Allea tak menyangka Andreas membawanya ke luar gedung perkantoran, jauh dari kota, dan berenti di tempat yang memukau mata. Kini, ia menjejakkan kaki di pinggir pantai di atas pasir putih berkilauan.
Pantai yang indah. Embusan angin menerbangkan rambut panjang Allea memperlihatkan leher jenjangnya yang seksi, hamparan laut biru dan langit yang terbentang di atasnya adalah lukisan alam paling indah yang Allea lihat seumur hidup. Debur-debur ombak menggelitik kaki telanjangnya, kadang Allea berlari kecil menyusuri bibir pantai dan mengejar ombak.
Andreas berdiri tegak mengamati kegembiraan Allea yang terus berlari mengejar ombak, tangan gadis itu sesekali melambai dan kakinya melompat. Andreas balas melambaikan tangan dan melempar senyum lebar pada Allea.
"Aku tahu kamu pasti nyukai tempat ini," gumam Andreas. Allea masih diujung sana, melambai-lambai ke arahnya.
Kaki Andreas segera berlari, mengejar Allea sambil merentangkan kedua tangan. Ia merasa geli pada dirinya sendiri, tentang perasaan yang tak bernama, Andreas kesulitan menyebutnya apa.
Sudah lama sekali, Andreas tak menjejakkan kaki di atas pasir pantai. Menghirup udara segar dan menggelapkan kulit di bawah sinar matahari. Mengubur badan di pasir dan memungut kerang-kerang laut seperti yang dulu pernah ia lakukan bersama Arini. Kenangan itu seakan kembali saat melihat Allea bersamanya.
"Aku mencintaimu," bisik Andreas di telinga Arini. Berkali-kali. Sampai Arini terkikik kegelian dan akhirnya melempari Andreas dengan pasir.
Andreas berlari bertelanjang d**a, dan Arini mengejarnya sambil menggenggam pasir. Sampai keduanya merasa lelah kemudian terhempas bersama, berguling-guling di atas pasir dengan napas tersengal-sengal. Melihat Arini kelelahan, Andreas tak tahan untuk tidak menyentuh bibirnya dengan lembut. Andreas menamainya 'Ciuman dengan napas satu-satu', kenangan itu tak pernah ia lupa sampai kapanpun.
"Ayo!" seru Allea, tanpa sadar tangannya menarik tangan Andreas agar ikut mengejar ombak.
Tubuh Andreas terasa kaku, ia sulit melakukannya. Tetapi Allea terus memaksa. "Apa gunanya ke sini kalau cuma berdiam diri, hmm?"
"Ah, ya, baiklah." Akhirnya Andreas mengalah. Ia mengikuti Allea mengejar ombak, berlari-lari dengan lincah, jika tidak, gadis itu akan merajuk.
Tubuh Andreas mulai kelelahan. Ia sudah tak sekuat dulu. Usianya sudah tak pantas lagi berlari-lari seperti anak kecil dan mengejar ombak. Ia meminta maaf pada Allea dan mengatakan ia sudah capai.
Andreas berbaring di atas tikar di bawah pohon kelapa, ia sudah menghabiskan satu buah es kelapa muda, semua makanan dan minuman sudah tersedia di sana, Andreas mengatur semuanya dengan baik. Sementara Allea, berjalan ke arahnya untuk bergabung.
"Kamu menikmatinya?" pertanyaan bodoh Andreas terlontar, harusnya ia bisa melihat betapa bahagianya Allea.
"Saya harus berterima kasih sudah mengajak saya ke sini. Wow, luar biasa indah, Pak." Allea segera menyambar es kelapa muda yang sudah disediakan untuknya.
"Saya senang kalau kamu bahagia, Allea. Sejujurnya ... ada hal penting yang ingin saya ceritakan, dan tempat ini salah satu bagian dari cerita itu."
Allea memasang tampang serius, ia penasaran apa yang ingin Andreas katakan. 'Apa itu kisah cinta?' Pikir Allea, tetapi ia tak ingin menebak-nebak.
Allea duduk berselonjor kaki di dekat Andreas, cukup dekat. Entah mengapa hari ini ia melihat sisi lainnya lagi dalam diri Andreas. Sikapnya pun tidak sekaku dan setakut saat Allea melihat Andreas di kantor.
"Saya hanya mencintai satu gadis, sejak dulu dan hingga nanti. Mungkin, sampai hela napas terhenti. Dia gadis biasa, sederhana, berhati lembut, terkadang keras kepala. Saya menyukai semua yang ada dalam dirinya, termasuk air mata yang kerap ia simpan sendiri tanpa seorang pun tempat suka rela ia bagi.
Awalnya ... saya mengira cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan. Saya sering mengawasinya dari kejauhan, menatapnya seperti menatap sekuntum mawar merah, mengagumi tapi tak pantas memiliki. Ia begitu indah, begitu sempurna. Gadis itu pencinta hujan. Pecinta buku. Pecinta sunyi." Mata Andreas terus menatap langit, seakan ia membaca lembar kenangnya di atas sana.
"Lalu?" Allea tak sabar.
"Saya mengenalnya karena kami satu sekolah saat itu. Saya melihat ia berbeda. Ia istimewa, sampai perasaan mencintai itu tertancap dalam di palung hati. Saya menjadi terobsesi, takut kehilangan, cemburu, bahkan ingin memiliki. Saya pikir, saya sudah tidak waras saat itu. Apa itu terdengar konyol?" tanya Andreas.
Allea berkata jujur, "Yah, lebih tepatnya terdengar menggelikan. Cinta semacam itu hanya omong kosong."
"Terdengar seperti itu memang, kenyataannya tidak. Gadis itu menyambut perasaan saya tampa pamrih. Ia mencintai saya tanpa tapi. Menerima segalanya seakan ia menerima dirinya sendiri. Ruang sunyi yang ia bangun, menjadi ruang sunyi kami berdua.
Setiap hujan turun, kami habiskan menikmati suara derunya bersama, tanpa kata, tanpa sentuhan, hanya suara getar dan riuh dalam d**a kami masing-masing.
Kala terik matahari terasa begitu menyengat, perpustakaanlah tempat kami meneduh. Hening, melahap semua buku-buku di dalamnya kemudian kami bertukar pikiran, buku apa yang sudah kami baca dan bagaimana kisah yang tertulis di dalamnya.
Tempat paling indah, adalah pantai. Kami memilih pantai paling sunyi. Pantai yang hanya ada kami sebagai penghuni. Kami habiskan sepanjang hari menikmati pesona alam ini.
Kenangan itu terus berputar Allea, kisah itu abadi. Cinta itu nyata. Kasih itu selalu ada. Tapi dia ... hingga detik ini entah di mana."
Allea terhenyak, apa yang bicarakan Andreas saat ini ia seperti mengenal siapa sosok yang dimaksud. Ia merasa dekat.
Kedua kaki jenjang Allea dipenuhi pasir yang sudah mengering. Pasir-pasir itu berjatuhan di tikar. Andreas menatap mata Allea, jauh ke dalam sana.
"Kamu tahu, kedua matanya ... seperti mata milikmu. Sama. Inilah alasan saya selalu merasa bahagia bila bersamamu. Maafkan saya atas semua sikap dan perilaku saya yang, mungkin kamu benci.
Membawamu ke sini, bukan tanpa alasan. Saya rindu, rindu mendekap kenang, rindu tawanya, rindu tatapannya, rindu merasakan riak dalam gelombang cinta yang tercipta. Melihatmu seperti saya melihat dia. Banyak kesamaan-kesamaan yang kadang membuat saya frustasi, saya dilema, saya gila, saya merasa, kamu adalah reinkarnasinya yang memang Tuhan ciptakan untuk saya." Suara Andreas mulai terdengar aneh di telinga Allea, suaranya serak dan ia seolah tak sanggup melanjutkan. Ritme degup jantung dan tarikan napas Andreas saling bekejaran.
"Saya hampir putus asa, Allea, seakan hidup telah usai, semenjak ia menghilang sebelum ujian akhir sekolah tiba. Tak ada yang tahu, bahkan semesta pun seakan enggan mengatakan di mana gadis itu berada. Semua hening. Senyap. Dia tak pernah lagi datang ke sekolah. Tak bisa saya lihat ia menatap hujan basahi kuntum bunga, bau petricor yang ia sukaipun membuat saya mual setiap kali tercium bila hujan turun. Perpustakaan seakan redup, buku-buku mengejek saya, dunia seolah ikut meninggalkan saya. Saya terpuruk. Benar-benar jatuh dan patah.
Ah, Allea. Saya pernah mengatakan, suatu saat saya akan mengatakan mengapa saya selalu menulis surat, saya berpikir, ini waktu yang tepat untuk kamu pahami. Puluhan tahun, di setiap saya mengingat dia, saat itu juga saya menuliskan kata hati. Yah, semacam rangkaian kata-kata untuknya dari saya. Saya rindu, saya jenuh, saya lelah, bahkan ketika saya berpikir ingin mati," papar Andreas lagi. Tanpa ekspresi.
Embusan angin membelai rambut Allea hingga mengenai wajah Andreas. Wangi rambut Allea membuat Andreas segera membelainya, dan mencium rambut panjang itu dengan mata tertutup. Cukup lama.
"Saya pernah mencium rambutnya seperti ini. Ia memiliki rambut yang indah. Wanginya semerbak bagai harum kelopak mawar. Saya selalu menyukai rambutnya, kadang, saya sering menyanggul, mengepang, atau sekedar menggelung asal. Apapun yang saya lakukan, dia pasti menyukainya. Kamu tahu, Allea, dia bilang kalau saya laki-laki paling romantis. Aih, saya rasa, dia hanya ingin membuat saya senang. Namun, saya tak peduli, kami memiliki cara tersendiri agar saling membahagiakan." Mata Andreas terbuka, dan ia melepas rambut panjang Allea.
"Apa yang membuat Bapak jatuh cinta begitu dalam?" tanya Allea tak sabar.
"Cinta itu tanpa alasan. Ia hadir begitu saja. Terus merasa takjub. Jangan tanyakan mengapa, saya sendiri pun tak tahu," jawab Andreas, ia menoleh pada Allea.
"Apakah Bapak mencintai saya?" Allea balas menatap Andreas. Kedua mata mereka bertemu. Allea berusaha mencari jawabannya di sana.
Andreas mengalihkan pandangan, kini pada deburan ombak menghantam karang. Suaranya memecah sunyi, seakan meneriakkan kekuatan dalam jiwanya yang rapuh.
"Allea, cinta tak semudah bibir mengucap. Saya telah bersumpah pada diri sendiri, tidak akan menikah sebelum saya temukan dia di depan mata. Bahkan, sampai saya menutup mata selamanya sekalipun."
"Jadi, itu alasannya mengapa Bapak masih bertahan hidup sendiri?" Suara Allea tercekat, ia menelan ludah yang terasa kering.
"Kadang, adakalanya pilihan itu kita buat sendiri. Saya rasa, itu keputusan yang baik untuk saya. Bagaimanapun cara orang menilai, melihat, atau menghakimi saya. Bahkan, orang tua, saudara, sanak famili, sudah tak peduli, mereka pasrah pada apa yang sudah saya putuskan."
"Itu terlalu kejam," seru Allea tertahan. "Jangan pernah mengutuk diri seperti itu, bisakah?"
"Itu sudah terjadi," erang Andreas, "saya sudah membukukan surat-surat yang saya tulis untuknya. Tidak semua, hanya surat tertentu yang saya rasa istimewa. Sebentar lagi, saya mengadakan acara launching buku itu, saya berharap kamu bisa hadir bersama ibumu."
"Ibu saya?" Allea mengulangi, ia seakan tak percaya Andreas ikut mengundang ibunya di acara penting itu.
"Ya, tidak apa. Saya senang bila kalian bisa hadir. Saya penasaran, seperti apa wanita yang sudah melahirkan gadis yang matanya mirip dengan kekasih saya itu," ucap Andreas, menekankan nada bicaranya seolah ia benar-benar penasaran.
'Nyonya Arini'
Suara wanita petugas rumah sakit itu kini kembali terngiang di telinga Andreas. Nyonya Arini, ah nama itu ....
Andreas ingin bertanya pada Allea, apa benar nama ibunya Arini? Seperti apa ia? Dan banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Tentang kehidupannya, keluarganya, semua. Tetapi seketika pertanyaan-pertanyaan itu ia urungkan, ia tak ingin Allea salah paham. Allea akan bertanya-tanya, di mana ia tahu nama ibunya dan mengapa ia sebegitu ingin tahu.
Bibir tipis Allea merekah, ia benar-benar merasa bahagia. "Dengan senang hati, Pak. Saya, bersama ibu akan hadir. Suatu kehormatan bagi kami dapat undangan dari Bapak." Allea melempar senyum. "Omong-omong, selamat ya, Pak, sudah menerbitkan buku istimewa itu."
"Bukan bukunya yang membuat saya bahagia, saya rasa, menerbitkan buku perkara mudah. Ada harapan besar dalam diri saya pada buku itu, ia akan membawa saya menemukan separu jiwa saya yang hilang."
***
Langit berubah oranye dan kemerahan, matahari sore mulai berkilau megah. Pesonanya membuat dua pasang mata melihatnya takjub, keindahan itu menjadi milik Andreas dan Allea yang saat ini sudah berdiri di tepi pantai dengan kaki telanjang dicumbui buih-buih ombak.
Wajah Andreas terbias cahaya orangye, rambutnya yang mulai rapat ditumbuhi uban tampak berkilau. Andreas tersenyum tipis ke arah Allea yang berdiri di sampingnya, tak lepas mengagumi matahari yang nyaris tenggelam.
Hati Andreas beriak riang, bersenandung mengalunkan melodi cinta. Ia kembali merasakan debar yang sama dan tatapan yang sama, bahkan di tempat yang sama.
"Seandainya wanita itu Bapak temukan, apa mungkin kita masih bersama?" tanya Allea ragu-ragu, bersamaan debur suara ombak.
Andreas tak menjawab. Ia biarkan sunyi kembali mengusik. Mempersilakan angin berbisik merayunya menginginkan gadis itu selamanya, tetapi ia tak lagi mampu berkata-kata. Ia tak tahu, seperti apa yang akan ia jalani selanjutnya.