10 - Dia Berbeda, Dia Istimewa

1840 Kata
Akhir pekan, biasanya akan membuat orang lain bersemangat menyambutnya. Tapi berbeda denganku kali ini. Padahal, aku berniat bermalas-malasan sepenuhnya hari ini. Tapi ada saja pengganggu yang membuat akhir pekanku menjadi suram. "Arthur, aku lapar. Aku mau pancake," rengek Lucy. Aku berdecak. Padahal baru saja aku mengeluhkan akhir pekanku yang suram. Aku sedang berusaha melupakannya. Tapi lagi-lagi Lucy tak membiarkanku melakukan itu. "Arthur, mau pancake," ulangnya. "Apa nggak bisa nanti aja pancake-nya? Ini masih pagi, dan ini weekend. Saatnya aku libur, Lucy," kesalku. "Memangnya kalau weekend itu artinya kita juga harus libur makan? Kan enggak," rengek Lucy. Astaga gadis satu ini! Aku menyibak selimutku. Aku duduk dan segera memainkan ponselku. "Kamu sedang apa?" Lucy menghampiriku, dan satu tangannya bertengger santai di bahuku. Rasanya memang hidupku semakin penuh dengan ujian setelah aku berjumpa dengan hantu satu ini. Aku menunjukkan layar ponselku. Lucy tampak tersenyum lebar setelahnya. Sebenarnya, aku tadi mengirim pesan pada Bi Ningsih untuk membuatkan kami sarapan pancake. "Nanti kita makan di kamar saja, ya! Biar aku lebih bebas," pinta Lucy. Aku hanya berdehem menyahutinya. Membuat senyum gadis itu tampak semakin lebar. Lucy jika saat tersenyum seperti ini tampak begitu menggemaskan. Membuat aku tak sadar jika tanganku terangkat dan mengusap pipinya yang berkerut karena efek senyumnya. Entah keberanian dari mana yang membuatku bisa selancang ini menyentuh pipi Lucy, gadis yang baru kutemui beberapa waktu terakhir. "Kenapa? Ada yang kotor, ya? Sebelah mana? Duh jangan-jangan iler," ujar Lucy heboh. Aku terkekeh melihat ekspresinya yang benar-benar polos. Padahal aku melakukannya karena gemas padanya. Tapi ia malah mengira kalau aku sedang menyeka liurnya? Yang benar saja?! Gadis ini benar-benar unik. "Tidak tidak. Tapi tunggu dulu! Kamu belum mandi?" tanyaku. "Aku malas. Lagi pula buat apa hantu harus sering-sering mandi? Aku juga tidak bisa berkeringat. Tidak bau," jawabnya. Aku menghela napas panjang. "Kamu mau aku belikan baju baru?" tawarku. Layaknya kaum hawa pada umumnya, ia mengangguk dengan penuh semangat. Aku tahu, meskipun ia hantu, jiwanya tetaplah perempuan tulen yang 100% suka berbelanja. "Mandilah! Aku akan cari katalog pakaian wanita untukmu setelah ini. Agar kamu tidak terus-terusan memakai pakaianku," ujarku. "Tapi bagaimana cara aku ganti baju nanti? Apa pembantumu tidak akan curiga jika ia disuruh mencuci baju ganti wanita?" tanyanya. Benar juga. Bi Ningsih pasti akan bertanya-tanya bagaimana bisa ada baju wanita di keranjang pakaian kotorku. "Tidak masalah. Tinggal tidak aku jawab, semua akan selesai. Yang pasti mulai sekarang, kamu harus tinggal layaknya manusia yang punya raga. Lakukan apapun yang kamu mau!" Aku sudah bertekad untuk membahagiakannya. Dan aku akan tetap melakukannya apapun yang terjadi nantinya. Setelah Lucy beralih ke kamar mandi, aku mengirim pesan pada seseorang untuk mengirimiku katalog pakaian wanita terbaru. Tak sampai lima menit, orang itu segera mengirim yang aku minta. Aku membukanya. Terdapat banyak pakaian kekinian ala-ala wanita karir di ponselku. Aku tidak cukup mengerti soal pakaian wanita. Jadi sebaiknya nanti biar Lucy sendiri yang memilihnya. Saat tanganku asyik menggulir layar, aku dikejutkan oleh sebuah panggilan masuk dari kontak yang akhir-akhir ini sering menyita perhatianku. Angel. Dia adalah tunanganku. Lebih tepatnya hanya status kami saja yang tunangan. Sedangkan aku padanya, tidak punya perasaan apa-apa. "Halo?" 'Kamu masih di rumah? Aku baru saja landing,' ujarnya. "Ya. Aku baru bangun," jawabku seadanya. 'Bisa kita makan siang bersama nanti? Aku masih harus pulang untuk mandi dan beristirahat. Tapi aku juga sangat merindukanmu, Arthur.' "Bisa. Aku akan menjemputmu jam setengah dua belas." 'Oke, deal. Kalau gitu, aku pesan taksi online dulu, ya?' "Kamu nggak bawa mobil? Mau aku jemput?" tawarku. Meski aku tak mencintai gadis yang berstatus sebagai tunanganku itu, tapi aku cukup peduli padanya. Selain tunangan, Angel juga merupakan sahabatku sejak kecil. Ia adalah salah satu orang yang paling dapat aku percaya. Maka dari itulah aku menerima perjodohan ini, meski aku tak mencintainya. 'Tidak perlu. Justru akan lama kalau aku harus menunggu kamu. Sudah dulu, ya? See you this afternoon.' Satu hal yang paling aku suka darinya adalah, kemandiriannya. Kami berasal dari kalangan yang sama. Bisa dibilang, kalangan elit dalam hal bisnis. Orang tua kami merupakan partner kerja yang sudah lama menjalin kerjasama. Kami pun sudah saling mengenal dan berteman sejak belasan tahun lalu. "Sudah selesai mandiiii! Sekarang mana katalog pakaian yang kamu janjikan? Aku mau pilih-pilih baju dulu," girang Lucy sambil membuka pintu kamar mandi. Aku menepuk kasur di sampingku. Memberinya kode untuk duduk di sini. Lihatlah, dia selalu tampak menggemaskan setiap kali memakai pakaianku yang kebesaran di tubuhnya. Lucy membanting pantatnya di sampingku. Lalu, merebut ponselku yang sudah menampakkan beberapa gambar pakaian wanita. "Aku suka ini. Menurut kamu bagaimana?" tanya Lucy. Aku menatap ke layar ponselku yang ada di tangannya. Tampak ia sedang menanyakan tentang dress berwarna putih dengan motif floral kuning yang tampak meriah. "Kalau suka, tandai saja! Lalu pilih yang lain sekalian!" "Aku boleh beli banyak? Berapa? Tiga boleh?" tanyanya. "Sepuluh juga boleh," jawabku. "Ah ... itu sih terlalu banyak. Tiga deh ya?" "Pilih saja! Tidak perlu kamu hitung. Jangan lupa cari baju santai, baju tidur, dan daleman juga!" Aku mengingatkan. Lucy menoleh ke arahku dengan tatapan ragu. Kenapa? Memang ada yang salah dengan ucapanku? "Tapi gimana sama Bi Ningsih?" tanyanya. "Aku akan memintanya untuk merahasiakannya dan tidak banyak bertanya. Beliau selalu patuh padaku. Jadi kamu tenang saja!" jawabku menenangkan. Lucy tampak mengelus dadanya. Setelah itu, ia kembali menggulir layar ponselku. Sementara aku, memperhatikan wajah lucunya dari samping. Gadis ini memang memiliki daya tarik yang cukup kuat. Aku tebak, semasa hidupnya Lucy adalah primadona di lingkungannya. Apa dulu ia sudah punya pacar? Kira-kira seperti apa pacarnya? Yang pasti, tidak lebih tampan dan kaya seperti aku, kan? "Apa menurutmu aku akan cocok mengenakan pakaian seperti ini?" Ia kembali bertanya. Membuatku harus kembali fokus pada layar ponselku. "Dari tadi kamu melihatku? Kenapa? Aku cantik?" tanyanya. Sialan! Ternyata ia sadar jika sedari tadi aku memperhatikannya? "Cukup bagus. Kamu suka mengenakan dress warna cerah seperti itu, ya? Seperti anak kecil," aku setengah mengejek. Selera fashion-nya cukup unik menurutku. Ia suka gaun selutut dengan warna-warna cerah. Benar-benar seperti anak SD. Atau kalau sekarang, orang-orang biasanya akan menyebutnya cewek kue. "Bukan anak kecil. Tapi aku memang masih muda, kan? Om-om sepertimu mana mungkin mengerti? Kan selera Om-om biasanya yang pakai dress warna gelap dan kontras dengan kulit dengan potongan yang seksi-seksi. Iya, kan?" Aku terkekeh. "Ternyata kamu cukup paham juga dengan selera pria dewasa," komentarku. "Tentu. Banyak tuh pegawai kantormu yang sering lihat foto-foto perempuan modelan seperti itu," ujarnya. Ya ya ya. Aku tidak tahu pastinya. Tapi aku rasa itu hal yang lumrah dilakukan pria seusiaku. "Kamu tidak mau beli satu yang seperti itu?" tanyaku. "Tidak usah. Aku juga tidak akan mau memakainya," jawabnya. "Kenapa?" "Tubuhku nggak sebagus itu buat dipamer-pamerkan. Lagi pula, aku merasa lebih cantik saat mengenakan gaun-gaun berwarna cerah seperti ini. Wah ... lihat! Aku sudah memilih enam gaun? Ck, banyak sekali. Aku rasa aku harus menguranginya. Bisa kamu bantu aku pilih tiga yang terbaik?" ocehnya. Aku menatap keranjang belanjaannya. Hanya enam. Itupun dengan model yang semuanya hampir sama. "Kamu belum beli baju tidur atau semacamnya?" tanyaku. "Entahlah. Aku jadi bingung sekarang. Sepertinya aku tidak punya pengalaman berbelanja. Aku jadi memasukkan barang sesukaku tanpa menghitungnya," jawabnya. "Aku memang hanya menyuruhmu memasukkan barang yang kamu suka, tidak perlu dihitung. Coba kamu cari baju santai dulu, baru setelah itu kamu minta pendapatku lagi!" usulku. Ia mengangguk setuju. Aku bahkan tak keberatan jika harus membelikannya ratusan baju. Selagi dia suka, aku akan melakukannya untuk Lucy. 'Tok tok tok' "Permisi, Tuan. Sarapannya sudah siap!" Aku menatap ke arah pintu kamarku. Tanpa banyak bicara, aku segera beralih ke sana. Tampak Bi Ningsih menatap bingung ke arah kamarku. Aku pun menyerit, kenapa? "Tadi Tuan bicara dengan seseorang? Apa ada tele- astaga! Ponsel Tuan melayang!" seru Bi Ningsih. Aku menoleh ke belakang. Tampak Lucy menatapku dengan tatapan polosnya. Astaga, bisa-bisanya aku melupakan gadis itu. Ia kini masih memegangi ponselku, seperti tidak sadar dengan apa yang membuat Bi Ningsih seheboh ini. Dengan cepat, aku menarik Bi Ningsih keluar lalu menutup pintunya. "Tuan, it- itu tadi. Ap- apa yang-" Bi Ningsih tampak merinding. Wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu keduaku itu tampak ketakutan. Aku tahu Beliau pasti terkejut. Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa sebaiknya aku ceritakan saja soal keberadaan Lucy? Toh cepat atau lambat Bi Ningsih juga pasti akan semakin curiga jika ia menemukan pakaian Lucy di keranjang pakaian kotorku. Aku tidak tahu kalau keadaannya akan menjadi serumit ini. Aku sama sekali belum siap untuk mengungkap kebenaran tentang Lucy. Tapi rasanya sudah kepalang tanggung. Tak mungkin juga aku berbohong setelah Bi Ningsih melihat apa yang terjadi barusan di kamarku. "Bi," panggilku. Bi Ningsih tampak terkejut. Padahal aku memanggilnya secara perlahan. "Namanya Lucy. Sejak beberapa hari lalu, ia tinggal bersama kita. Tapi dia bukan arwah yang jahat," terangku. Bi Ningsih tampak memucat. Aku jadi khawatir dengan keadaan wanita paruh baya ini. "Maksud Anda, d- di sini ada hantu? Se- semacam arwah gentayangan?" tanya Bi Ningsih. Aku mengangguk. "Tapi dia tidak jahat. Dia aku izinkan tinggal di sini, karena dia membutuhkanku, Bi." "Tuan, apa itu tidak berbahaya? Bagaimana kalau tiba-tiba dia mencelakai Anda? Bukankah biasanya hantu bisa berbuat jahat pada siapa saja?" Aku tahu Bi Ningsih sangat khawatir denganku. Dan ketakutannya cukup masuk akal. "Lucy berbeda. Aku percaya padanya. Dia tidak mungkin sejahat itu. Jadi, bisakah mulai sekarang aku minta tolong pada Bibi untuk bisa menerimanya juga?" Bi Ningsih bungkam. Tampak keraguan dari tatapannya. Lagi pula, manusia normal mana yang akan menerima permintaan seperti itu dengan mudah? Tinggal berdampingan dengan arwah gentayangan? Bahkan kami saja tidak kenal siapa dan seperti apa Lucy semasa hidupnya. "Anda mengenalnya sebelumnya, Tuan? Sebelum ia meninggal?" tanya Bi Ningsih. Aku sudah menduga kalau Bi Ningsih akan bertanya seperti ini. "Tidak sama sekali. Tapi, berinteraksi dengannya beberapa hari terakhir sudah membuatku yakin kalau dia bukan arwah yang jahat," jawabku. "Saya belum pernah melihat Anda bersikap seperti ini. Bahkan pada Nona Angel," ucap Bi Ningsih. "Maksud Bibi?" "Tuan tidak mudah menerima kehadiran seseorang. Bahkan Nona Angel saja Anda batasi dan tidak boleh masuk kamar Anda. Sementara hantu itu-" "Aku tidak bisa melarangnya. Dia selalu melakukan apapun yang dia mau tanpa izin dariku tapi, aku rasa aku sudah mulai terbiasa dengan itu. Dia tidak terlalu menggangguku," terangku. Bi Ningsih kembali diam. Aku tahu Beliau butuh waktu untuk mempertimbangkan permintaanku. "Arthur, apa terjadi sesuatu? Dia tahu keberadaanku?" Aku menoleh ke arah pintu kamarku yang tertutup. Lucy baru saja menerobosnya. Astaga, ia baru sadar dengan kecerobohannya barusan? "Bisa kamu tunjukkan dirimu pada Bi Ningsih sekarang?" pintaku. "Apa? Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Andai aku bisa, aku sudah melakukannya sejak pertama kali masuk ke rumah ini," jawab Lucy. "Ti- tidak perlu, Tuan," sambar Bi Ningsih dengan suara bergetar. Aku rasa, Beliau takut. "Sa- saya percaya. Ba- baiklah. Saya akan melakukan apa yang Anda minta. Saya akan mencoba bersikap terbiasa dengan kehadirannya," lanjut Bi Ningsih. "Apa? Sebenarnya apa yang baru saja kalian bicarakan? Apa menyangkut soal aku? Apa dia-" "Mulai sekarang, kamu tidak perlu bersembunyi dari Bi Ningsih. Bi Ningsih akan belajar untuk menerimamu," potongku. Lucy tampak membeku dengan wajah kakunya. Aku sendiri kini merasa ragu. Apakah langkah yang kuambil ini sudah tepat? Apa ini tidak akan berbahaya untuk Lucy maupun Bi Ningsih?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN