Bab.1 - Sepasang mata milik Allea
Beberapa kali Andreas menaikkan kacamatanya yang merosot, membenarkan dengan baik. Mendadak ia merasa gugup dan gemetar. Berkas-berkas di atas meja terabaikan saat ia menatap intens sepasang mata milik seorang gadis yang baru saja masuk ke ruangannya.
Tidak ada bedanya. Persis, semuanya sama. Hanya saja, kedua mata itu ada pada sosok yang berbeda. "Dia bukan gadisku," desis Andreas, suaranya nyaris hilang. Dia orang lain yang kebetulan mirip, hiburnya lagi dalam hati sambil mengusap keningnya yang berkeringat.
Andreas berdehem, setelah memerintahkan gadis muda itu duduk di kursi seberang mejanya dan kembali mencuri pandang. "Allea," ucapnya senormal mungkin, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mendadak menyerang beberapa menit lalu. "Kamu adalah salah satu pemagang terbaik di perusahaan saya tahun ini. Beberapa admin mempromosikan kamu untuk bekerja di sini secara permanen, selama hasilnya tidak berubah." Tanpa basa-basi Andreas menjelaskan mengapa Allea diundang datang ke ruangannya.
"Terima kasih, Pak." Allea memamerkan senyum lebarnya pada Andreas, ia merasa senang dengan sikap tidak berlebihan. "Saya senang bisa bekerja sebagai karyawan tetap di kantor ini, semoga saya bisa bekerja dengan baik demi memajukan perusahaan." Kali ini Allea menatap dalam wajah Andreas dengan tatapan haru penuh rasa terima kasih. Tentu saja Andreas kembali gugup saat pandangan mereka beradu. Sepersekian detik, Andreas melayang pada masa di mana kabut tebal kehidupannya berawal.
"Pak." Suara Allea membawanya sadar kembali, "Bapak baik-baik saja?"
"Oh, yah, tentu saja, Allea. Terima kasih sudah datang, selamat bergabung dan selamat menjalankan tugas." Buru-buru Andreas mengakhiri pertemuannya dengan Allea, gadis itu telah menyihirnya, Andreas takut sesuatu dalam dirinya menjadi tak terkendali dan mengacaukan semuanya.
Allea mengangguk sopan. "Saya lihat, wajah Bapak pucat dan nampak lelah, saran saya, sebaiknya Bapak segera beristirahat," pesan Allea sebelum ia memutar badan dan melangkah meninggalkan ruangan. Tentu saja Andreas terkejut, gadis itu ternyata memperhatikannya.
Allea sudah pergi dari ruangannya, tanpa sadar pria berusia 48 tahun itu tersenyum kecil. "Ini tidak mungkin, ini gila!" jerit Andreas tertahan sambil meremas rambutnya kuat-kuat.
***
Pagi ini Andreas tersenyum lebar dan tampak gagah dengan jiwanya yang baru setelah pertemuan singkatnya dengan Allea di kantor kemaren siang.
"Allea, bisa ke ruangan saya sebentar?" Suara Andreas lebih terdengar seperti sebuah perintah. Tidak menunggu lama bagi seorang Andreas untuk mendatangkan siapapun ke dalam ruangannya, terlebih anak baru bernama Allea yang baru saja tanda tangan kontrak kerja.
Andreas tahu idenya mulai konyol, si tua itu ingin Allea menemaninya saat melakukan kegiatan rutinnya menulis sesuatu di selembar kertas.
Allea sudah duduk di seberang meja Andreas, hampir satu jam lalu ia di sana seperti anak kehilangan induk. Ia merasa bosan sekaligus penasaran dengan apa yang dilakukan Andreas. Laki-laki itu menulis dengan lambat, keningnya terkadang mengerut seolah berpikir dan mengingat sesuatu. Sesekali Allea lihat kedua sudut bibir Andreas tertarik ke atas menciptakan senyum yang belum pernah gadis itu lihat sebelumnya.
Ada dorongan kuat dalam diri Allea untuk mengetahui apa yang bosnya itu lakukan. "Apa Bapak menulis tugas untuk saya?" tebak Allea mengusir rasa bosan. Ia perlu bicara, butuh kepastian yang jelas mengapa ia harus menunggu dalam kebisuan. Tetapi Andreas seakan tuli dan masih sibuk dengan kegiatan menulisnya.
Allea mengembuskan napas panjang, ia terjebak di dalam ruangan Andreas, sementara tugas-tugas kantor masih menumpuk di meja kerjanya. Tugas perdana di hari pertama ia masuk kerja sebagai karyawan tetap.
"Allea, bisakah kamu ceritakan siapa dirimu?" tanya Andreas mengejutkan Allea, pria itu menyudahi kegiatannya. Meletakkan kembali alat tulis, melipat kertas dengan rapi dan memasukkannya ke dalam amplop surat.
"Ma-maksud Bapak?" Allea sedikit takut dengan pertanyaan Andreas yang secara tiba-tiba. Tetapi ia mengingatkan Andreas soal berkas-berkasnya, semua data pribadi ada di sana.
Andreas melirik kembali berkas-berkas menumpuk di atas mejanya, seharusnya file-file itu sudah lenyap dari sana. "Oh, beruntung Sandra belum membawa berkas milikmu, Allea." Andreas menyeringai. Lima menit membaca berkas milik Allea secara keseluruhan, membuat Andreas mengangkat satu alisnya.
"Saya akan jelaskan jika Bapak perlu penjelasan." Allea memberanikan diri untuk membantu Andreas.
"Tentu saja, Allea. Saya membutuhkan informasi yang akurat." Andreas melepaskan kaca matanya, dan meletakkannya dengan pelan di sudut meja. "Apa saya tampak tua saat memakai kaca mata?" tanya Andreas mengalihkan pembicaraan, dia baru sadar soal informasi yang ia inginkan tidak seharusnya ia korek dari Allea secara langsung. Informasi itu bisa ia dapatkan dengan mudah dengan segera.
Allea tersenyum geli. Ada perasaan ingin menggoda bosnya yang terkesan genit, tetapi ia tahan. Allea tahu Andreas tidak benar-benar butuh jawaban.
"Baiklah, bagaimana kalau kita makan siang bersama. Saya yang traktir, tetapi kalau kamu sudah mendapat gaji pertama, kamu yang harus traktir saya."
Allea melongo.
Andreas beranjak dari kursinya dan melangkah cepat keluar ruangan tanpa menunggu persetujuan atau penolakan dari Allea. Dengan terpaksa gadis itu mengekor di belakang Andreas mengikuti langkahnya yang panjang-panjang dan cepat. Tubuh tinggi kurus itu nampak ringan saat berjalan.
"Jangan berjalan di belakang saya, Allea. Kemarilah, kita berjalan bersisian." Andreas menoleh pada Allea dan menatap matanya penuh kerinduan.
Ruang demi ruang, banyak pasang mata terus mengikuti ke mana arah pemandangan langka. Tidak ada pula yang tahu, ada riuh dalam d**a Andreas, ia seperti terlahir kembali.
' .... apa menurutmu tentang cinta pada pandangan pertama? Seorang gadis menyeret pikiranku tentangmu, ia memiliki keindahan yang sama, sayu, cantik, seperti mata indahmu'
Andreas kembali mengingat kata-kata di akhir suratnya hari ini untuk seseorang. Bahwa ia tidak akan pernah mengubur kenang meski dunia terus menentang.
***
"Saya takut orang-orang kantor berpikir buruk tentang saya." Allea berkata hampir putus asa saat mengingat banyak pasang mata tersorot padanya.
Andreas hanya tertawa, dan mengedipkan sebelah mata padanya. Pria itu tahu apa yang Allea resahkan. Dalam dunia bisnis, persaingan sering terjadi dengan beragam cara, menjatuhkan secara halus atau menikam dengan brutal. Sebagai pebisnis, ia paham betul bagaimana orang-orang memasang topeng demi kepentingan pribadi.
Allea masih terlalu muda untuk memahami, dan butuh banyak pelajaran tentang pola hidup dunia bisnis.
"Jangan takut, hari ini ... kamu akan tahu, mana kawan dan mana lawan," kata Andreas, menatap lekat wajah Allea. Wajah gadis polos yang memiliki keberanian yang tertahan. "Persiapkan dirimu, Allea, menyambut kehidupan baru di dunia bisnis."
"Bagaimana caranya agar saya bisa melewati semuanya dengan baik, Pak?"
"Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapapun."
"Termasuk Bapak?" Pertanyaan Allea terlontar begitu saja, dan ia buru-buru meminta maaf setelah menyadari ada yang salah.
Andreas tergelak dan merasa beruntung untuk tidak segera menjawab, karena pesanan makanan mereka sudah datang. Andreas berpura sibuk dengan menunya dan meminta Allea segera makan.
"Nanti saya antar pulang, ya?" tawar Andreas, setelah menghabiskan makanannya tanpa sisa. Meski berbadan kurus, dia cukup bersemangat menghabiskan banyak makanan.
"Terima kasih, tapi sebaiknya tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," tolak Allea, "saya takut ibu salah paham."
"Baiklah, tapi lain waktu mau, ya?"
Allea hanya mengangguk pasrah. Ia sama sekali tidak mengerti, mengapa Andreas bersikap baik padanya. Allea merasa si tua itu ... aneh!
Sekali lagi Allea bergidik. Ia tidak bisa membayangkan kalau Andreas ternyata sudah hilang kewarasan. Sinting. Allea mendadak mual. "Saya sudah kenyang," ucap Allea menyisakan masih separuh lebih makanan di piring. Selera makannya hilang. Sedangkan Andreas, tersenyum miring melihat sikap ketidaknyamanan Allea.