Andreas meninggalkan ruangan Sandra diikuti oleh bodyguard-nya, saat hendak menuju lantai tiga, tiba-tiba saja Andreas penasaran untuk melihat di mana kamar ibunya Allea dirawat. Ia masih ingat, ibunya berada di kamar no. 9.
Dengan sengaja Andreas menanyakan nama pasien yang dirawat di kamar no.9 ke bagian informasi. Wanita yang bertugas itu langsung menyebutkan nama seseorang.
"Pasien kamar no.9 atas nama Nyonya Arini. Sayangnya waktu jam besuk sudah habis, Pak. Anda bisa berkunjung lagi besok pagi," jelas wanita itu ramah.
Nama Arini disebut, seluruh sendi-sendi Andreas terasa lunglai. Dan semesta seakan menggema menyebut ulangan kata 'Nyonya Arini', tubuh Andreas kaku dan ia kesulitan berkata-kata.
"Nyonya Arini?" ulang Andreas, pada dirinya sendiri. "Nyonya Arini?" Ia terus mengulang seperti orang sinting, sampai ia pamit dari hadapan wanita itu dan melangkah sejauh mungkin.
"Tidak mungkin, mungkin saja kebetulan sama."
Andreas terus berpikir, bertanya-tanya, sampai ia ingin menanyakan lebih banyak informasi mengenai pasien, dan menghambur masuk ke kamar no.9, sayangnya nyalinya belum kuat. Ia takut kecewa, melihat kenyataan bahwa Arini yang terbaring di sana bukan Arini yang ia cintai.
Ponsel Andreas bergetar, kali ini Bima mengirimkan pesan singkat. 'Waktuku tak banyak, Bung. Batang hidungmu masih belum kelihatan. Aku curiga kau pasti menguntit seseorang di sana'.
"Bima sialan!" maki Andreas kesal.
Andreas ingin sekali menjadi detektif cinta hari ini, ia akan mengungkap siapa Arini itu sebenarnya. Atau bisa saja ia kembali menemui Allea di ruangan Sandra, dan meminta informasi lebih tentang ibunya. Tetapi itu tak mungkin.
Bima Sakti tengah menunggunya sekarang dengan tidak sabar.
Bima Sakti sudah menunggunya di perpustakaan milik Andreas yang artistik selama hampir 1 jam, dan ia didera rasa jenuh. Menunggu adalah hal paling ia tidak sukai. Bima duduk di salah satu kursi dengan malas. Seorang gadis di balik meja depan pintu masuk perpustakaan sesekali memerhatikannya, kadang kedua mata mereka secara tak sengaja beradu. Lalu mereka tersenyum simpul malu-malu.
Bima taksir, wanita yang bertugas menjaga perpustakaan itu berusia sekitar 30 tahun, ia masih terlihat muda dan energik. Pikiran Bima liar, setidaknya wanita itu sedikit menghiburnya meski mereka tak saling sapa, kecuali saat Bima pertama datang mengatakan ia akan menunggu pemilik perpustakaan.
Wanita itu sibuk mencatat buku-buku yang masuk dan mendaftar buku pinjaman, ia juga menata buku dan merapikan rak-rak agar tetap rapi. Harusnya itu bukan tugasnya, tetapi dua orang teman laki-lakinya yang bertugas di perpustakaan sedang izin libur Minggu ini.
Bima baru saja ingin beranjak dari tempat duduknya dan mendekati wanita itu sekadar bertanya basa-basi tentang buku-buku, tetapi ia mendengar suara mobil memasuki halaman perpustakaan.
"Ke mana saja kau, Kawan!" seru Bima, saat Andreas keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya yang sudah berdiri di depan pintu masuk perpustakaan. "Beruntung tempat ini membuatku nyaman, jika tidak, aku sudah lama meninggalkan buku-bukumu itu."
"Berapa banyak buku yang kau bawa?" Andreas terus berjalan memasuki perpustakaannya, ia ingin segera melihat buku-bukunya itu.
Bima mengikuti dari belakang. "Buku itu ada di sana," tunjuk Bima ke arah tumpukan kardus berukuran besar di sudut ruangan. Tepatnya di samping meja penjaga perpustakaan. "Aku mengirim sesuai permintaan dari Gramedia kota ini, dan sisanya pesananmu untuk acara launching nanti."
Andreas mengangguk paham. Ia berbalik menghadap Bima. "Aku sangat berterima kasih atas jasamu ini, Kawan. Kerjamu sungguh luar biasa." Andreas menepuk bahu Bima, dan merangkulnya erat.
"Aku senang membantumu, tapi lebih senang lagi jika kau berhasil menemukan gadis itu karena buku-buku hasil tulisanmu itu."
Andreas melepaskan pelukannya. "Oh, ya ampun. Apa kau berharap aku menemukannya?" Andreas memelankan suaranya. Ia tidak ingin mengusik kesibukan penjaga perpustakaan itu.
Bima mengangkat bahu dan mencebik. "Kurasa iya, segera temukan dan kawinlah. Aku kasihan padamu yang terus tidur sendirian, usiamu sudah sangat tua, Bung!" ejek Bima, lalu ia terpingkal menatap wajah kesal Andreas.
"Berentilah mengejek, sebaiknya kita minum kopi dan bersantai di rumahku," ajak Andreas, berlama-lama membiarkan Bima di perpustakaan akan membuat pengunjung tak nyaman. Laki-laki itu berisik, belum lagi terkadang ia suka usil menggoda para wanita. Mantan playboy seperti Bima masih benar-benar belum hilang perangainya.
"Claudya!" panggil Andreas. Wanita penjaga perpustakaan itu segera menghampiri dengan sikap sopan. "Tolong nanti kamu hitung semua buku-buku dalam kardus yang paling ujung itu. Jangan lupa dicatat dan bukunya dikemas dengan sampul yang sudah saya sediakan di loker meja. Tidak harus selesai hari ini mengingat buku itu cukup banyak, besok kamu bisa meminta bantuan dua teman kerjamu."
Claudya mengangguk paham. Lalu melangkah mundur dan segera menjalankan tugas.
"Tunggu," panggil Bima. Claudya menoleh. "Kamu cantik," kata Bima, ia menggodanya. Tetapi Andreas segera mendorong sahabatnya itu keluar perpustakaan.
"Ada masalah?" protes Bima, ketika mereka sudah di luar.
Andreas tak menjawab. Ia terus melangkah menyusuri jalan menuju rumahnya yang berada tak jauh dari perpustakaan, hanya berbatas taman yang luas beserta pohon-pohon cemara yang tinggi. Bima mengejar Andreas, mulutnya terus berkata-kata tanpa henti. Hingga akhirnya ia membicarakan halaman rumah Andreas yang luas, taman yang didesain dengan sedemikian rupa indahnya.
"Lama-lama kau sudah mirip perempuan, banyak bicara dan menjengkelkan," gerutu Andreas, kini mereka hampir sampai di halaman rumah Andreas yang besar.
Bima tertawa keras. "Bukankah kita sepasang kekasih? Anggap saja aku gadismu yang hilang." Suara Bima dibuat mendayu-dayu menirukan suara perempuan yang manja.
Andreas sudah tak tahan lagi. "Pergilah kau ke neraka, Kawan!"
Tawa Bima makin kencang. Menggoda Andreas membuatnya selalu bersemangat.
***
'Perpisahan segera kembali menyatu, tidak lama lagi. Aku merasa dekat, sangat dekat. Ia ada. Dia masih berbinar. Dia masih mencintaiku. Jantungnya terus berdetak, perasaannya tak pernah berubah meski raga sudah menua'.
Andreas menuliskannya di atas selembar kertas seperti biasa. Hanya sebagai ungkapan kerinduan tentang Arini. Kertas itu Andreas lipat kecil dan ia letakkan begitu saja di atas mejanya.
Setelah kedatangan Bima dan buku-bukunya kemarin, Andreas kini jauh lebih bersemangat. Ia mengingat Allea, hari ini gadis itu berangkat ke kantor dan Andreas bermaksud ingin mengajaknya pergi.
***
Seperti yang Andreas minta, Allea masuk kerja hari ini. Begitu juga dengan Vino, sedangkan Sandra baru diizinkan pulang ke apartemennya dari rumah sakit.
Pekerjaan kantor menumpuk di meja kerja Allea, selama ia tak masuk kerja, Vino lah yang membantunya menyelesaikan tugas. Allea banyak mengucap terima kasih pada laki-laki itu dengan perasaan haru.
"Itu semua tidak gratis, Allea. Kamu harus membayar semuanya." Vino menyilangkan tangan di d**a. Menatap wajah lugu Allea yang tampak bingung.
"Berapa yang harus aku bayar?" tantang Allea.
"Wah, apa gajimu sudah cair? Tapi aku tak butuh uang sekarang. Aku cuma butuh kamu!"
"Apa?!" Suara Allea terdengar keras, sampai beberapa pasang mata menatapnya heran. Allea segera membekap mulutnya. Sedangkan Vino tergelak melihat reaksi Allea.
"Dasar konyol. Memangnya apa yang kamu pikirkan, hah? b******a? Aku bukan laki-laki seperti itu, Allea." Vino kembali terkikik, tetapi lekas mengatupkan mulutnya saat Andreas tiba-tiba muncul memasuki ruangan tempat mereka bekerja.
"Bandot tua datang!" desis Vino, dan Allea memandang ke arah Andreas yang berjalan tegap ke arah mereka.
Semua karyawan yang bekerja sibuk memperbaiki posisi duduk dan tampak bersemangat bekerja, yang sebelumnya mereka terlihat lebih santai dan banyak becanda, seperti halnya Vino dan Allea. Tidak ada yang berani menatap Andreas secara langsung, hanya sekadar melirik apa yang akan dilakukan Andreas. Tetapi akhirnya semua terjawab, laki-laki itu mendekati meja kerja Allea dan meminta gadis itu ikut bersamanya.
Sesuatu yang tidak biasa.
"Apa saya ada kesalahan?" tanya Allea takut-takut.
Andreas menyapu seluruh ruangan dan meneliti para karyawan yang sibuk bekerja sebelum mengatakan, "Ikut saja, ini perintah."
Suasana ruangan senyap. Hanya terdengar desahan halus dan suara dua pasang langkah kaki berjalan beriringan, lalu menghilang di balik batas ruangan.
Vino menggerutu, Andreas benar-benar menyebalkan baginya. "Kenapa dia selalu ingin bersama Alea?" tanya Vino pada tumpukan file di meja kerjanya, lalu menopang kepala dengan dua tangan.