11 - Dia Kembali

1459 Kata
Lucy menatap hidangan di hadapan kami dengan malas. Bukankah tadi ia sendiri yang meminta menu pancake untuk sarapan? "Kenapa tidak dimakan?" tanyaku pada akhirnya. Tak hanya Lucy, tapi Bu Ningsih yang kini juga kuundang untuk bergabung di meja makan pun langsung mengangkat kepalanya untuk menoleh ke arahku. Aku memang berencana mendekatkan mereka. Setidaknya membuat keduanya saling merasa terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. "Sudah aku bilang, lakukan saja apa yang kamu sukai! Kamu boleh berlaku seperti manusia pada umumnya di sini," ujarku lembut. "Tapi bagaimana kalau Bi Ningsih takut?" tanyanya. Aku menoleh ke arah asisten yang sudah merawatku sejak lama itu. Wanita itu tampak terkejut saat mendapati aku yang menoleh ke arahnya. "Apa Nona Lucy membicarakan soal saya?" tanyanya. Aku mengangguk membenarkan. "No- Nona Lucy tidak perlu khawatir. Sa- saya akan berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan Anda. Asal Anda tidak menampakkan diri secara tiba-tiba di hadapan saya," ujar Bi Ningsih. Aku menatap Lucy. Ia mendengarnya sendiri, bukan? "Tolong katakan padanya, kalau aku sangat cantik!" pinta Lucy. Mungkin ia tersinggung karena secara tidak langsung Bi Ningsih mempertanyakan penampakannya. Aku terkekeh mendengarnya. "Kalau itu, kamu sendiri yang harus membuktikannya." Lucy mendengus kesal padaku. "Tuan, Anda bahkan bisa tertawa saat bersamanya?" tanya Bi Ningsih. Aku kembali menoleh ke arah wanita paruh baya itu. Apa sebegitu mahal tawaku hingga Bi Ningsih bisa keheranan begini? "Cepat makan makanan kalian! Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku kerjakan setelah ini," ujarku mengalihkan topik pembicaraan. Bi Ningsih tampak mengambil garpu dan pisau secara ragu. Ia sesekali melirik ke arah piring di depan Lucy. Dan aku tahu, Lucy pasti masih khawatir jika Bu Ningsih akan takut melihat peralatan makan itu bergerak sendiri. "Lucy!" Aku membuyarkan lamunannya. "Cepat makan, atau pakaian pesananmu tidak akan pernah sampai!" ancamku. Ia mengerutkan bibirnya. Lagi, gadis itu merajuk padaku. Tapi aku tidak peduli selama aku bisa memastikan kalau dia tidak kelaparan. Perlahan, tangan mungil itu mengangkat garpu dan pisau yang ada di atas meja. Aku memperhatikan Lucy dan Bi Ningsih secara bergantian. Keduanya tampak saling menatap gerak-gerik satu sama lain dengan waspada. "Hemmm ..." aku berdehem cukup keras. Membuat dua pasang mata itu bergegas menoleh ke arahku. Tapi, aku pura-pura tidak terjadi apa-apa. Rencanaku berhasil. Pelan tapi pasti, Bi Ningsih sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Lucy. "Biar saya saja yang membersihkan sisa makanannya, Nona," ujar Bi Ningsih saat kemungkinan ia melihat piring milik Lucy terbang. Aku terkekeh. Sepertinya justru Lucy yang masih merasa canggung. "Biar Bi Ningsih saja. Toh sekarang Bibi sudah tahu keberadaan kamu," ucapku. Lucy menurunkan kembali peralatan makannya. Ia kembali duduk di tempat semula. "Jam sebelas nanti aku akan keluar sebentar. Mungkin hingga jam dua. Kamu di rumah saja bersama Lawu, ya!" ucapku pada Lucy. "Kamu mau ke mana?" tanyanya. "Urusan orang dewasa. Pokoknya kamu di rumah saja sambil menunggu baju-baju pesanan kamu datang. Oh ya, kamu sudah tandai semua yang kamu mau?" tanyaku. "Hmm ... tapi aku masih bingung. Aku masih memasukkan delapan baju di keranjang. Bisa kamu bantu pilihkan?" pintanya. "Oke. Biar sekalian nanti aku pesankan. Beserta dalamannya, sudah?" tanyaku. Lucy mengangguk. Gadis ini benar-benar menggemaskan. Aku merasa seperti menghidupi anak kecil saat bersamanya. "Aku akan mandi dan bersih-bersih kamar. Kamu mau tetap di sini?" "Boleh aku ke catroom Lawu?" Aku mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya. Setelah itu, Lucy berlari kecil ke arah catroom Lawu yang kebetulan tak jauh dari ruang makan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Sebenarnya, berapa usianya? Apa dia masih sekolah? Tapi bahkan anak SMA zaman sekarang pun sering tampak sudah dewasa sebelum waktunya. Berbeda dengan Lucy yang masih tampak begitu murni. Aku beralih ke kamar. Memilih setelan yang pas untuk aku pakai di depan Angel. Meski tak saling cinta, tapi tentu saja aku harus tetap menghargainya. Aku tidak mau membuatnya kecewa. Terlebih, sudah hampir tiga bulan kami tidak bertemu karena ia sedang menyelesaikan proyeknya di luar negeri. Pilihanku jatuh pada kemeja navy dan celana berwarna hitam. Mau memilih pakaian selama apapun, sepertinya style-ku memang begini-begini saja. Lemariku tampak begitu monoton layaknya pria pada umumnya. Hanya ada beberapa warna netral seperti navy, cokelat, hitam, putih dan abu-abu. Saat aku menutup pintu lemariku, aku jadi ingat kalau aku belum menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan baju Lucy. Ah ya. Aku bahkan belum melihat keranjang belanjaannya di ponselku. Aku jadi penasaran, apa saja yang dibeli oleh gadis hantu itu. Aku duduk dan membuka ponselku. Ternyata benar, ia hanya memilih delapan pakaian dan tiga pasang dalaman. Aku iseng menambahkan beberapa lembar kain lagi sebelum benar-benar memesannya. Ada yang mirip dengan style Lucy, dan ada juga beberapa yang sesuai dengan pilihanku. Setelah itu, aku menyimpan ponselku di atas nakas dan benar-benar pergi ke kamar mandi. Pukul sebelas siang, aku keluar dari kamar. Aku berpapasan dengan Lucy yang sedang hendak masuk ke kamar. "Hmm ... harum. Kamu pakai parfumnya banyak sekali," komentarnya. Aku mencium ketiakku. Perasaan biasa saja. "Tidak juga," bantahku. "Iya kok. Oh iya, rambutmu juga sedikit lebih rapi dibanding biasanya. Dan lihatlah, licin sekali bajumu," ia terus saja mengomentariku. Dan entah mengapa, aku risih mendengar komentarnya yang seakan mengatakan jika dandananku hari ini cukup berlebihan. "Semua biasa saja. Aku tampil seperti biasa, tidak ada yang aneh," tegasku. "Ck ck ck. Masih nggak mau ngaku. Pasti mau nge-date?" tebaknya. Lalu, aku harus menjawab apa sekarang? "Hanya makan siang," jawabku pada akhirnya. "Dengan perempuan?" tanyanya lagi. Oh ayolah! Kenapa aku jadi merasa seperti sedang diinterogasi? "Aku tebak, pasti iya. Apa perempuan itu cantik? Siapa namanya? Boleh aku ikut?" berondongnya. Aku mengusap wajahku frustrasi. Gadis ini terkadang memang susah ditebak. "Kamu di rumah saja. Kamu bisa minta Bi Ningsih memasakkan menu makan siang apapun yang kamu mau," ujarku. "Kenapa aku tidak boleh ikut? Benar kan kamu mau nge-date? Makanya kamu tidak mau diganggu? Padahal aku tidak suka mengganggu. Aku cuma penasaran saja dengan seperti apa perempuan tipe kamu itu," ocehnya. Aku menghela napas panjang. Aku ingin mengomelinya. Tapi, rasanya baru semalam aku berjanji akan bersikap baik padanya. Dan tentu saja, lelaki itu yang bisa dipegang omongannya, bukan? "Tuan sudah mau pergi? Saya dengar Nona Angel sampai di Jakarta pagi ini," ujar Bi Ningsih dari arah tangga. "Angel? Namanya Angel? Aku melihat beberapa kali ia meneleponmu sejak kemarin. Apa dia kekasihmu?" tanya Lucy. "Kamu mau makan apa? Biar aku sampaikan pada Bi Ningsih." Entah kenapa, aku tidak ingin kami berlarut membahas Angel. "Aku bisa makan apapun yang Bi Ningsih masak. Aku sedang tidak ingin makan sesuatu secara khusus," jawab Lucy. Aku menatap wajahnya yang masih tampak datar. Apa dia baik-baik saja? Apa tidak masalah kalau aku meninggalkannya begitu saja? "Pakaianmu sudah aku pesankan. Dan akan diantar hari ini juga. Jadi tunggulah hingga pakaian pesanan kamu datang!" ujarku. Entahlah. Aku hanya ingin sedikit berbasa-basi lagi dengan Lucy sebelum aku benar-benar meninggalkannya. "Ah ... nanti biar saya bantu menata pakaian Nona Lucy di lemari Anda," sambung Bi Ningsih. "Lemari sebelah kiri yang berwarna putih, Bi. Hanya ada beberapa pakaianku di sana. Nanti Bibi bisa bantu pindahkan," ujarku. Bi Ningsih mengangguk mengerti. "Bibi tidak apa-apa aku tinggal bersama Lucy? Aku pastikan dia tidak akan mencelakai Bibi. Dia bukan hantu yang jahat," tanyaku. "Baik, Tuan. Saya tidak apa-apa. Hanya saja, saya sudah tua dan gampang merasa kaget. Jadi-" "Kamu dengar itu, Lucy?" Aku segera beralih pada Lucy. Setan kecil itu mengangguk mengerti. Membuatku merasa lega. "Dia tahu, Bi. Dia akan berhati-hati. Kalau begitu, saya pergi dulu." Setelah itu, aku benar-benar pergi. Aku sudah janji akan pergi ke rumah Angel jam setengah dua belas. Dan aku tidak mau terlambat di pertemuan pertama kami setelah tiga bulan lamanya ini. Selama aku tinggal, Lucy akan baik-baik saja, kan? Dia sudah dewasa. Di rumah juga ada Bi Ningsih dan Lawu. Seharusnya, Lucy tidak akan merasa kesepian, kan? Toh aku pergi hanya sebentar. Aku membagi fokusku pada jalanan dan juga telepon. 'Halo, dengan kediaman Tuan Arthur,' ucap Bi Ningsih di seberang sana. "Ini saya, Bi. Tolong katakan pada Lucy, saya akan kembali pukul tiga sore. Ia boleh membawa Lawu ke kamar sampai saya kembali." Aku memutuskan demikian, agar Lucy tidak terlalu kesepian aku tinggal sendiri. Hanya Lawu yang bisa berinteraksi dengan Lucy selain aku. 'Ah, ya. Akan saya sampaikan, Tuan. Saya juga akan mengantar Lawu ke kamar Tuan,' jawab Bi Ningsih. Aku menghela napas lega. Sekarang aku yakin, memberi tahu Bi Ningsih tentang keberadaan Lucy adalah pilihan yang paling tepat. Setidaknya wanita paruh baya itu bisa membantuku mengurus Lucy saat aku sedang tidak ada di rumah seperti ini. Terlebih, sekarang Angel sudah kembali. Kemungkinan aku akan lebih sering berada di luar rumah bersamanya. Sekadar pergi makan di luar, atau menonton film di bioskop. Kami memang terbiasa menghabiskan waktu bersama di sela jam kerja kami yang padat. Angel. Hanya wanita itu yang bisa dengan mudah mengajakku keluar rumah. Dia memang tergolong orang yang ekstrovert. Berbanding terbalik denganku. Tapi aku cukup nyaman berada di sampingnya. Mungkin karena kita memang sudah dekat sejak kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN