, asal jangan minta uang. Yaya nggak punya uang.” “Cukup, Yaya,” potong Pasha dengan tegas sekaligus jengkel. “Satu kata lagi, dan saya pastikan kamu keluar dari ruangan ini.” Yaya langsung terdiam, meski senyum kecilnya masih terlihat. Ola yang sejak tadi hanya diam, akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Pak, kami minta maaf atas kejadian tadi. Itu semua tidak disengaja, dan kami tidak bermaksud menyinggung Bapak, kok. Ini juga karena kesalahan sopir Pak Pasha.” Ola berusaha terlihat sopan. Pasha melirik Ola sekilas, lalu mengangguk pelan. “Baik. Setelah urusan ini selesai, kalian boleh kembali ke tempat magang kalian. Entah di mana perusahaan yang mau menerima kalian berdua magang. Dan tolong, jangan ulangi kesalahan seperti tadi.” Yaya hanya mengangguk kecil sambil memainkan rambutnya. Meski suasana tegang, di dalam hati ia merasa ada sesuatu yang menarik dari pria dingin ini. Mungkin saja, ini memang calon suami yang dikirim takdir, pikirnya sambil tersenyum sendiri. “Siap Om, kebetulan tempat magang Yaya dan Ola di perusahaan Grup Citra Green ini juga kok. Ayah Yaya'kan kerja di sini. Om kerja di sini juga ya,” balas Yaya, tersenyum lebar. “What the hell! Kamu magang di sini!” Pasha terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN