"Nona ...."
Evan memanggil Diana lirih. Mereka masih saling tatap ketika kemudian wanita itu maju lebih dulu. Bib*rnya yang ranum menempel pelan pada bibir pria di depannya. Dengan gerakan perlahan, Diana mulai bermain sebentar di sana.
Saat itu, Evan masih diam saja. Ia masih mengamati apa yang dilakukan istri bosnya itu saat ini. Diana seperti kehilangan kendali. Ia benar-benar mempermainkan hasr*t sang sopir yang kini mulai terpancing. Tentu saja, mana bisa Evan diam saja ketika wanita di depannya terus mempermainkan. Namun, otak warasnya masih bekerja baik. Baiklah, seperti kemarin saja. Ia bisa menyelesaikan semuanya sendiri jika wanita yang kini jadi kesayangannya ini terpuaskan.
Tangan bebas Evan kini terulur demi mencari celah menjamah titik sensitif di tub*h Diana. Dress selutut yang dipakai wanita itu memudahkan sang sopir untuk mengakses tub*h istri bosnya itu dengan gusar. Ketika Evan sampai di sana, Diana melepas ciumannya. Ia tidak bisa tidak mendes*h. Jemari itu adalah yang paling lihai membuat Diana kepayang.
"Van ... kamu pintar sekali," bisik Diana.
Wanita itu menurunkan pertahan tipisnya, lalu membukanya lebar-lebar. Seolah-olah telah kehilangan rasa malunya, Diana dengan suka rela memperlihatkan miliknya yang berharga kepada sang sopir yang rupawan.
Evan menelan ludahnya dengan kasar. Mana bisa ia menahan semua ini. Sesuatu yang ada di depan matanya begitu indah. Terlebih, Diana telah mempersembahkannya.
"Ayo, Van," lirih wanita itu.
Evan mengangguk lemah. Mula-mula, ia mengusap tangannya yang kekar dari lutut Diana. Terus naik hingga menemukan mainan yang menggemaskan. Pria itu mendongak ketika jemarinya lincah mempermainkan milik istri bosnya yang kecil. Ia ingin melihat bagaimana ekspresi Diana yang mempesona ketika berada di ambang kenikmatan.
"Sh*t! Nakal sekali kamu, Van," kata Diana saat itu.
Wanita itu tersenyum senang. Namun, mendadak memejamkan mata ketika napas hangat sang sopir menerpa kulitnya yang sensitif. Disusul sentuhan lain yang begitu hangat. Lalu gerakan teratur yang membuat Diana benar-benar kepayang.
Evan benar-benar meratukan dirinya hingga Diana tak bisa menahan diri. Tangannya yang bebas mengusap kepala bagian belakang sang sopir yang kini sibuk memberinya sentuhan. Sampai akhirnya, Diana berteriak. Tub*h bagian bawahnya berkedut kencang sampai terasa hingga ke ubun-ubun. Sementara Evan tak menghentikan kegiatannya sama sekali. Pria itu malah makin menikmati apa yang kini ia lakukan.
"Aah ... stop, Van. Stop! Aku tak tahan," kata Diana kemudian.
Saat itu, baru Evan berhenti. Namun, tangannya masih ada di sana dan membelainya mesra. Pria itu menatap wajah sayu Diana yang terpuaskan. Lantas, menyibak anak rambut wanita itu yang menempel di kening karena keringat.
"Nona cantik sekali," bisik Evan tanpa sadar.
Pria itu benar-benar terpesona dengan kecantikan istri bosnya yang kini ada dalam kungkungannya. Jika tidak ingat pekerjaannya, Evan pasti sudah nekat melakukan itu. Namun, ia masih bisa mengendalikan diri.
Sementara Diana yang dipuji demikian rupa menahan wajahnya yang memanas. Demi apa pun, pria di depannya adalah yang ia idamkan. Lembut, cekatan, dan selalu bisa menyenangkannya. Bukan hanya memberinya materi semata. Sayangnya, Evan hanya sopir yang Diana beri akses untuk menjamah tub*hnya yang seksi.
Setelah memuji istri bosnya, Evan mendaratkan ciuman di rahang wanita itu. Hanya ciuman kecil saja. Pria itu tak mau meninggalkan bekas yang mungkin saja bisa menimbulkan masalah. Namun, jarinya mulai bekerja lagi. Sekali saja, ia ingin melihat Diana menggelepar puas karena servicenya. Dan benar saja, gerakannya yang cepat makin membuat wanita itu tak terkendali. Beberapa menit kemudian, Diana melolong panjang. Dirinya telah sampai hingga membuat kepalanya berdenyut cepat. Napas wanita itu memburu dan keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Evan melepaskan dirinya. Hasil dari kerja kerasnya mengerjai istri sang bos terlihat jelas di tangannya. Pria itu lantas mengambil tisu dan membersihkannya dengan segera. Sementara Diana masih memejamkan mata demi menikmati denyutan demi denyutan yang tersisa dari pelepasan.
Saat wanita itu membuka mata, Evan masih menatapnya dengan takjub. Kecantikan Diana makin terpancar saat ini. Pria itu bahkan tidak lepas menatap wajahnya yang berseri karena telah mendapatkan apa yang ia mau.
"Van, apa kamu enggak mau melanjutkannya?" tanya Diana.
"Jangan, Nona."
"Tapi aku mau," bisik Diana dengan sedikit memelas.
Evan juga mau, tapi tak mungkin ia melakukan itu. Jika ketahuan, bukan hanya ia yang akan tamat, tapi juga seluruh misi dan anggota BIN.
Evan masih menggeleng. Ia lantas mengambil tisu dan dengan telaten membersihkan milik Diana yang basah. Ia juga yang kemudian memakaikan kembali underwear yang tadi sempat dilepas oleh sang nona.
"Sudah selesai. Kita harus segera pulang, Nona," kata Evan.
"Kamu bagaimana?" tanya wanita itu.
Evan tersenyum, lantas menggeleng lemah. Ia hendak kembali ke kursi kemudi ketika tiba-tiba Diana menahan dirinya. Dengan tubuh yang masih sempoyongan, wanita itu mengubah posisinya. Ia meminta Evan duduk, lantas melepas gesper yang dikenakan pria itu.
"Jangan, Nona!" katanya.
"Ini perintah. Jadi, jangan membantah," sahut Diana.
"Tapi, Nona. Saya-"
Evan menghentikan ucapannya ketika tangan Diana yang lembut membelai miliknya yang keras. Wanita itu sedikit terkesiap. Ia mendongak sesaat demi melihat wajah sang sopir dan kembali menunduk ketika tangannya yang cekatan berhasil meloloskan sesuatu yang sejak tadi menahan diri.
Wajah Diana terlihat pias ketika mengetahui bahwa di depannya adalah milik sang sopir. Ini terlihat gila, tapi Diana tak menampik jika dirinya kembali berdenyut melihat benda itu.
"Nona, jangan! Saya tidak ... aah ...."
Evan mel*nguh ketika Diana melakukan tugasnya dengan baik. Mau menghentikan bagaimana, ini terlalu nikmat. Terlebih wanita yang melakukannya adalah wanita tercantik yang Evan pernah temui. Jadi, apakah ia harus berhenti sekarang?
Pria itu hanya bisa menikmati apa yang diberikan oleh sang nona. Benar, tidak harus melakukannya, tapi begini saja sudah cukup bagi pria itu. Sementara Diana yang kehilangan kewarasannya benar-benar menikmati hal itu. Tanpa sadar, tub*hnya ikut berdenyut saat mendengar des*Han sang sopir dan usapan tangan Evan di kepalanya. Sampai akhirnya, sebuah ketukan di kaca mobil mengagetkan mereka.
Evan segera meminta Diana untuk bangkit. Ia lantas memasukan miliknya dan membuka kaca jendela mobil ketika semuanya aman.
"Iya."
"Cari hotel saja, Pak. Jangan diparkiran sini," ucap sekuriti yang memergoki mereka.
"Oke. Maaf "
Evan segera turun dan duduk di kursi kemudi. Gegas melajukan kendaraan itu menuju ke kediaman Sanders. Setidaknya, menjauh dulu dari kelab itu. Jujur, ia sangat terkejut ketika tadi ada yang tiba-tiba mengetuk kaca mobilnya. Sialnya, ia belum mendapatkan penyelesaian dari permainan Diana. Aah ... mungkin sebaiknya itu tidak terjadi. Yang penting, sang nona telah puas dan ia bisa melakukannya sendiri.
"Maaf, ya, Van. Aku terlalu lama," kata Diana yang sudah lemas karena mabuk.
Evan melirik dari spion dalam, lantas mengangguk.
"Tidak apa-apa, Nona. Terima kasih," ucapnya.
"Hentikan mobilnya. Aku akan melakukannya lagi untukmu," kata wanita itu.
"Tidak perlu, Nona. Kita harus segera sampai di rumah agar Tuan Sanders tidak cemas."
"Hah, lupakan sejenak pria itu, Van. Jangan membahasnya."
"Baik, Nona."
"Jadi, apa kita ke hotel saja?" ucap Diana asal.
"Tidak perlu, Nona. Kita sudah mau sampai di rumah," sahut Evan.
Diana mencebik kesal. Padahal ia ingin sekali membalas perbuatan Evan. Ia juga mau melihat pria itu kelabakan seperti dirinya. Sayangnya, ia juga sedang mabuk dan sangat lelah. Sampai akhirnya, mobil menepi di halaman kediaman Sanders.
Evan membukakan pintu untuk Diana yang sudah terlelap. Pria itu melepas seat belt dan mencoba membangunkan sang nona untuk beranjak ke kamar.
Saat itu, Diana membuka mata. Ia mengalungkan lengannya di leher Evan lantas mendaratkan bibirnya dengan lembut di pipi pria itu.
"Lain kali aku akan selesaikan," bisiknya.
Evan terkesiap. Ia tak bisa membalas apa pun. Ketika kemudian, Diana melepaskan dirinya dan keluar dari mobil. Dengan langkah sempoyongan, wanita itu masuk ke kediamannya. Sementara Evan hanya bisa terdiam. Tak lama, ia tersadar dan langsung masuk ke kamarnya.
Pada guyuran shower kamar mandi, pria itu memejam seraya mengusap pelan miliknya yang tak terpuaskan.
"Aah ... Nona Diana, kau membuatku sakit kepala saja," bisiknya.