Bab 3. Calon Suami

1057 Kata
Yaya masih menanti sebuah tanggapan yang terlontar dari bibir Pasha. Apakah menyepakati permintaannya atau selesaikan saja urusan kecelakaan tersebut di tempat perkara kejadian, secara damai? Pasha melirik seragam sekolah yang dikenakan kedua gadis itu, sudah tentu sangat mengenalinya. “Pak, bagaimana? Mau lanjut ke kantor polisi atau mau —“ Dewa belum menyelesaikan kalimatnya, bosnya sudah terlebih dahulu menuju kembali ke mobilnya. Dewa yang tampang bingung lantas mengikutinya begitu juga dengan Ali. “Woy, pada mau ke mana ini?” seru Yaya terkesiap melihat ketiga pria itu malah pergi. “Sebentar,” sahut Dewa dari kejauhan dengan tangannya melayang ke udara. Yaya mencebik, tidak jadi melangkah, pandangan matanya pun menatap sahabatnya. “Yaya, kamu nggak takut apa kalau dibawa ke kantor polisi. Dan, kita ini mau magang loh. Hari pertama udah telat datang, kita bakal nggak enak sama guru pembimbing kita nih, pasti bu Retno udah nyampe di sana.” Ola mengeluh sembari mengusap jok motor. Yaya mendesah pelan. “Tenang aja Ola, tempat kita magang tempat kantor ayah Yaya kerja kok, jadi nanti bisa cincai lah. Dan—“ Gadis itu melirik mobil mewah itu kembali. “Sebenarnya Yaya juga takut sih, Ola, kalau Yaya sampai dibawa ke kantor polisi. Bakal kena omel sama ibu dan ayah. Tapi tenang aja ... Yaya yakin ... Yaya nggak salah kok. Wong, Yaya bawa motornya sesuai jalur. Mobil ini sih kegenitan pakai nyalip ke sebelah kiri, nggak bisa anteng di jalur kanan,” lanjut kata Yaya kesal, iseng-iseng kakinya menendang body mobil bagian belakang yang sudah penyok. “Yaya, eets, jangan ditendang lagi, bisa tambah penyok itu mobilnya!” cegah Ola seraya menarik tangan Yaya agar menjauh dari mobil itu. “Udah nggak pa-pa, Ola, terlanjur penyok, sekalian aja. Lagian masa tuh si Om main tinggalin kita begitu aja, padahal kata Yaya'kan benar, masa mobil mewah kayak begini nggak ada kamera dasbordnya. Lama-lama nih mobilnya Yaya remukkin jadi mobil-mobilan buat si Alpa main di rumah,” balas Yaya kembali menendangnya. Tanpa menyadari Pasha dan Dewa sudah kembali menyambangi Yaya. “Yaya ... Yaya ... stop Yaya,” pinta Ola agak gelagapan dengan menepuk pundak sahabatnya. “Apaan sih, Ola!” seru Yaya seraya mengedikkan pundak agar terlepas dari tepukan sahabatnya. “Anu ... itu loh.” Agak susah payah Ola berkata apalagi pria itu berdiri dengan gagahnya, tatapannya agak menyipit dengan alisnya yang bertautan. Yaya masih saja menendang kesal, tak mengangkat wajahnya sama sekali. “Anu apa sih Ola? Kalau ngomong tuh yang jelas.” “Anu, itu ... yang punya mobil datang,” jawab Ola pelan dengan senyuman kecut saat menatap Pasha. “Oh, udah balik, kirain mau kabur, nggak berani bawa Yaya ke kantor polisi,” balas Yaya dengan santainya, lalu mengangkat wajahnya. Pasha melotot, Yaya tersenyum lebar melihat sosok sang pemilik mobil, merasa tak bersalah. “Ikuti mobil saya!” perintah Pasha dengan suaranya yang begitu berat dan tegas. Alis mata Yaya naik sebelah, lalu melirik motornya yang bagian depannya sudah hancur. “Jalan dari belakang mobil Om?” tanya Yaya seraya menatap pria tampan itu. “Bukan jalan, tapi pakai motor kamu'lah,” balas Pasha dengan jengkelnya. Yaya mendesah, kedua bahunya melorot lemas. “Gimana mau ikut pakai motor, emangnya nggak lihat apa stang motor Yaya oleng, kalau Yaya kecelakaan lagi di jalanan, terus Yaya terluka pasti ibu sama ayah sangat sedih,” gumam Yaya sangat pelan, nadanya terdengar memelas, matanya pun berbinar sendu saat menatap motornya. Pasha yang semakin jengkel menatap Ali yang baru saja ia tegur keras di dalam mobil barusan. “Pak Ali, urus motor bocah ini. Dan kalian berdua ikut dengan saya pakai mobil!” perintah Pasha dengan raut wajah dinginnya. Binar mata Yaya berubah seperti secercah kebahagiaan. “Really Om, Yaya boleh bareng, satu mobil sama Om. Ya Allah, alhamdulillah, calon suami Yaya baik banget, ayo Ola,” ajak Yaya dengan menarik tangan sahabatnya. Dewa hanya bisa mengusap tengkuknya, dengan lirikan aneh pada Yaya. “Pasti hati pak Pasha lagi ngedumel nih,” batin Dewa menebak ke arah sana. Dengan perasaan yang terpaksa Pasha mempersilakan Yaya dan Ola masuk terlebih dahulu. “Helmnya nggak bisa dilepas dulu?” tegur Pasha saat Yaya mau masuk ke dalam mobil. “Eh.” Yaya menoleh ke belakang, senyumannya semakin lebar. “Duh, calon suami untuk ingatin Yaya. Makasih ya, Om,” lanjut kata Yaya sembari membuka kaitan helm, lalu melepaskan helmnya yang sejak tadi dipakainya. Pasha yang semula lagi menahan emosi untuk tidak meluapkan amarahnya pada gadis yang baru ia temukan jenis spesies aneh. Mendadak terkesiap saat melihat Yaya membuka helmnya. Di balik helm, tergerailah rambut coklat yang cukup panjang dengan sedikit bergelombang bak habis ditata rapi di salon. Wajah cantik Yaya semakin jelas dilihat dengan leluasa. Pipi cubby, putih mulus tak ada noda jerawat. Hidung mancung tapi mungil, dan bibirnya berbentuk love merekah. Dewa sampai menelan ludahnya susah payah lihat wajah Yaya. “Aduhai, rupanya cantik sekali,” puji Dewa spontan. Yaya cengengesan lagi, dan Pasha mengerjapkan matanya menghempaskan apa yang baru saja ia lihat. “Cepat masuk!” sentak Pasha dengan ujung matanya yang sinis. “Sabar dong, calon suami, Yaya juga mau masuk nih ke dalam. Atau mau kita masuk bareng-bareng aja, nanti keluarnya juga barengan ya,” goda Yaya dengan mengedipkan mata hazelbrown yang begitu indah. Dewa yang mendengar menepuk keningnya, ada tawa yang tertahan di bibirnya, hanya saja tak bisa keluar karena menghargai bosnya yang semakin kesal dengan Yaya. “Masuk!” Benarkan Pasha mulai mendidih, sejak tadi ia sudah menahan diri menghadapi gadis kecil itu. Dengan santainya Yaya masuk ke dalam mobil, dan duduk di salah satu jok yang ada di bagian tengah mobil, sementara Ola sudah duduk di bagian belakang. Lagi-lagi, Pasha menarik napasnya ketika mau masuk. “Pindah ke belakang, duduk sama teman kamu itu!” Pasha memberikan perintah. Yaya yang sudah terlanjur duduk dengan nyaman, menatap heran pada pria itu. “Om, masa calon istri nggak boleh duduk bersebelahan sih. Lagian bangku ini kosong'kan, jadi nggak pa-pa'kan kalo Yaya duduk sini. Yaya jamin, Yaya nggak gigit Om, kok,” balas Yaya begitu santai, kemudian menyibakkan rambut indahnya. “Tahan emosi Pasha! Jangan bikin masalah sama ini bocah bau kencur,” batin Pasha kembali harus menahan diri. “Jaga ucapanmu, Yaya! Saya bukan calon suami kamu! Mana mungkin juga saya menyukai bocah ingusan kayak kamu, untuk dijadikan istri!” seru Pasha dengan mengangkat dagu angkuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN