07 - Mulai Terbiasa

1656 Kata
"Siapa kamu?" Aku menoleh ke arah Lucy, lalu mengarahkan pandanganku searah dengan tatapannya. Kosong. Tak ada apapun di sana. "Aku tanya, siapa kamu? Dan kenapa kamu ada di sini?" tanya Lucy lagi. Kali ini dengan lebih keras dan nada yang tegas. Ia menatap tajam ke arah tempat tidurku yang kosong. Jadi, dengan siapa Lucy bicara sekarang? Bulu kudukku mulai berdiri. Aku akui, aku bukanlah orang yang sangat pemberani seperti karakter pria idaman dalam sebuah n****+. Aku hanyalah menusia biasa yang juga masih memiliki kelemahan. Awalnya, aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia hantu. Aku tidak takut selama mereka tidak menggangguku. Tapi, melihat Lucy begitu aneh begini, aku jadi berpikiran yang tidak-tidak tentang makhluk tak kasat mata itu. "Lucy, kamu-" "Hey!!! Jaga tatapanmu dari calon suamiku!" Aku terperanjat. Aku menatap Lucy keheranan. Tak berselang lama, Lucy berjalan ke arah ranjang. "Siapa bilang? Dia mencintaiku. Kalau pun belum, aku pastikan aku bisa membuatnya bertekuk lutut di hadapanku!" tegas Lucy. Siapa yang dia maksud? Apakah itu aku? Apa mungkin mereka sedang membicarakanku? "Dia hanya pantas untukku. Kamu tidak lihat betapa tampannya dia dan betapa cantiknya aku? Kami sangat serasi, kan? Jadi lebih baik kamu mundur saja!" Aku masih diam menyimak. Beranjak satu langkah saja, kakiku rasanya tak mampu. "Yang ada dia takut jika kamu menampakkan dirimu padanya. Kamu pikir kamu cantik? Kamu itu seram!" Aku membulatkan mataku. Jadi makhluk tak kasat mata yang bicara pada Lucy itu berwajah seram? Dan ia ingin menunjukkannya padaku? Sialan! "Tidak tidak, terima kasih! Cukup satu hantu saja yang bisa aku lihat, jangan ada yang lain!" sambarku. Aku khawatir aku telat bicara dan setan yang kata Lucy seram itu benar-benar akan menampakkan wajahnya. "Kau dengar? Baginya aku adalah satu-satunya. Dia tidak membutuhkanmu atau hantu lain. Dia hanya mau aku!" tegas Lucy. Tunggu dulu! Sepertinya setan kecil itu salah paham. Bukan begitu juga maksudku. Maksudnya, dengan satu setan saja aku sudah kerepotan, jadi aku tidak mau menambah beban pikiranku lagi. Kenapa dia malah bicara seolah-olah aku baru saja mengatakan jika dirinya itu spesial untukku? "Enyahlah, dasar setan jelek!" usir Lucy. "Oh ... kau mau mengajakku berkelahi? Ayo!" Sialan! Jadi ceritanya saat ini aku sedang diperebutkan oleh dua hantu? Aku jadi semakin merinding. Lagi pula sejak kapan rumahku angker, sampai bisa kemasukan dua hantu pembuat onar itu? "Hmm begini. Kalau kalian lupa, ini adalah rumahku. Jadi harap yang sopan, ya!" ujarku berusaha menengahi. "Dia membelaku, bodoh! Jangan besar kepala! Enyah sekarang!" "Hey, kamu yang siapa?! Jelas-jelas aku calon istrinya. Kamu tidak lihat dia masuk ke sini bersamaku tadi?" Aku menghela napas panjang. "Bolehkah aku beristirahat sekarang?" tanyaku. "Calon suamiku lelah. Dia butuh istirahat. Jadi sebaiknya kamu segera pergi dari sini!" usir Lucy. "Iya. Aku mohon kamu pergi saja. Toh aku juga tidak ingin melihatmu. Aku sudah pusing dengan kehadiran Lucy, jadi sebaiknya kamu tidak usah menambah beban pikiranku!" sambungku. Mungkin kalau aku yang bicara langsung dia akan lebih mendengarkannya. Aku menunggu respons Lucy. Karena memang hanya respons gadis itulah yang bisa aku baca. Lucy tampak terdiam cukup lama. Mimik wajahnya berubah menjadi sendu. Ada apa? Apa setan di depannya mengatakan sesuatu yang menyedihkan? Aku ... tidak habis berlaku berengsek hingga membuat setan wanita itu menangis, kan? Aku berdehem. Membuat Lucy kembali menoleh ke arahku. "Dia meminta izin untuk menampakkan diri di depanmu sebentar saja. Karena katanya kamu sangat mirip dengan mendiang suaminya yang telah meninggal di hari pernikahan mereka." Aku mengejap. Apa Lucy bilang tadi? 'Dia'? 'Dia' siapa? "Maksud kamu?" bingungku. "Namanya Imelda. Dan dia ingin kamu bisa melihatnya. Dia juga minta izin untuk menyentuh wajahmu sekali saja sebelum ia pergi," jawab Lucy. "Gila!" sentakku. Aku berbalik hendak meninggalkan ruangan ini. Sepertinya lebih baik aku tidur di sofa kamarku daripada meladeni dua setan gila di sini. Hap Aku merasakan sebuah tangan menahan lenganku saat aku hendak membuka pintu. Lucy menatapku dengan tatapan memohon. Apa yang sebenarnya ada di pikiran gadis ini? Dia mau aku berinteraksi dengan hantu yang tadi ia bilang 'seram'? "Kamu gila? Buat apa juga aku harus-" "Kasihan dia, Arthur. Dia merindukan suaminya. Dan ia hanya ingin melihatmu sebentar saja. Dan menyentuh pipimu. Hanya beberapa detik. Aku juga akan menemanimu di sini kok. Jadi kamu tidak perlu takut," potong Lucy. "Takut? Siapa juga yang takut? Apa aku tampak seperti pria penakut di matamu?" sentakku. Kuakui aku memang takut. Tapi sepertinya aneh bila aku mengakui kelemahanku yang satu itu di depan Lucy. Apalagi dia hantu. Ayahku bilang, kita tidak boleh menunjukkan rasa takut kita pada hantu. Agar dia tidak merasa menang dan semakin semena-mena dengan manusia. "Hmm ... sedikit," jawab Lucy. Aku menatapnya kesal. Memangnya sekentara itu jiwa penakutku di depannya? "Aku tidak mengatakan kamu penakut. Hanya sedikit. Layaknya manusia pada umumnya. Lagi pula, aku juga sedikit penakut kok. Aku-" "Ya sudah tunjukkan wajah kamu! Lakukan apa yang kamu mau, lalu tepati janjimu untuk segera pergi dari sini!" potongku sambil menghadap ke arah ranjang kembali. Aku ragu. Tapi aku juga tidak mau menjadi bahan olok-olokan Lucy setelah ini. Toh hanya melihat sebentar dan membiarkan setan itu menyentuh pipiku, kan? Melihat Lucy saja aku tidak ketakutan sama sekali. Harusnya melihat yang sedikit lebih menakutkan, tidak akan membuatku sampai terkencing di celana, kan? Aku berusaha memasang wajah sedingin mungkin, meski sebenarnya jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya. Aku dapat merasakan hawa dingin kian mendekat ke arahku, bingga sesuatu membelai pipiku. Samar, penampakan sosok wanita itu kian terlihat. Sialan! Aku pikir dia masih sejenis dengan Lucy. Ternyata yang ada di hadapanku kini sosok yang benar-benar seram. "Aaaaaaaa!!!" Aku tak tahan untuk menyembunyikan ketakutanku sendirian. Persetan Lucy mau mentertawaiku seperti apa. Yang jelas, sosok di hadapanku kini benar-benar sangat menyeramkan. Bagaimana tidak? Rambutnya tampak acak-acakan dengan wajah pucat pasi. Tak lupa, ada noda darah di beberapa sudut wajahnya, juga sebagian bajunya yang berwarna putih. "Imelda, sudah! Jangan lama-lama!" sentak Lucy menyingkirkan tangan setan itu dariku. Aku masih memejamkan mataku erat-erat. Aku benar-benar tak sanggup berhadapan dengan sosok semenyeramkan itu. Jika Imelda manusia, aku tidak akan setakut ini. Tapi masalahnya ia setan. Ia bisa melakukan lebih banyak hal yang tidak aku ketahui. Seperti merasukiku contohnya. "Ah ... kamu benar-benar tampan. Kalau menurutmu beda dunia itu tidak masalah, kenapa kau tidak mencoba menjalin hubungan saja denganku?" tanya Imelda. Aku diam, enggan menjawab. Dia gila?! Tidak sadarkah ia betapa menyeramkannya wajahnya itu? Bahkan Lucy yang terbilang cantik saja, aku tidak mau! Karena toh dia juga hantu. Memangnya aku semenyedihkan itu hingga mau tidak mau harus menerima cinta dari hantu? Seperti tidak ada manusia yang mau denganku saja! "Hey!" kesal Lucy pada Imelda. "Tidak, terima kasih," ujarku. Perlahan, mataku terbuka. Tapi sebisa mungkin aku berusaha menghindari beradu tatap dengan setan seram itu. "Kenapa tidak mau?" tanya Imelda sambil berusaha menatap wajahku. Ini benar-benar gila! Aku tahu Lucy gila. Tapi ternyata ada yang jauh lebih gila darinya. "Karena dia sudah punya calon istri, yaitu aku. Jadi sebaiknya kamu mundur!" sentak Lucy. Ia berdiri di depanku. Menghalangi Imelda agar tak bisa melihatku. Di saat seperti ini, aku baru merasa kalau Lucy ternyata ada gunanya juga. "Pergi! Tadi kan kamu sudah berjanji akan pergi setelah memperlihatkan diri dan menyentuh pipinya," ceramah Lucy. Sesekali, aku melirik wajah suram Imelda. Kasihan juga setan itu. Ia benar-benar seperti memiliki beban berat yang seolah menahannya di bumi selama kurun waktu yang sangat lama. Tapi apa aku harus mempedulikannya? Memangnya dia siapa?! "Aku sudah menuruti keinginanmu, kan? Pergilan dengan tenang sekarang!" usirku lembut. Imelda kembali menatapku dengan mata sembabnya. Apa dia memang sering menangis semasa hidupnya? Ataukah memang semua hantu memiliki mata sepertiku? "Tunggu apa lagi? Aku dan calon suamiku harus beristirahat," sambung Lucy. Aku harap Imelda bisa pergi dengan tenang sekarang. Setelah aku bisa sedikit membantunya dengan mengabulkan permintaannya. "Apa mungkin suamiku sudah ada di atas sana?" Imelda tampak menatap langit-langit kamarku. Tampaknya ia benar-benar mencintai sang suami. "Aku rasa begitu. Jadi sebaiknya kau segera menyusulnya! Di sini bukan tempatmu." Aku mengingatkan. Dia tampak mengangguk. "Kenapa ucapanmu mendadak dewasa sekali? Aku juga jadi ingin ikut Imelda. Siapa tahu orang-orang yang aku sayangi juga sudah berada di atas sana," oceh Lucy. "Kamu tidak bisa. Di sini memang tempat kamu, Lucy. Kalian, berbahagialah di sini! Terima kasih sudah membantuku," ungkap Imelda. Setelah sosok mengerikan Imelda menghilang, aku dan Lucy saling bertukar pandangan. Entah mengapa, aku rasa Lucy juga tengah memikirkan hal yang sama denganku. "Kamu tidak bisa. Di sini memang tempat kamu, Lucy ..." Dua kalimat itu segera terngiang di kepalaku. Apa yang sebenarnya sedang berusaha Imelda katakan soal Lucy? Apa mungkin ia tahu siapa Lucy sebenarnya? Bodoh sekali aku! Kenapa aku diam saja tadi? Harusnya aku bisa bertanya padanya, hitung-hitung sebagai imbalan karena aku sudah menolongnya! "Apa mungkin Imelda tahu sesuatu, ya?" gumam Lucy, yang masih dapat tertangkap indera pendengaranku. Aku menatapnya cukup lama sebelum akhirnya mengalihkannya ke arah lain. Aku berjalan santai menuju kasur, lalu merebahkan tubuh lelahku di sana. Baru saja mataku hendak terpejam, terdengar suara ketukan pintu yang hampir saja membuatku melompat saking kagetnya. "Tuan," Astaga! Ternyata itu Bi Ningsih. Aku segera bangkit dan membukakan pintu. "Tadi saya dengar Tuan berteriak. Apa terjadi sesuatu, Tuan?" tanya Bi Ningsih sopan. "Hmmm ... ng- nggak. Tadi saya cuma kaget karena mau jatuh dari tempat tidur. Iya cuma itu," dustaku. Aku terlalu gengsi untuk mengakui kejadiab sebenarnya. Terlebih di depan Lucy. "Syukurlah kalau semua baik-baik saja. Kalau begitu, Bibi ijin ke belakang lagi ya, Tuan," pamit Bi Ningsih. Aku mengangguk. Setelah itu aku kembali menutup pintu dan membalik badanku. Bahuku merosot saat melihat penampakan yang ada di depan mataku. Tampak Lucy berbaring di salah satu sisi ranjang dengan sangat nyaman. "Hey, apa yang mau kamu lakukan?" tanyaku pada setan kecil itu. "Ssstt ... sudah malam. Tidur aja, yuk!" serunya dengan nada begitu santai. Benar-benar gila. Masa iya malam ini aku menyengajakan diri tidur satu ranjang dengan hantu perawan? Pada akhirnya, aku hanya bisa berjalan gontai ke arah ranjang. Aku sudah benar-benar tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Aku menyibak selimut, lalu masuk ke dalamnya. Akhirnya aku benar-benar tertidur di kasur yang sama dengan Lucy. Meski posisi kita saat ini saling membelakangi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN