Bab 10. Lepas Kendali

1643 Kata
Diana melempar tub*hnya ke ranjang setelah sampai di kamar. Seperti biasa, Sanders belum kembali dari ruangan kerjanya. Padahal ini sudah tengah malam lewat. Namun, Diana tak mempedulikan hal itu. Ia telah puas dengan sang sopir tampan yang tadi kembali membawanya ke awang-awang. Wanita itu tersenyum. Kemudian menutup wajahnya dengan tangan ketika mengingat momen yang terjadi di mobil tadi. Aah ... andai sekuriti tadi tidak mengetuk kaca mobil mereka, apakah Evan akan .... Diana tersenyum lagi. Ia tak bisa membayangkan hal itu. Namun, ia tahu Evan mencoba menahannya. Rasanya sangat menegangkan. Dan Diana menyukai hal itu. "Aku sudah gila," bisik wanita itu pada dirinya sendiri. Diana membuang napasnya dengan kasar. Lantas, bangkit dari rebah. Ia tak tahu jika dosa telah membayang di depan matanya. Namun, bagaimana? Ia butuh sesuatu itu dan Evan bersedia memberikannya. Terlebih, pria itu begitu hangat. Bagaimana Diana bisa menolaknya? Wanita itu lantas bangkit dengan perlahan. Ia menuju ke kamar mandi demi membasuh tubuhnya. Diana menyiapkan air hangat untuk berendam. Siapa tahu, bisa meredakan mabuk yang melanda. Dalam bath up, wanita menceburkan tubuhnya yang telanjang dan segera merendamnya hingga batas leher. Sesaat, ia memejam. Namun, yang terlihat tetap wajah Evan yang memujinya setelah semua terselesaikan. Aah ... seromantis itukah sang sopir? Tak lama, terdengar suara pintu dibuka dari luar. Diana tahu, itu adalah suaminya. Saat suara langkah kaki terdengar mendekati kamar mandi, wanita itu pura-pura memejamkan mata. Pintu geser itu bergerak dan kepala Sanders muncul di baliknya. Pria itu tersenyum ketika melihat sang istri ada sudah ada di rumah. "Kamu baru pulang?" tanya Sanders. "Hmm." "Apa Ibu marah karena aku tak datang?" tanya pria itu lagi. Diana membuka matanya, lantas menoleh ke arah pintu. Sanders lantas masuk ke kamar mandi dan mendekati bath up di mana sang istri berada. Pria itu berjongkok demi bisa berbicara dengan Diana lebih dekat. "Menurutmu? Aku tak masalah dengan kemarahan Ibu. Aku hanya benci mendengar pertanyaan dari sepupu-sepupumu," sahut Diana. "Maaf, soal itu. Mereka hanya iri. Jadi, mereka selalu mengganggumu," kata Sanders. Diana membuang napasnya dengan kasar. Bukan mereka yang iri, tapi Diana. Ketika semuanya berkumpul bersama suaminya, ia hanya bisa duduk sendiri. "Apa yang mereka irikan dariku? Kamu salah, Sanders. Aku yang iri," ucap Diana lirih. "Oh, ayolah, Sayang. Lain waktu kita datang bersama. Aku akan jelaskan pada mereka jika aku memang orang yang sibuk. Bukan sengaja membiarkanmu pergi sendiri." Sanders mencoba menjelaskan. Tangannya terulur demi mengusap ubun-ubun sang istri lembut. Ia harus menenangkan wanita itu. Bisnis yang kini ia jalani jauh lebih menguntungkan. Namun, juga menyita banyak waktunya. Dan itu semua untuk Diana. "Bukan hanya itu, Sanders. Mereka juga mencibirku yang tak kunjung memberimu keturunan. Aah ... aku benci menjawabnya. Mereka selalu membanding-bandingkan keberuntungan mereka denganku, Sanders. Aku yang mereka pikir hanya peduli dengan hartamu," ucap Diana makin kesal. "Aah ... lupakan mereka. Lain kali tidak udah datang jika hanya membuatmu kesal. Ibu juga pasti akan maklum. Lagi pula, soal anak. Itu bukan urusan mereka. Kita akan punya anak ketika nanti kita mau. Jangan mempersulit diri sendiri. Lanjutkan mandimu. Aku harus tidur. Aku lelah. Besok pagi-pagi sekali aku harus pergi," jelas Sanders. "Terserah kamu saja," sahut Diana dengan acuh. Wanita itu membuang pandangan ke arah lain. Sementara Sanders beranjak menuju ke ranjang. Sebelum menutup kembali pintu kamar mandi, pria itu kembali menoleh. "Pergilah belanja besok. Aku yakin, hatimu akan kembali baik," katanya. Sanders menutup pintu, sedangkan Diana memukul air dalam bath up hingga berkecipak. Ia tak butuh belanja. Ia butuh suami yang memberinya kehangatan. Cinta saja akan sulit untuk bertahan. Harta saja, juga sama. Siapa yang butuh uang setiap saat. Yang Diana mau waktu untuk berdua. Dan Sanders tidak memberikannya. Usai menyelesaikan sesi mandinya, Diana keluar. Ia hanya mengenakan kimono mandi saja dengan rambut yang dibungkus handuk. Wanita itu melirik sang suami yang sudah terlelap di ranjang, lantas membuang napas kasar. Diana kemudian berhenti sejenak di depan meja riasnya. Hanya sekadar menatap wajahnya yang sudah kembali berseri setelah mandi air hangat. Wanita itu kemudian bangkit, dan berniat pergi ke dapur untuk mencari sesuatu. Ia juga tidak sempat makan tadi di rumah ibu mertuanya. Jadi, saat ini ia merasa sangat lapar. Namun, wanita itu terkejut ketika melihat Evan juga ada di sana. Pria itu sedang sibuk merebus mi untuk makan malam yang sangat terlambat. Menyadari ada langkah kaki yang mendekat, Evan mulai sedikit waspada. Sepertinya tadi ia telah memastikan semua orang tidur. Namun, siapa yang berjalan ke arahnya? Dengan insting intelejennya yang mumpuni, pria itu mulai menerka-nerka. Sayangnya, hatinya jauh lebih peka dari otak yang bekerja. Aroma tubuh itu ... aaah, ia kenal milik siapa. Nona Diana yang cantik jelita. Pria itu lantas menoleh. "Nona." "Aah ... astaga. Harusnya aku yang bikin kamu kaget. Kenapa kamu ngagetin aku duluan, Van," ucap Diana seraya memegangi dadanya yang bergemuruh. Evan tersenyum melihat ekspresi yang ditunjukan sang nona. Sangat menggemaskan. Pria itu bahkan hampir khilaf demi mengekspresikan rasa senangnya. "Nona mau apa ke dapur?" tanya pria itu. "Aku lapar," sahut Diana. "Baiklah. Aku akan membangunkan Talita. Nona-" "Jangan! Aku bisa membuat mi sendiri," kata wanita itu. Evan jelas meragukan hal itu. Diana datang dari keluarga kaya dan terpandang. Mana mungkin bisa melakukan itu. Kecuali, mama dan papanya memperbolehkan wanita itu berjibaku di dapur. Evan menyisih ketika Diana mendekati kompor. Wanita itu memilih panci yang kemudian ia isi dengan air. Mulai dari sana saja sudah terlihat jika wanita itu tidak terbiasa di dapur. "Nona, itu panci presto. Pakai yang ini saja," ucap Evan seraya menunjukan panci kecil untuk merebus. "Oh, iya. Aku lupa," elak Diana. Walau sedikit merasa jengah, tapi wanita itu tetap percaya diri melakukannya. Namun, tetap saja susah. Evan lantas membantu membuka bungkus mi dan menyerahkannya pada sang nona. "Tunggu mendidih dulu, baru masukan," kata Evan. "Aku sudah tau. Jangan mengajariku," kata Diana kemudian. Evan hanya mengangguk lemah. Pria itu kembali mundur, lalu melihat bagaimana sang nona bekerja. Diana mengambil sebutir telur dalam kulkas. Dengan takut-takut, ia membuka cangkang telur dan berniat memasukannya dalam panci. Sayangnya, itu tidak berhasil. "Biar saya saja, Nona," ucap Evan seraya mengambil alih semuanya. Saat itu, Diana mundur dan melihat bagaimana sang sopir bekerja. Sungguh tidak pernah Diana duga. Evan sangat cekatan melakukanya. Walau hanya mi instan saja. Tetap saja, pria itu bisa menarik atensi Diana yang berdiri tak jauh dari sana. "Silakan dimakan, Nona," ucap pria itu seraya menyodorkan semangkuk mi ke meja sang nona. Wanita itu tersenyum, lantas memuji kepiawaian sang sopir dalam segala hal. Apakah Evan memang sesempurna itu? "Ini hanya karena terbiasa saja, Nona," sahutnya. "Berarti yang tadi juga karena terbiasa?" tanya Diana. "Tidak, Nona. Bukan begitu. Yang tadi itu ... saya sudah pernah bilang. Yang seperti itu hanya akan saya lakukan jika hati saya yang menginginkannya," sahut Evan dengan hati-hati. Tentu saja, pria itu tak mau membuat Diana salah paham. Oke. Ia memang pernah melakukan hubungan int*m sebelum ini, tapi itu sudah sangat lama. Dan hanya dengan satu orang saja. Jika sekarang ia dianggap terbiasa, tentu saja salah. "Iya, aku percaya," jawab Diana kemudian. Mereka bersirobok beberapa saat. Sampai akhirnya, sama-sama memutuskan tatapan. Malam itu, mereka berdua terlihat begitu akrab dengan mi instan buatan Evan. Diana menyadari sesuatu yang kemudian membawa kenyamanan ketika bersama sang sopir. Evan sangat perhatian dan menyenangkan. Ia sempurna untuk seorang pria. Dan Diana mengakui hal itu. * "Apa? Polisi sudah mengendus transaksi kita?" tanya Sanders pada seseorang di seberang telepon. Pria itu tampak gusar ketika salah seorang anak buahnya mengabarkan, bahwa ia harus segera memindahkan barang-barang dari bisnis bawah tangannya ke tempat lain. Sebab, pihak berwajib telah mengetahui tempat persembunyian itu. "Urus semuanya," kata Sanders. Pria itu mengurut keningnya. Lantas, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ia harus mencari tempat aman lain sekarang. Bukan tidak mungkin bisnisnya itu akan digerebek dan ia tak akan mendapatkan apa-apa. Saat ia sedang pusing-pusingnya, Diana masuk ke kamar dan langsung memeluk pria itu. Wanita itu tersenyum lebar dan menunjukan gelang emas yang baru saja ia beli. "Bagus enggak?" tanyanya. Sanders hanya mengangguk. Ia sedang tidak berminat mengomentari perhiasan milik sang istri saat ini. "Hanya begitu saja. Sayang, aku harus berebut dengan seluruh sosialita di negara kita untuk mendapat ini. Masak kamu cuma gitu, doang," kata Diana. "Iya-iya. Aku lihat lain kali saja, ya," ucap Sanders. "Oh, iya. Kita doanya undangan pernikahan dari temanku. Kita datang, ya. Aku mau kita sama-sama ke sana. Dan-" "Kamu saja sendiri. Aku sedang sibuk," sahut Sanders. Diana melepas genggaman tangannya pada lengan sang suami. Ia benar-benar hanya meminta waktu pria itu sebentar dan ia masih tidak bisa. "Sibuk saja terus. Kapan kamu punya waktu buat aku, Sanders?" "Jangan sekarang, Di. Aku sedang pusing. Kerjaanku sedang banyak dan aku enggak bisa sekadar nongkrong sama kamu. Waktuku itu berharga." "Dan aku enggak?" tanya Diana. Sanders terdiam. Ia menatap wanita yang kini hampir menangis itu nyalang. Lantas, mendekati Diana kemudian. "Kamu sangat berharga, tapi berhentilah memaksaku untuk terus bersama. Aku tidak bisa pergi ke acara temanmu," sahut Sanders kemudian. Tangis Diana pecah. Ia hanya sekadar ingin terlihat sebagai pasangan saja. Nyatanya, Sanders tidak bisa mewujudkannya. Wanita itu menyahut tas dan segera keluar dari kamar itu. Ia menuju ke garasi di mana saat itu Evan sedang merokok. "Kita ke pantai, Van," kata wanita itu seraya nain ke mobil. "Baik, Nona." Evan manut dan membawa wanita itu ke tujuan yang telah Diana katakan. Sepanjang perjalanan, Evan memperhatikan sang nona yang tak henti menangis. Sampai akhirnya, mereka sampai di tempat biasa Diana menenangkan diri. "Apa ... saya harus keluar dulu, Nona?" tanya Evan kemudian. "Jangan! Duduklah di sini," kata Diana meminta sang sopir untuk berpindah ke belakang. Dengan d**a berdebar Evan pun manut. Pria itu berpindah ke samping Diana saat itu juga. Tepat setelah ia mengempaskan tubuhnya, sang nona menumpahkan segala kelesah hatinya pada pria itu. "Van, temani aku, ya. Lakukan apa pun maumu. Buat aku senang hari ini," kata Diana kemudian. Evan masih terdiam, ketika kemudian Diana mendongak. Wanita itu menatapnya nanar, sedangkan tangannya menyentuh tubuh bagian bawah pria itu dengan lembut. "Mari kita lakukan!" bisik Diana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN