Andreas meminta maaf berkali-kali pada Wiranto atas sikap tidak sopan Sandra. Bagaimanapun juga, Sandra menjadi tanggung jawab Andreas di kantor. Tetapi, jika ada masalah pribadi antara Wiranto dan Sandra, itu diluar tanggung jawabnya.
Rapat terpaksa ditunda. Andreas bermaksud mengajak Wiranto untuk minum kopi di luar. Sebagai laki-laki, sikap Wiranto sangat memalukan bagi Andreas, ia ingin Wiranto bertanggung jawab atas perbuatannya.
Andreas dan Wiranto berjalan bersisian menuju lobi, diikuti oleh dua pengawal Andreas.
"Saya tidak menyangka Sandra seganas itu," kata Wiranto, kakinya terus mensejajari langkah Andreas.
"Tapi saya lebih terkejut lagi melihat reaksi Anda terhadap sekretaris saya," serbu Andreas cepat. "Itu tidak etis."
Wiranto terdiam. Dia tahu sikapnya salah, dan segera menyadarinya. Tetapi dicaci maki Sandra membuat darahnya mendidih.
"Tidak semua wanita berdiam diri dan menangisi nasib bila disakiti. Bila Anda melihat sikap berbeda pada Sandra, berarti pengecualian. Dan saya katakan, Sandra gadis pemberani. Dia tidak takut dengan siapa ia berhadapan, bahkan dengan presiden sekalipun jika memang orang itu melakukan kesalahan. Ini negeri hukum, setiap kesalahan akan ada pertanggungjawaban."
Ucapan Andreas sangat menohok bagi Wiranto. Andreas benar, selama ini banyak wanita memilih bungkam, meratapi nasib, dan menjaga jarak saat dikhianati. Wiranto belum pernah diperlakukan seperti yang Sandra lakukan, mencaci makinya seakan ia berandalan. Wiranto terlalu egois soal harga diri, ditambah emosinya kerap meledak-ledak tak lebih dari remaja labil.
***
Sementara itu, di ruangannya, Sandra terpengkur di meja kerja. Andreas memintanya untuk tetap diam dalam ruangan dan tidak pergi ke mana-mana sampai Andreas kembali. Ia seperti anak nakal yang menerima hukuman kurung oleh sang ayah.
"Boleh saya temani," tanya Allea sudah berdiri di ambang pintu. Ia melihat Sandra menatapnya agak lama.
"Saya tidak butuh teman sekarang," ketus Sandra, tetapi ia tidak benar-benar mengatakannya. Sedangkan Allea tidak peduli, ia duduk di sofa dekat jendela tanpa Sandra persilakan.
"Kamu pernah menawarkan, kalau kita akan jadi teman baik. Apa teman seperti saya sudah tidak dibutuhkan lagi?" Allea menatap ke luar jendela yang sedikit terbuka.
Sandra bersedekap. "Apa kamu ingin menghibur, Allea?"
"Tidak juga, saya tak pandai menghibur orang. Tetapi saya bisa menjadi pendengar yang baik."
"Terima kasih. Tapi, sungguh, saya ingin sendiri saat ini." Suara Sandra terdengar parau.
"Bagaimana kalau saya di sini atas perintah Pak Andreas?"
Sandra terdiam.
"Tenang, saya tidak akan mengganggumu. Tugas saya hanya menemani," ucap Allea lagi, "boleh saya pinjam bukumu?" Mata Allea tertuju pada rak buku mini di sudut ruangan.
"Saya tidak keberatan kalau kamu menghajar buku-buku itu, semua tentang cinta. Cinta yang k*****t!" dengkus Sandra di akhir kalimatnya.
Allea mendekati rak buku mini itu, ia mulai melihat beberapa judul. Sandra benar, semua bertema cinta. Senyum Allea terukir, ia tak menyangka Sandra memiliki sisi romantisme dalam dirinya.
Mata Allea terpaut pada satu buku, buku bersampul merah muda yang cantik. "Saya penasaran dengan buku ini." Allea mengambil buku itu dan memperlihatkannya pada Sandra.
Sandra melengos. Buku yang dipegang Allea adalah buku hadiah dari Wiranto untuknya.
"Ambil saja bila kamu suka."
"Benarkah?" Allea merasa senang.
"Ya," jawab Sandra singkat.
Allea segera membawa buku itu ke sofa. Lama, Allea melihat cover buku itu, yang berjudul 'Cinta Sejati Tak Pernah Mati'. Sekali lagi bibir Allea terangkat. "Saya baru tahu kamu juga menyukai buku fiksi seperti ini," seru Allea spontan.
"Itu hadiah dari seorang yang sangat jahat!"
Kening Allea mengerut. "Orang yang sangat jahat?"
" Si jahat itu bernama Wiranto Putra. Dia yang hari ini sudah menampar wajah saya seperti babi gila!" Sandra sangat emosional, mengingat bagaimana perlakuan Wiranto terhadapnya.
"Wiranto Putra?" tanya Allea lagi, "Saya seakan tak asing mendengar nama itu, bukannya dia klien baru Pak Andreas?" Alis Allea terangkat, matanya menatap Sandra lurus-lurus.
"Jangan terlalu lugu, Allea. Siapa yang tidak mengenal Wiranto Putra di sini? Mungkin kamu belum berkesempatan bertemu. Lebih baik kamu tidak mengenal laki-laki tua itu kurasa."
Allea tidak terlalu mendengar peringatan Sandra. Ia hanya memikirkan nama itu. Nama yang memang sering disebut Andreas sebagai klien barunya, dan Sandra sendiri hampir tak pernah menyebut-nyebut nama itu di depan Allea. Dalam satu kesempatan pada rapat pertama, justru Allea melewatkannya.
Ada perasaan ragu di hati Allea, tetapi ia belum berani mengatakannya. Apa yang ada di pikirannya bisa saja salah. Tetapi rasa penasarannya tinggi, Allea mencoba ingin melihat siapa sebenarnya Wiranto Putra itu. Nama itu familiar di kepalanya, ingin menebak tapi takut salah.
"Saya penasaran, seperti apa wajah orang yang bernama Wiranto Putra itu?" Saking bersemangatnya Allea mendekati Sandra. "Apa kamu punya fotonya di ponsel?" ucapnya lagi.
Sandra memutar bola mata. Tetapi akhirnya dia membuka galeri ponselnya dengan cepat. "Saya memiliki beberapa fotonya, saat kami makan malam bersama di sebuah restoran," kata Sandra, tetapi sebelum menunjukkan foto-foto itu Sandra memberi syarat. "Akan saya perlihatkan wajah orang gila itu kalau kamu menunjukkan identitas asli kamu beserta data lengkap." Sandra tak akan melewatkan kesempatan itu.
Pilihan yang sulit bagi Allea. Ia pikir, Sandra tidak akan mengetahui kalau dia menggunakan data palsu selama ini. Sejak awal Allea menyadari, mana mungkin orang tidak tahu soal data palsu itu. Semua sistem pasti berjalan dengan baik.
"Selain bisa melihat foto, kamu juga akan saya beri hadiah, seperti janji saya dulu. Tidak, lebih tepatnya sebagai fasilitas kerja. Bagaimana?" Senyum lebar Sandra terlihat jelas di mata Allea. Dia tak sabar menunggu.
"Saya setuju." Akhirnya Allea menyetujui permintaan Sandra.
Mendengar persetujuan Allea, Sandra langsung menunjukkan foto Wiranto Putra, foto yang Sandra ambil sebelum mereka menyantap makan malam dengan berbagai hidangan lezat. Itu 'dinner' pertama Sandra dan Wiranto sekaligus kencan pertama mereka.
Wiranto memamerkan senyum yang memperlihatkan giginya, dengan wajah menghadap kamera. Sedangkan Sandra berada di samping Wiranto, bersentuhan bahu dan sedikit menempelkan kepala di bahu lebar laki-laki itu. Semua tampak sempurna dengan berlatar belakang meja-meja restoran yang sepi pengunjung.
Sejurus, mata Allea terpaku pada wajah laki-laki dalam foto. Allea melihat secara seksama, hingga garis-garis wajahnya yang tak asing dalam ingatan. Walau tampak berusia, tetapi Allea masih mengenali siapa sebenarnya Wiranto Putra.
Allea merasakan ada buliran hangat mengalir dari sudut matanya begitu saja. Ia tahu. Ia sangat mengenali. Ia merasa yakin. Dialah orangnya.
"Dia memang kepar**!" teriak Allea tertahan.
Allea mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Dadanya bergemurah tidak karuan. Perasaan benci itu kembali mencuat ke permukaan. Benci. Dan selamanya membenci.
Ya, dia memang iblis!!