08 - Mengikis Jarak

1500 Kata
Berhari-hari aku hidup bersama setan cantik yang kuberi nama Lucy ini. Setelah cukup terbiasa, aku pikir ia tidak terlalu mengganggu juga. Ada kalanya ia bisa berguna. Ia bisa mengusir arwah-arwah jahat yang ada di sekitarku. Selain itu, aku cukup nyaman makan ditemani Lucy. "Kamu berjanji akan membelikanku ayam krispi kan siang ini?" tanya Lucy. Aku melirik ke arah setan cantik yang tengah menggerak-gerakkan kakinya itu. Aku ingat, tadi pagi ia sempat merengek minta dibelikan ayam krispi di kedai yang kami lewati. "Iya, nanti aku pesankan," jawabku. "Sudah hampir jam makan siang. Pesannya sekarang aja nggak bisa? Biar sebelum jam dua belas pesanannya sudah sampai," pintanya. "Nanti, ya? Ini aku lagi tanggung," balasku. Setelah itu, aku tak mengindahkannya lagi. Aku kembali fokus pada tumpukkan berkas di hadapanku. Dan jangan lupakan pula layar komputerku yang masih menampakkan berbagai pekerjaan yang membuat kepalaku terasa pening. 'Takkk' Tanpa sengaja, aku menjatuhkan pulpenku. Namun, saat aku hendak mengambilnya, jidatku malah bertabrakan dengan sesuatu yang dingin. Membuatku meringis karena kaget. "Ish... kamu kok tiba-tiba ada di sini?" Aku menanyai Lucy yang ternyata kini sudah berada di samping kursiku. "Memesan makan. Habisnya nunggu kamu lama. Aku kelaparan, tahu," jawabnya. Aku baru sadar kalau ia kini sudah memegangi ponselku dan memainkannya. Ternyata, dia bisa menggunakan ponsel juga? Tapi tunggu! Memangnya dia tahu pola untuk membuka ponselku? Lalu pin rekening e-wallet ku?? Baru saja aku akan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, ia sudah lebih dulu menyodorkan ponselku. Aku menatapnya bingung. "Cepat ketikan pin e-wallet mu!" pintanya. Aku menghela napas lega. Setidaknya ia belum tahu passwordku yang satu itu. Aku pun segera merebut ponselku kembali. Menjauhkannya dari jangkauan Lucy, lalu mengetikkan pin e-wallet ku guna membayar pesanannya. "211290. Oke, aku akan ingat," girang Lucy. Aku melotot tak percaya. Aku sudah memastikan jika cara mengetikku aman. Harusnya ia tidak tahu. Tapi kenapa ia masih bisa mengetahuinya, bahkan kini langsung hafal? "Bagaimana bisa-" "Ah... jangan lupa kalau aku hantu, Arthur! Jangankan menembus ponselmu, bahkan menerawang warna dalamanmu saja aku bisa!" pekik Lucy dengan begitu bangganya. Apa dia gila? Refleks, aku menyilangkan tanganku di depan d**a. Biasanya, wanita lah yang sering kali merasa dilecehkan. Tapi kali ini keadaannya berbalik. Justru aku yang dilecehkan. Andai yang melecehkanku itu manusia, aku tak akan ragu membawanya ke jalur hukum. Tapi bagaimana ceritanya kalau yang melecehkanku itu bahkan tak bisa dilihat oleh seorangpun? "Tenang saja, aku tidak akan selancang itu kecuali saat tidak sengaja. Lagian kamu tidak perlu malu. Aku kan pernah melihat kamu saat mandi. Yaaaa walau belum full naked tapi kan setidaknya-" "Aku jadi kepikiran untuk memanggil dukun pengusir setan," potongku cepat. Aku segera mengetikkan sesuatu di ponselku. Namun, secepat kilat benda pipih paling berharga milikku itu segera berpindah tangan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Lucy? "Kamu mau mengusirku? Kenapa?" tanyanya dengan nada memelas. Aku berdecak. Setelah apa yang ia lakukan padaku, ia masih bertanya kenapa aku ingin mengusirnya? "Kamu itu hantu m***m. Jangankan hantu. Bahkan manusia saja kalau berani berbuat atau berkata kurang ajar, akan aku pastikan dia akan mendekam di kantor polisi," jawabku. Ia pikir apa lagi? "Aku m***m? Aku kan hanya menginformasikan saja padamu. Lagi pula-" "Lucy, kalau kamu masih mau tinggal, bersikaplah yang baik padaku! Jadilah anak penurut dan jangan macam-macam padaku!" Apakah aku berlebihan? Tapi serius, aku takut dilecehkan oleh hantu satu ini. Paras maupun dompetku lebih dari mampu untuk menggait perempuan cantik di luaran sana. Tapi masa iya, justru akhirnya aku dilecehkan oleh hantu? Meski dia cantik, tapi tetap saja ia hanyalah hantu! Aku tidak bisa terima. Aku harus bisa menjaga diriku dari setan m***m satu ini. Lucy menunduk dengan wajah murungnya. Berusaha membuatku kasihan padanya? "Aku minta maaf," ungkapnya. "Apa?" tanyaku. Aku sengaja memancing agar ia mengulangi ungkapannya dengan lebih keras. "Aku bilang maaf. Aku minta maaf. Aku masih mau di sisi kamu. Cuma kamu yang aku punya," ulang Lucy. Mendengarnya, aku sedikit merasa lega. "Itu artinya kamu berjanji tidak akan berbuat tidak senonoh lagi padaku kan?" tanyaku untuk memastikan. "Termasuk melihatmu mandi?" tanyanya. Aku baru saja hendak menyambar ucapannya. Tapi lagi, ia sudah lebih dulu bersuara. "Bagaimana kalau mandi bersama? Bukankah pria biasanya menyukai hal itu?" Aku melotot tak percaya. Dia benar-benar sepolos ini? Atau dia sengaja ingin menggodaku? "Bagaimana kalau kita sama-sama mau? Maksudnya, siapa yang tahu kalau nantinya kamu akan suka padaku? Bisa saja justru kamu yang berbuat tidak senonoh padaku!" tuduhnya. Aku semakin mendelik. Sepertinya hantu satu ini memang benar-benar gila. "Kamu pikir aku sudi menyentuh makhluk sepertimu di saat ratusan wanita di luaran sana mengantre untuk mendapatkanku?" balasku. Lucy tersenyum sinis. Kuakui, percaya dirinya memang cukup tinggi. "Tapi tidak ada satupun yang lebih cantik dan lebih manis dariku, kan? Akui saja, di antara para wanita yang sedang berusaha kamu pamerkan itu, tidak ada yang sesempurna aku!" Lucy haus pengakuan. Memang, secara penampilan ia cukup unggul. Aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya istimewa. Tapi memang wajahnya seenak itu untuk kupandangi setiap waktu dibanding para w************n yang sering menawarkan diri mereka padaku. Tapi tidak mungkin juga kan, aku tertarik pada hantu? "Sempurna? Andai kamu manusia, masih bisa aku pertimbangkan. Tapi point utamanya di sini adalah, kamu hantu. Dan tidak mungkin juga kita bisa bersama," tegasku. "Kenapa tidak mungkin kalau memang kita bisa saling suka?" "Aku tidak mungkin suka denganmu, Lucy!" tegasku lagi. Memang kata-kataku yang mana yang masih kurang jelas? "Masa depan kita, siapa yang tahu? Aku yakin kok suatu hari nanti kamu pasti akan suka denganku. Bahkan sekarang aja kamu sudah tertarik. Tapi kamu terlalu gengsi mengakuinya. Pokoknya, aku yakin, suatu hari nanti kamu akan cinta padaku," ujar Lucy dengan penuh percaya diri. Aku malas menanggapinya lagi. Aku rasa, semua sudah jelas dan tidak perlu diperjelas lagi. Aku manusia, dan dia hantu. Apapun yang terjadi nantinya, tidak mungkin kami bisa bersama. "Permisi, Pak. Ada titipan untuk Bapak," ujar sekretarisku dari luar. Aku mempersilakan sekretarisnya masuk, dan meletakkan pesanannya di atas meja tamu. "Terima kasih. Kalau begitu kamu boleh keluar," usirku dingin, seperti biasa. "Wah!!! Asyik makananku sampai!" girang Lucy. Dia bisa sesenang itu hanya karena dua porsi ayam krispi yang ia pesan melalui ponselku? Lucy tampak tak sabaran membuka kemasan ayam krispi itu. Bahkan sepertinya ia sudah lupa dengan percekcokan kami sebelumnya. Tapi baguslah. Dengan begitu pembicaraan soal perasaan yang tak mungkin ada itu tidak perlu terus-terusan dibahas. Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi kerja. Melepas sejenak file yang sedari tadi kugenggam. Dalam diam, aku menikmati pemandangan yang kini tersaji di depan mataku. Seorang gadis yang tampak begitu lahap memakan makanan yang kami pesan dengan tangan kosong. Hey lihatlah! Dia bahkan belum mencuci tangannya?! Ah... aku lupa! Dia hantu. Mungkin kuman pun akan merasa ngeri menempeli tangan dingin gadis itu. Jadi tak ada gunanya juga dia cuci tangan. "Kalau pekerjaannya sudah selesai, sini ikut aku makan! Jangan ngelihatin aja! Nanti naksir," godanya. Sialan! Dia pikir waktuku seluang itu untuk terus-terusan memperhatikannya? Aku pun kembali menyibukan diri dengan laptop di hadapanku. Masih ada beberapa file yang harus aku teliti sebelum aku bisa mengambil waktu untuk istirahat makan siang. Aku terlalu asyik dengan kegiatanku, hingga tak sadar kapan gadis ini berpindah ke sampingku. Lucy, datang sambil menyodorkan sepotong ayam ke mulutku. "Kamu cicipi dulu deh! Enak, tahu?! Siapa tahu aja nanti kamu suka terus pesan lagi," ujar Lucy. Aku menggeleng. "Nanti saja aku bisa makan sendiri," tolakku. "Aaaa ..." Lucy menghentak-hentakkan kakinya manja sambil tersenyum menggoda. Tangan kanannya juga sudah bergerak semakin mendekati mulutku. Tak bisa menghindar, akhirnya aku menerima suapannya itu. Aku membuka mulut, lalu menggigit ayam yang Lucy sodorkan padaku. Rasanya biasa saja. Seperti ayam krispi pada umumnya. Gadis ini ternyata juga sedikit berlebihan. "Enak kan?" tanyanya. "Biasa saja. Rasa ayam krispi memang seperti ini dari dulu," jawabku seadanya. "Masa sih? Menurutku ini enak," gumamnya. Hal yang membuatku menganga adalah, saat melihat gadis itu dengan santainya menggigit bekas gigitanku di ayam yang ia pegang. Apa itu tidak apa-apa? Maksudku, apa ia tidak merasa jijik memakan bekas gigitanku? Gadis ini benar-benar- "Kenapa?" Bahkan dengan polosnya kini ia bertanya padaku. Seakan ia sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan tindakannya barusan. Melihat reaksinya yang seperti ini, justru membuatku merasa keki sendiri. "Kenapa, hmm? Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang salah? Aku melakukan sesuatu yang salah lagi?" berondongnya. Aku menggeleng kaku. Ya sudahlah. Toh dia biasa saja. Harusnya kalau bermasalah, dia yang merasa ini salah, bukan aku yang malah memusingkannya. "Aneh sekali," Lucy mencibir. "Nih makan lagi!" Aku mendelik, berusaha menjauh dari sodoran Lucy. Tapi, Lucy mendorong ayam itu lebih kuat hingga mau tak mau menempel di bibirku. Sialan! "Cepat makan! Aku ikhlas kok," ujarnya santai. Lah ... kenapa malah jadi seakan-akan dia yang berbaik hati dengan memberiku makan? Terpaksa, aku kembali menggigit ayam itu. Mengecap bekas gigitan Lucy dengan sedikit rasa risih. Yang benar saja?! Aku makan bekas gigitan hantu? Aku ingin protes. Tapi melihat reaksi Lucy yang biasa-biasa saja, aku jadi gengsi. Aku malas nanti dia malah besar kepala dan menyangka aku takut terbawa perasaan. Jadi lebih baik aku telan saja makanan ini meski harus dengan susah payah. Tahan, Arthur! Tahan dirimu atau kamu malah akan membuatnya semakin punya bahan untuk membuatmu jengkel!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN