Perjalanan kembali ke kantor yang seharusnya menghabiskan waktu 30 menit saja, ini terasa seperti berjam-jam. Seakan sedang perjalanan jauh dari Jakarta ke Bogor, suasana pun hening di dalam mobil, tak ada satu pun yang buka suara. Hanya suara mesin pendingin mobil yang terdengar secara halus. Ada apakah ini?
Ke mana sikap Yaya yang sejak awal terpesona dengan Pasha, dan selalu menyebut kata ‘calon suami Yaya'. Apakah Yaya telah lelah atau lagi mode battery habis? Butuh dichanger?
Lalu lintas siang ini pun tampak padat, berpapasan dengan jam istirahat karyawan. Pria itu mendesah pelan, lalu melirik gadis yang sejak tadi tidak bersuara. Kemudian ia membelokkan mobilnya ke kiri yang seharusnya tetap jalan lurus ke depan. Yaya bergeming, tidak bertanya mengapa jalan yang ditempuhnya berbeda, pikir gadis itu mungkin lewat jalan tikus demi menghindari kemacetan.
Namun, setelah melewati beberapa tikungan mobil yang dikendarai Pasha masuklah ke salah satu bangunan restoran yang cukup mewah, Yaya hanya sekilas memperhatikannya.
“Mau ngapain ke sini?” batin Yaya bertanya-tanya. Mau bertanya pun sudah tak ada minat lagi.
“Saya terpaksa mengajakmu ke sinu. Saya harap kamu bisa menjaga sikapmu, jangan bikin malu,” ujar Pasha saat mobil sudah terparkir rapi.
Yaya menolehkan wajahnya, tampak bingung dengan perkataan Pasha barusan. “Kalau terpaksa mengajak Yaya ke sini. Yaya bisa kembali sendiri, kok.” Akhirnya gadis itu buka suara, lalu melihat barang yang ada di atas pangkuannya. Ia pun mendesah kecewa, baru menyadari jika ia tidak membawa tas, dompet, dan ponsel. Hanya ada kantong obat.
Samar-samar Pasha menyeringai tipis, seakan senang melihat kekecewaan itu yang terpancar di wajah Yaya.
“Ya sudah balik saja sendiri, masih untung saya mengajak kamu ke sini. Tidak menurunkan di tengah jalan,” celetuk Pasha dengan santainya, dan tampak sibuk membuka seatbeltnya.
Yaya menarik napasnya dalam-dalam, lalu menatap pria itu. “Kalau begitu Yaya pinjam uang 100 ribu, nanti Yaya ganti,” pinta Yaya dengan menengadahkan tangannya.
Pria itu berdecih, lalu mengambil dompetnya yang dari balik sakunya jasnya, dan mengeluarkan satu lembar uang merah.
“Besok Yaya ganti,” ujar Yaya setelah menerima uang dari Pasha, kemudian ia bergegas melepaskan seatbeltnya lalu membuka pintu mobil. Kantong obat ia bawa, tapi untuk tongkat tidak bisa ia bawa, karena ada di belakang.
“Hei!” Pasha terkejut melihat gadis itu benar ingin pergi. Ia pun bergegas keluar, lalu memutari mobil, menghampiri Yaya yang susah payah untuk berdiri.
“Kamu mau ke mana?” Pasha menahan lengan gadis itu agar tidak kembali berjalan.
“Loh, bukannya Om menyuruh Yaya balik sendiri? Ya udah ini Yaya mau balik sendiri. Dari pada Yaya ikut dan buat Om malu!” sergah Yaya. Kali ini raut wajah Yaya sangat berbeda, bukan lagi Yaya yang super konyol seperti yang ia lihat kemarin.
“Jangan cari gara-gara kamu dan masalah baru!” sentak Pasha.
“Yaya nggak cari gara-gara kok. Tadi Om nyuruh Yaya, ya udah Yaya lakukan,” balas Yaya.
“Eeh!” Yaya agak terkejut, saat pria itu mengangkat tubuhnya bergeser mendekati pintu mobil bagian tengah.
Tanpa melepaskan rangkulan tangannya pada pinggang Yaya, pria itu membuka pintu tengah dan mengambil tongkat untuk digunakan Yaya.
“Dari tadi nih orang aneh, udah beneran Yaya mau balik sen—“
Uang yang masih berada di tangan gadis itu langsung dirampas Pasha dengan ekspresinya menahan marah, lalu memberikan tongkat pada Yaya.
“Jalan!” perintah Pasha sembari mengunci mobilnya dari melalui remote.
“Jalan ke mana? Ke surga atau ke neraka?” tanya Yaya yang ikutan kesal. Sejak tadi ia sudah memendam rasa sakit hatinya.
Pria itu menarik napasnya dalam saat mata mereka bersirobok. “Ikut saya!” tegas Pasha. Ia pun berbalik badan ke arah pintu restoran tersebut, dan berjalan mendahului Yaya.
Yaya berdecih saat melihat punggung pria itu, kemudian dengan terpaksa ia melangkah perlahan mengikuti Pasha dari belakang, dan berusaha menjaga jarak. Siapa sih yang tidak tersinggung dengan kata-kata peringatan Pasha barusan, Yaya pun tersinggung, dan sebenarnya tidak mau ambil hati, tapi tetap saja masuk ke dalam lubuk hatinya.
Salah satu waiters langsung menyambut kedatangan Pasha, tampaknya pria itu sering ke restoran mewah. Pasha yang tidak membantu memapah Yaya dan merasa tidak ada gadis itu di sampingnya lantas menolehkan wajahnya ke belakang. Ia pun berdecak kesal melihat Yaya menjauh darinya.
“Merepotkan saja,” gumam Pasha pelan, lalu ia melangkah mundur menghampiri gadis itu.
“Lamban sekali jalannya,” ujar Pasha saat ingin menyentuh lengan gadis itu.
Yaya melipat bibirnya, menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak emosinya. Sudah tahu ia butuh perjuangan untuk melangkah dengan salah satu kakinya yang terkilir, dan sudah jelas ia tadi ingin balik sendiri tapi tak ditahan oleh pria itu. Maunya apa sih!?
“Ayo, saya bantu biar cepat jalannya,” kata Pasha.
Yaya menyentakkan tangan Pasha dengan kasarnya. “Tidak perlu, nanti Om akan malu jika bantu Yaya. sebaiknya Om jalan saja duluan. Silakan,” jawab Yaya sangat pelan tapi tegas.
Pasha malah bergeming melihat sikap penolakan Yaya, tapi itu hanya sesaat.
“Kak Pasha!” Terdengar suara wanita memanggil pria itu dengan tangannya melambai-lambai dari kejauhan.
Pasha dan Yaya sama-sama menatap ke sumber suara. Gadis itu tersenyum kecut melihat wanita yang berpakaian minim bahan tampak sudah berdiri diambang pintu ruang VIP.
“Oh, rupanya dia sudah punya janji dengan tunangannya. Dan, Yaya bakal jadi kambing congek di sana,” gumam Yaya tergelak tawa.
Mecca menyambangi calon suaminya, lalu mengecup pipi pria itu di depan pengunjung restoran, ya, termasuk di depan Yaya.
“Sudah dari tadi menunggu?” tanya Pasha terdengar sangat lembut suaranya, tidak seperti saat berbicara dengan Yaya.
“Baru 10 menit sampai kok ... eh tapi kok ada anak ini?” tanya Mecca terlihat kecewa.
“Sorry Mecca, aku terpaksa mengajaknya ke sini. Tadi papa meminta bawa aku membawanya ke rumah sakit, kakinya tadi pagi terkilir di kantor,” balas Pasha menjelaskan.
“Oh.” Bibir Mecca hanya membulat, lalu ia merangkul lengan calon suaminya dengan mesra. Kalau Pasha sudah menyebut kata papa, maka Mecca pun tidak bisa berkutik, demi menjadi menantu yang baik.
"Terpaksa deh harus ada anak ini. Semoga aja dia tidak menggoda calon suamiku," batin Mecca.
“Ya udah ... kalau begitu kita masuk ke dalam, Kak. Aku udah lapar nih,” ajak Mecca dengan suara manjanya. Senyuman Mecca pun penuh arti saat menatap Yaya, seakan sedang memamerkan kepemilikannya.
“Nasib oh nasib,” gumam Yaya tampak pasrah. Ia pun melanjutkan melangkah, tapi ketika ia ingin mengangkat tongkatnya tanpa sengaja ia menyenggol pria yang baru saja masuk.
“Eehh!!” pekik Yaya terkejut, tongkatnya terlepas. Pria yang ia senggol langsung menarik badan Yaya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Pasha yang mendengar teriakan Yaya langsung berbalik badan.
Wajah Pasha memerah! Marahkah atau malu?