09 - Kamu Itu ...

1878 Kata
Aku baru saja keluar dari kamar mandi. Aku melihat Lucy tengah bermain dengan Lawu di atas kasur. Jujur, aku masih sedikit trauma dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Aku pun sebenarnya melarang Lawu naik ke kasur setelah insiden itu. Tapi, Lucy tetap saja ngotot membiarkan kucing sialan itu menginjak-injak area privasiku. Aku menggosok asal rambutku yang basah sambil menatap malas ke arah kasur. "Kamu sudah selesai? Kamu pasti capek. Mau langsung tidur?" berondong Lucy. Aku menggeleng. Aku memilih keluar dari kamar. Tapi, ternyata Lucy masih saja mengikutiku. "Kamu membiarkan Lawu di dalam sendirian?" kagetku yang masih trauma dengan kejadian kencing di kasur waktu itu. "Iya. Eh tapi pintunya nggak ditutup kok. Aman lah," ujar Lucy. Aku menghela napas lega. Setidaknya Lucy tidak sebodoh itu untuk mengulangi kesalahannya. Kesalahan yang membuatku benar-benar naik pitam dan merogoh kocek dalam untuk membeli kasur baru. Tapi, aku tetap tak mau lengah. Aku tidak mau hal semacam itu kembali terulang. Apalagi insiden kamar tamu yang ternyata berhantu. Mana hantunya genit lagi! Aku berjalan masuk kembali lalu mengangkat tubuh empuk nan hangat milik kucing abu-abu itu. "Eiiittt... Lawu nya mau dibawa ke mana? Aku baru aja mau izin buat biarin Lawu tidur sama kita," ujar Lucy. Ide gila macam apa lagi yang sedang coba ia utarakan ini? "Jangan ngawur! Aku masih trauma sama insiden kemarin," tolakku. "Kali ini nggak akan. Tadi aku udah lihat sendiri kok. Lawu udah poop dan pipis sebelum ke sini. Iya kan, Lawu?" "Meong" "Kamu mau tidur bersama Lawu?" tanyaku. Dengan sigap, Lucy mengangguk. Aku tersenyum miring melihat reaksinya. "Kalau begitu, tidur saja di kamar Lawu!" suruhku. Tampak ia mengerutkan bibirnya seperti seorang anak kecil yang sedang merajuk. Kalau dilihat-lihat, Lucy yang seperti ini lucu juga. "Bercanda. Pokoknya Lawu tidak boleh tidur di sini. Ini bukan tempat dia. Lagian dia sudah punya ruangan sendiri," ralatku. "Tapi aku mau sama Lawu," rengeknya seperti bayi. "Tapi aku tidak mau, Lucy," aku berusaha sabar dalam memberinya pengertian. "Dia nggak akan nakal kok. Nggak akan ganggu kamu juga. Biar nanti aku yang jagain Lawu, memastikan dia nggak akan menyentuh kamu seujung kuku pun. Bahkan bulunya pun tak akan ada yang menempel di kulit kamu," Lucy memohon. "Lucy-" "Kamu ini cowok, aku cewek. Selama ini kita tidur berdua. Kata orang, kalau cowok dan cewek berduaan, itu nanti yang ketiganya setan loh. Kamu nggak takut apa kalau tiba-tiba ada setan nyempil di antara kita? Hiiii," potong Lucy. Gadis itu berusaha menakut-nakutiku untuk melancarkan aksinya. Tanpa ia sadar diri dengan keadaannya saat ini. "Kamu tidak lupa kalau kamu juga setan, kan?" tanyaku memastikan. Ia terdiam untuk sejenak. Aku perhatikan, wajahnya tampak kaku. Sepertinya ia baru sadar dengan alasan bodohnya barusan. "Ak- aku- aku kan hantu. Tolong bedakan! Setan itu hantu yang jahat. Sedangkan hantu ya hantu saja. Arwah gentayangan yang merasa urusannya di muka bumi belum selesai, jadi belum bisa pergi," Lucy membela diri. Aku terkekeh mendengarnya. Tapi maaf, Lucy. Keputusanku sudah bulat. Apapun yang terjadi, Lawu tidak boleh tidur di sini. Apalagi hingga besok pagi. Membiarkan Lawu berada di dalam kamar ini selama berjam-jam, perasaanku jelas tidak bisa tenang. Aku tetap membawa Lawu keluar. Meski ia memberontak hingga beberapa kali tanganku bergesekan dengan kuku tajamnya, aku tak peduli. Pokoknya aku harus membawa Lawu ke ruangannya sendiri. Si hantu keras kepala Lucy ternyata masih mengikuti kami. Ia masih terus merengek, memohon agar aku mengizinkan Lawu tidur di kamar. "Ayolah, Arthur, sekali ini saja," pinta Lucy untuk kesekian kalinya. "Sekali tidak, tetap tidak," tegasku. Aku membuka pintu cat room milik Lawu lalu meletakkan kucing abu-abu itu di sana. Dia tampak mengeong, seperti tidak rela saat aku menutup kembali pintu ruangan itu. "Kamu tidur di sini seperti biasa, ya! Jangan manja! Besok aku akan belikan kamu snack yang enak asal kamu mau menurut!" ucapku pada Lawu. Kurasa aku mulai ketularan gila dari Lucy. Sejak kapan aku suka bicara dengan kucing? "Anda belum tidur?" Aku terkejut mendengar suara Bi Ningsih dari arah dapur. Wanita paruh baya itu tampak sedang menyanggul rambutnya yang sudah sebagian memutih. "Ini saya sedang mau tidur. Saya hanya sedang mengantar Lawu kembali ke tempatnya," jawabku seadanya. "Akhir-akhir ini saya perhatikan, Anda jadi lebih dekat dengan Lawu. Bahkan Anda selalu membawa Lawu ke kamar. Padahal dulu, kadang menyapanya saja Anda enggan," ucap Bi Ningsih. Aku akui ucapan Bi Ningsih memang benar adanya. Aku biasa saja terhadap kucing meski keluargaku, terkhusus ibuku sangat menggilai hewan berbulu itu. Aku melirik ke arah Lucy yang kini masih memasang ekspresi memelasnya. Dan hal itu sontak membuatku terkekeh. Wajahnya yang seperti itu benar-benar mirip dengan kucing. "Tuan," Bi Ningsih membuyarkan lamunanku. Aku kembali menatap wanita paruh baya itu. "Tidak. Hanya saja, kalau diperhatikan, sepertinya Lawu lucu juga." Setelah itu, aku pamit ke kamar. Diikuti Lucy yang selalu setia mengekoriku. Lucy menyalipku saat kami sampai di atas tangga. Ia tampak terburu-buru, bahkan sampai menerobos pintu kamar kami begitu saja. Ia merajuk? Aku berusaha santai menanggapinya. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Daripada terlalu memikirkan Lucy, lebih baik aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku yang menumpuk. "Kamu tidak tahu aku marah?" tanya Lucy. Padahal baru saja aku mulai membaca laporan keuangan perusahaanku bulan ini. "Marah kenapa?" tanyaku balik dengan nada tak peduli. Aku mendengar ia berdecak. Wanita memang rumit. Tapi, ternyata hantu wanita jauh lebih rumit daripada yang masih bernyawa. Aku menghela napas panjang. "Kalau soal Lawu, aku harap kamu juga bisa belajar mengerti. Toh aku sudah memberinya tempat yang cukup layak juga, kan?" "Aku tahu. Hanya saja terkadang aku merasa kesepian," balasnya dengan nada lirih. Aku berusaha acuh. Pekerjaan di hadapanku jelas jauh lebih penting daripada luapan emosional Lucy. "Aku cuma mengenal kamu dan Lawu. Aku hanya bisa berinteraksi dengan kalian. Hanya kalian yang bisa melihatku," ucapnya. "Ya aku tahu. Lalu?" "Tapi kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu seolah kamu juga tidak bisa melihat keberadaanku," lanjutnya. Fokusku buyar. Aku diam seribu bahasa dan berhenti membaca pekerjaan-pekerjaanku. Kami saling diam cukup lama. Atau sebenarnya aku saja yang tidak mendengar ucapannya? Ragu, aku menoleh ke arah Lucy yang kini tampak menundukkan kepalanya. Ia tampak begitu sedih. Belum pernah aku melihatnya sesedih ini. "Aku bisa melihatmu. Lagi pula aku hampir selalu menanggapimu saat kamu bicara, kan? Apa itu masih kurang?" Entah mengapa, aku mendadak merasa simpati padanya . Melihat ada gadis muda sesedih ini karenaku, aku cukup merasa bersalah. "Tapi kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kamu hanya asal-asalan menyahutiku. Bahkan menatapku saat bicara saja jarang. Aku cuma seperti fatamorgana buat kamu," ocehnya. "Siapa bilang?" Perlahan, Lucy mengangkat kepalanya hingga tatapan kami bertemu. "Siapa bilang kamu fatamorgana buat aku? Bagiku, kamu nyata." Ya. Seperti itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini. Aku semakin bisa merasakan kehadiran Lucy di sisiku. Ia tampak semakin nyata, dan tak mungkin bisa aku tampik keberadaannya. "Aku memang seperti ini jika sedang bekerja. Jangankan kamu, bahkan orang-orang di kantorku, termasuk keluargaku pun berinteraksi denganku seperti ini. Aku tampak cuek dan enggan menatapnya. Tapi bukan berarti aku abai pada mereka semua," terangku. Mungkin dia harus tahu sedikit lebih banyak tentangku agar kesalahpahaman seperti ini tidak terulang kembali. "Tapi kamu memang cuek. Aku bisa merasakannya. Kamu masih belum bisa menerima kehadiranku meski nyatanya kita sudah bersama cukup lama," ujar Lucy. Ucapannya itu memang ada benarnya. Tapi, apa salah aku merasa demikian, saat 'orang' itu adalah Lucy? Maksudku, dia bahkan bukan benar-benar manusia yang masih bisa bernapas. Sejak kecil, aku tak punya kemampuan semacam ini hingga bisa melihat, dan bahkan berinteraksi dengan hantu. Tapi, beberapa hari belakangan aku justru tinggal seatap dan terus-terusan mengobrol dengan hantu perempuan yang tak aku kenali. Apa aku salah kalau aku masih shock? Bukankah hal seperti ini memang cukup tidak wajar? "Harusnya dengan aku tidak meminta jasa dukun pengusir setan saja kamu sudah bersyukur. Kamu tahu, kan, aku tidak punya keistimewaan seperti ini sejak kecil. Dan harusnya kamu tahu betapa terkejutnya aku pagi itu terbangun dengan kondisi bisa melihat hantu sepertimu," aku berusaha memberinya pengertian. Aku sudah berusaha menyampaikannya dengan selembut mungkin. Aku harap, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku yang menyinggung perasaannya. Hantu muda itu tampak sedang lebih sensitif hari ini. Jika ia manusia bernyawa, aku tebak ia mungkin sedang mendapat tamu bulanannya. "Jadi aku masih menjadi pengganggu untuk kamu?" tanyanya. Astaga, pertanyaan macam apa lagi ini? "Aku tidak bermaksud bicara seperti itu. Hanya saja-" "Aku pikir, selama ini aku sudah berusaha untuk tidak berbuat jail padamu. Tapi ternyata aku masih cukup mengganggu, ya?" potongnya. Aku mendengus kesal. Entah mengapa, aku tidak suka dengan ucapan dan cara dia berpikir. Apa aku tampak seburuk itu di matanya? Seperti aku seolah-olah layaknya orang jahat dan berhati dingin? "Kamu salah paham," seruku. Dia menatapku penuh harap. Seolah menunggu aku melanjutkan kalimatku. Memangnya, apa yang ingin ia dengar dariku? "Sebenarnya kamu sudah tidak semengganggu itu menurutku. Aku juga sudah mulai terbiasa dengan keberadaanmu. Aku tidak keberatan kamu ada di sini, selagi kamu mau mendengarkanku," ujarku. "Apa selama ini aku kurang mendengarkanmu? Padahal aku sudah berusaha menjadi layaknya anak kucing penurut padamu," balasnya. Kapan ia melakukan itu? Iya ia mirip anak kucing. Tapi anak kucing yang nakal dan manja. "To the point saja, Lucy, aku-" "Tuh kan, kamu bahkan malas bicara padaku. Tiap kita mengobrol, kamu pasti selalu bilang suruh to the point. Kayak kamu tuh malas banget bicara sama aku. Yang kayak gitu yang kamu bilang sudah mulai bisa menerima kehadiranku?" potong Lucy dengan berbagai tuduhan overthinkingnya. Aku mengusap wajahku kasar. Harus dengan bahasa seperti apa aku bicara padanya? "Aku cuma mau dihargai," ujar Lucy. "Aku juga sudah berusaha menghargaimu. Apa sih yang kurang?" bingungku. "Kamu selalu egois. Memintaku untuk selalu mengerti kalau kita berbeda, dan kamu punya dunia sendiri sehingga kamu bebas mengabaikanku," ucap Lucy. Memangnya aku seperti itu? "Tapi kamu lupa kalau bukan cuma kamu yang shock sama keadaan ini. Kamu lupa, kalau aku juga belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan kalau aku sudah mati," lanjut Lucy. DEGGG Kali ini aku diam seribu bahasa. Suaranya benar-benar seperti orang yang sedang hancur. Aku mengingat kembali memori pertemuan pertama kali dulu. Pagi itu, teringat jelas di benakku bagaimana Lucy menangis. Ia tidak bohong. Ia tampak sangat terpukul mengetahui jika jiwanya kini sudah hilang dari raganya. Dan gadis malang itu bahkan tak tahu di mana raganya kini berada. "Aku bahkan tak punya memori lain selain bersamamu. Aku benar-benar merasa asing dan sendiri. Tidak ada yang bisa aku lakukan tanpamu. Tapi kamu terus saja acuh padaku," lirihnya. Aku mendengar nada bicaranya mulai bergetar seperti akan menangis. Oh... plisss... jangan lagi! "Lucy," panggilku. Ia tampak terlonjak mendengar panggilanku. Oh, God! Apakah dia sudah menangis? Apa semenyakitkan itu berada di posisinya? Ya. Dia pasti jauh lebih terkejut dan tersiksa daripada aku. Bahkan dia tidak tahu siapa dirinya, selain identitas baru yang kuberikan dengan nama kucing ibuku. Apa aku sejahat itu sehingga membiarkannya merasa sendirian selama ini? Di saat hanya aku lah satu-satunya orang yang bisa ia andalkan? Lidahku mendadak terasa kelu. Tapi, aku menguatkan hati untuk mengucapkannya. "Aku minta maaf," ungkapku dalam satu tarikan napas. Tampak gadis itu mulai mengangkat kepalanya dengan mata yang sudah memerah. Aku yakin, pipi itu akan basah karena air mata sebentar lagi. "Aku janji akan berusaha memahami kamu. Aku akan menemani dan membantu kamu mengungkap masa lalumu," lanjutku. Entah apa yang mendorongku untuk berbuat sejauh ini. Tapi aku benar-benar bertekad melakukannya. Aku ingin menemaninya dan membantunya menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Lucy, mulai hari ini, aku tidak akan membiarkanmu merasa kesepian lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN