Andreas datang ke rumah sakit untuk menjenguk Sandra, ia datang bersama dua orang bodyguard yang berpakaian biasa agar tidak mencolok perhatian orang.
Biasanya Andeas tidak terlalu suka dikawal, tetapi kali ini ia merasa perlu. Semakin banyak pesaing di dunia bisnis, maka harus semakin ketat penjagaan diri. "Kita tak pernah tau, kapan dan di mana serangan itu terjadi. Terus waspada lebih baik, saat ini, saya tidak tahu mana kawan dan mana lawan. Saya tidak ingin besar kepala, bahwa seorang Andreas banyak disenangi orang. Faktanya, orang-orang yang dianggap penting itu seringkali tewas di luar pengawasan. Orang akan menjadi buta mata dan buta hati jika bicara kekuasaan," kata Andreas pada orang-orang kepercayaannya, kata itu bukan ditujukan untuknya dirinya pribadi, tetapi pengingat pada mereka bahwa bertindak waspada dan berhati-hati itu penting.
Kaki panjang Andreas melangkah memasuki ruangan di mana tempat Sandra dirawat. Sementara dua pengawalnya berjaga di luar ruangan. Beberapa parsel buah dan buket bunga dengan kartu ucapan 'semoga lekas sembuh' sudah ia letakkan di atas meja.
Andreas melihat Sandra terbaring di atas ranjang dengan wajahnya yang pucat. Tetapi gadis itu berusaha memamerkan senyum lebarnya.
"Saya tidak menyangka kamu bisa sakit juga," ucap Andreas mengawali obrolannya setelah menyapa Sandra dengan ramah.
Sandra tersenyum geli. "Wonder woman juga manusia, Pak," lirihnya sambil mengedipkan mata. Andreas mengacak rambut Sandra, ia kesal tetapi juga merasa kasihan. Sandra memang gadis tangguh, tetapi ia benar, setangguh apapun wanita, tetaplah wanita yang memiliki sisi lembut dan sensitif perasaannya. Jangan
"Omong-omong," kata Andreas agak ragu, "apa masalahmu?" Ia menatap wajah pucat Sandra yang nampak muram.
Tanpa basa-basi lagi Andreas menanyakannya pada Sandra, ia tahu sakitnya Sandra secara mendadak bukan tanpa alasan. Sesuatu telah membuat tubuhnya kalah. Kadang, tubuh merespon hal negatif yang datang dari pikiran atau perasaan, efeknya memengaruhi imun tubuh menjadi lemah. Andreas berani bertaruh, hati Sandra sedang tidak baik-baik saja saat ini.
Sandra terdiam cukup lama, dan akhirnya ia mematikan TV yang sejak tadi menyala, mungkin sudah saatnya ia jujur pada Andreas apa yang sebenarnya terjadi.
Ruangan terasa sesak bagi Sandra, saat ia harus menceritakan kembali kebodohannya, bagaimana awal hubungannya dengan Wiranto terjalin hingga berakhir patah hati, Sandra merasa malu sekaligus lega. Sedangkan Andreas tidak pernah menyela sedikitpun, ia menjadi pendengar yang baik bagi Sandra.
"Saya minta maaf atas kesalahan saya, Pak. Seharusnya perasaan itu tak pernah ada." Suara Sandra penuh penyesalan.
Belum ada respon apapun dari Andreas, selain desahan napasnya yang panjang dan terasa berat didengar Sandra.
Mata Andreas tertuju pada sebuah lukisan yang terpajang di dinding ruangan. Lukisan abstrak yang hanya bisa dipahami oleh si pelukisnya sendiri. Ia pandang lukisan itu dalam beberapa detik, lalu mengatakan sesuatu, "Cinta itu rumit, Sandra. Orang-orang menerjemahkan arti dan makna yang berbeda-beda di setiap kisah dan rasa. Tapi pada hakekatnya, kita sendirilah yang tahu, apa itu cinta. Cinta yang kita miliki
Bibir Sandra tak tahan untuk bertanya, "Maksud, Bapak?"
"Coba kamu perhatikan lukisan itu," tunjuk Andreas, "apa yang kamu lihat?"
Seketika tatapan Sandra beralih pada lukisan yang berukuran 200x100 cm yang menampilkan corak semrawut, nampak rumit dipahami. Kening Sandra mengerut dan berusaha mengartikan apa maksud lukisan tersebut.
"Sulit diartikan," ucap Sandra pelan. Tetapi manik matanya masih tak lepas dari lukisan itu.
"Tunggu, mungkin ... itu bentuk keindahan namun tak berwujud," kata Sandra lagi, "tidak, tidak ... si pelukis menunjukkan bahwa setiap karya memiliki keindahannya sendiri."
Andreas tertawa lepas, ia merasa Sandra tampak lucu sekarang. Bukan hanya 2-3 asumsi yang dia katakan, tetapi ada banyak lagi dalam pikirannya tetapi tidak tersampaikan. Poin penting, Sandra sudah menilai lebih dari satu.
"Itulah cinta." Suara berat Andreas mengalihkan perhatian Sandra.
"Sekarang saya paham. Cinta yang tumbuh tidaklah murni. Banyak tuntutan dan harapan lebih bersemayam di dalamnya. Ketika ekspektasi itu tidak tercapai, maka saya tumbang karena sulit menerima kenyataan. Mungkin, saya belum bisa menghadirkan sesungguhnya cinta di hati saya. Seperti si pelukis, tak akan peduli pada apa yang ditafsirkan orang-orang, karena ia tidak berharap apapun, selain cintanya pada seni yang ia ciptakan." Sandra tersenyum penuh arti, kini matanya berbinar. "Apa benar begitu?" tanyanya pada Andreas.
Senyum Andreas mengembang. "Saya akan menambahkan, cinta itu adalah saling. Bukan silang," tegas Andreas.
Sandra merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya dan baru ia sadari. Ia sudah menyilang kata 'saling' di antara dirinya dan Vino, dulu.
Kunjungan Andreas sudah membuat Sandra merasa lebih baik, dan terlihat lebih ceria walau sedikit masih memikirkan sesuatu yang entah apa. Andreas pikir, Sandra masih mengingat-ingat apa saja yang sudah ia lalui selama ini tentang kisah asmaranya.
Andreas baru saja ingin bertanya di mana Vino, bukankah laki-laki itu selalu menjaganya? Belum sempat Sandra menjawab, tiba-tiba Vino muncul dengan wajah semringah. Vino tidak datang sendirian, seorang gadis berdiri di belakangnya dengan wajah lugunya.
"Allea?" Andreas dan Sandra hampir bersamaan. Mereka tidak menyangka Vino datang bersama Allea.
***
Andreas, kembali melihat binar indah di kedua mata Allea. Gadis itu berdiri canggung di belakang Vino, sedikit menundukkan kepalanya. Ia tampak tidak baik-baik saja, tetapi berusaha tetap seperti biasa. Allea memakai baju terusan selutut dengan motif bunga kecil-kecil yang manis. Pada bagian pinggang diikat tali tersimpul cantik membentuk kupu-kupu. Ia cantik, dan semakin memukau di mata Andreas, terlebih melihat rambut panjang bergelombang Allea tergerai hingga hampir sepinggang.
Secara naluri, Andreas segera menghampiri Allea dengan langkah panjangnya, tanpa kata ia memeluk tubuh Allea dan mendekapnya kuat-kuat.
Betapa terkejutnya Allea, ia agak kesulitan bernapas, tetapi wangi parfum di tubuh Andreas sangat menenangkan. Andreas memeluknya agak kasar tanpa menyakiti tubuh Allea.
Sandra tersenyum kecil melihat sikap spontanitas Andreas, ini bukan kali pertama ia melihat si bos mendekap tubuh mungil Allea, ia tahu, Andreas sangat merindukan gadis lugu itu. Sementara Vino, ia hampir tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Andreas memeluk Allea di depan matanya, dan itu ... membuatnya sesak dan ia berpikir bahwa gosip yang dulu sempat ia dengar tentang Andreas dan Allea itu benar.
Vino memalingkan wajahnya, kemudian mendekati sisi ranjang Sandra agak lesu. Ia duduk terkulai di kursi.
"Laki-laki tua itu agak tak tahu diri menurutku," desis Vino di dekat Sandra.
Sandra memutar bola mata, ia tahu Vino cemburu. "Pak Andreas mencintai Allea, tapi cinta yang lain," timpal Sandra, ia memelankan suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku tak percaya, sebelumnya bandot tua itu bersama Thalita, kini Allea. Aku tak tahu apa yang ia inginkan terhadap gadis-gadis muda itu," dengkus Vino, masih ragu dengan ucapan Sandra. Lagi pula, Vino tidak tahu apapun perkaranya, ia hanya bisa melihat tanpa ada penjelasan.
"Pak." Allea merenggangkan tubuhnya dari dekapan Andreas, kakinya mundur dua langkah.
"Maaf," kata Andreas salah tingkah. "Saya tidak percaya kamu bisa ada di sini," lanjutnya, merasa senang.
"Saya tidak sengaja bertemu Allea saat di kantin rumah sakit saat sedang sarapan. Mungkin Allea memang sudah ditakdirkan menjadi jodoh saya." Vino menyeringai saat Andreas menoleh ke arahnya dengan maksud meminta penjelasan.
Allea menggigit bibir sambil melotot ke arah Vino, dan langsung bersikap biasa saja saat Andreas kembali menatap ke arahnya.
"Saya tidak peduli jika kalian berjodoh atau tidak, ke mana kamu selama ini, Allea? Kenapa ada di rumah sakit?" Andreas memborong pertanyaan dengan nada dingin, tidak dipungkiri kata-kata Vino barusan membuatnya sedikit kesal.
Ujung mata Allea melirik ke arah Vino, lalu tertuju pada Sandra. "Saya minta maaf, Pak, karena tidak mengabari. Ibu saya sakit dan harus rawat inap, jadi ... saya terpaksa tidak masuk kerja karena harus merawat ibu." Suara Allea nyaris hilang saat mengatakan ibunya sakit.
Sebenarnya, Allea sudah menceritakan semuanya pada Vino, saat mereka bertemu di kantin, kali ini ia kembali diberi pertanyaan sama. Ke mana dan kenapa ia ada di sini. Menjawab pertanyaan itu membuat Allea malas.
Mendengar ucapan Allea, Andreas segera mengajak Allea duduk di sofa. Melihatnya berdiri sambil gemetar membuatnya merasa bersalah.
"Ibumu di rawat di kamar nomor berapa?" sela Sandra, entah mengapa ia tiba-tiba ingin tahu.
"Kamar No.9, lantai tiga. Hanya ruangan kelas bawah," jawab Allea cepat, "semoga kamu lekas sembuh, Sandra, kalau bukan Vino, aku tak tahu kamu juga ada di sini." Allea tersenyum lembut ke arah Sandra. Sandra membalas dengan menunjukkan senyuman hangat. "Terima kasih, Allea. Akhirnya kita bisa berjumpa di sini."
"Ehem." Andreas berdehem kecil, ia mengubah posisi duduknya, sedikit menegakkan punggung dan melipat kakinya.
"Harusnya saya tidak menginterogasi kamu di rumah sakit, saya tahu itu, Allea. Besok, kamu harus masuk kerja jika tidak ingin gajimu dipotong," tegas Andreas, "tidak ada bantahan, soal ibumu, orang yang menjaga serta administrasinya akan segera diurus. Berapa lama ia akan dirawat?" tanya Andreas.
"Saya tak tahu, hari ini saya berniat membawa ibu pulang, biar ibu dirawat di rumah saja."
"Kenapa? Apa sakitnya sudah sembuh?" Andreas tak mengalihkan tatapannya dari wajah Allea.
"Sudah lebih baik, ibu hanya kelelahan dan maghnya kambuh. Akhir-akhir ini, pola makannya buruk," ungkap Allea. Tetapi sejujurnya, ibunya masih perlu dirawat secara khusus, mengingat biaya tak murah, ibunya memaksa Allea agar ia dirawat di rumah saja dan mengatakan ia akan segera pulih.
"Lebih baik mengatakan hal sebenarnya, Allea. Kami semua akan mendukungmu. Aku siap jika harus membayar tagihan biaya rumah sakit ibumu, asal ia tetap dirawat dengan baik sampai sembuh," seloroh Vino, ia terlalu bersemangat yang membuat Allea merasa jengkel sekarang.
"Vino!"seru Allea, menatap tajam pada mantan kekasih Sandra itu. "Aku tidak terbiasa meminta-minta. Aku tak butuh bantuan siapapun. Jangan mengasihaniku!"
Wajah Allea memerah, ia tersinggung.
"Sejak kapan kamu jadi banci?" ejek Sandra, kini ia ikut kesal pada Vino.
Andreas memijit keningnya dengan ujung jari. Ia merasa seperti dikelilingi oleh anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa tetapi ribut karena masalah tak penting dan bersikap kekanakan.
"Baiklah, saya mengerti, Allea. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu seharusnya tahu, bahwa saya ... Ehm, maksudnya kami semua menyayangimu dan ingin ikut meringankan beban. Apa itu salah? Saya rasa tidak. Kamu adalah bagian dari kami, keluarga kami. Saya mencintaimu, seperti saya mencintai Sandra, dan lainnya."
"Hanya para gadis? Sudah kuduga." Vino kembali meringis mendengar ucapan Andreas. Membuat Sandra berusaha menahan tawa. Vino melototi Sandra dan mengacak rambut gadis itu gemas.
Di tempat duduknya, Allea menekuri ucapan Andreas. Bosnya berkata benar, tetapi, saat ini perasaannya terlalu sensitif.
"Jika diizinkan, boleh saya bertemu ibumu?"
Wajah Allea terangkat, ia melihat ada keseriusan di wajah Andreas. Allea nyaris tak percaya Andreas berkenan menjenguk ibunya.
Bersamaan dengan mulut Allea yang terbuka untuk menjawab, tangan Andreas merogoh saku celananya mengambil ponsel yang sejak tadi terus bergetar. Seseorang meneleponnya berkali-kali tanpa jawaban.
"Sebentar," kata Andreas pada Allea. Ia meletakkan ponsel tepat di daun telinga setelah menerima telepon.
"Bima Sakti!" seru Andreas bersemangat. "O, ya, baiklah. Aku akan segera meluncur, Kawan!"
Wajah Andreas tampak berseri-seri setelah mengakhiri teleponnya. Ia mengatakan pada Allea, "Maaf, Allea. Saya harus buru-buru pulang. Seseorang sedang menunggu. Soal ibumu, lain waktu saya akan menemuinya."
Kemudian Andreas gegas berdiri dari duduknya, meninggalkan rona kecewa di wajah Allea. "Vino, tolong jaga Sandra baik-baik. Dia harus segera sembuh dan kembali bekerja. Jangan jadi pemalas, payah, dan lemah. Ayo, jangan sampai saat launching buku saya nanti, wajah-wajah kalian tak ada di sana." Andreas mengatakannya sangat bersemangat, dengan gaya khasnya yang dingin tetapi terlihat elegan.