Senin pagi, Andreas baru saja selesai berolahraga ringan di halaman rumahnya yang luas, sekadar menggerakkan badan dan lari-lari kecil mengitari taman.
Andreas menyewakan apartemennya dan pindah ke rumah impiannya sendiri, bukan tanpa alasan, keputusan itu ia ambil setelah Bima Sakti mengabari soal buku. Buku Andreas sudah terbit dan srlesai dicetak dalam jumlah ribuan eksemplar, buku-buku itu sebagian sudah dipacking untuk dikirim ke Gramedia di seluruh penjuru kota.
Perasaan senang Andreas tak dapat ia gambarkan, sebentar lagi akan ada orang yang menyebutnya sebagai penulis, penulis yang memiliki kisah asmara paling menyedihkan. Andreas tidak masalah jika dunia mengejeknya sekalipun. Tujuannya bukan ingin dipuji, tetapi berharap bertemu Arini.
"Kita sepasang kutu buku yang menggemaskan. Bagaimana kalau nanti kita buat perpustakaan?"
Andreas selalu mengingat ucapannya pada Arini, ingin mempunyai perpustakaan yang keren agar orang-orang memiliki minat baca yang tinggi.
"Ide yang sempurna, Gilang. Membaca adalah jendela dunia, semakin banyak membaca, akan semakin luas wawasan. Sayangnya, teman-teman kita masih minim tertarik membaca buku," jawab serta keluh Arini waktu itu.
Andreas hanya tersenyum, dan mengatakan. Tidak semua orang memiliki hobi yang sama, meski sama-sama suka membaca sekalipun, selera bacaan tetap berbeda-beda. Setiap orang berhak membahagiakan diri masing-masing dengan cara masing-masing pula. Tugas mereka adalah menjadi bahagia dengan merajut mimpi masa depan bersama.
Andreas mengatakan mimpinya ingin memiliki perpustakaan keren yang membuat pembaca merasa betah dan nyaman menghabiskan waktu di sana. Akan banyak buku-buku beragam genre. Sudah sejak lama Andreas banyak mengoleksi buku-buku dari penulis ternama. Semua buku-buku itu penuh pesan dan kesan yang mendalam. Andreas juga banyak menerima kiriman buku-buku dari teman-temannya, tentu saja buku berkualitas. Andreas nyaris tak percaya, jika saat ini ia sudah mewujudkan mimpinya. Sebuah bangunan besar berdiri di samping rumah besarnya. Bangunan itu ia namai 'Rumah Cinta', perpustakaan yang dulu pernah ia khayalkan bersama Arini.
Itulah alasan mengapa Andreas akan menetap di rumahnya sendiri yang sudah ia bangun sekitar lima tahun lalu, dirancang oleh sahabatnya sendiri, arsitek favorit dari Amerika. Hasilnya luar biasa, Andreas tak pernah terbayang memiliki rumah dan perpustakaan berdiri bersisian dengan gayanya yang memukau.
"Lihatlah, Arini, aku masih bugar sekarang, aku masih kuat jika harus bertahan puluhan tahun lagi menunggumu. Aku akan tunjukkan, buku mana yang harus kamu baca saat masuk ke 'Rumah Cinta' kita," lirih Andreas mengatakannya. Berbaring di atas rumput hijau yang luas, kedua matanya menatap hamparan langit dengan awan putih berarak seperti kapas. Tidak ada wajah Arini di atas sana, meski Andreas berharap ia kembali berhalusinasi melihat seulas senyum sang kekasih. Tidak ada.
***
Andreas tiba di kantor tepat pukul 08:00, belum terlambat untuk memimpin rapat pagi ini yang akan dimulai pada pukul 09:30.
Baru saja Andreas masuk ke ruangan, ponselnya berdering, seseorang meneleponnya. Melihat siapa yang menghubungi, Andreas segera menerima panggilan. Seseorang di seberang sana mengatakan sesuatu, membuat mimik wajah Andreas berubah, ia tetap menyimak dan sesekali bergumam, dan berakhir dengan kata 'semoga lekas sembuh'. Sambungan telepon segera ia matikan.
"Sial!" maki Andreas. Ia menghempaskan bokongnya di kursi dengan kedua bahu merosot. "Kenapa wanita selalu lemah dan payah!" rutuknya lagi, kesal. Ia tiba-tiba saja hilang semangat. Sementara, waktu terus berjalan dan ia harus segera ke lantai atas untuk memimpin rapat.
***
Andreas dan beberapa orang manajer terbaiknya sudah siap di ruang rapat, ruangan khusus untuk mengadakan pertemuan-pertemuan penting yang membahasa persoalan bisnis.
Seluruh jajaran yang mengikuti rapat hari ini sudah 'standby' di kursinya masing-masing yang mengitari meja panjang. Andreas sendiri sudah duduk di kursinya, sibuk dengan berkas-berkas di atas meja.
Wiranto Putra beserta orang-orang pilihannya yang mengikuti rapat hari ini dinilai kurang profesional di mata Andreas, mereka datang telat waktu, dan itu menunjukkan betapa tidak disiplinnya seorang Wiranto selaku CEO sebuah perusahaan. Andreas baru saja memberi peluang kerja samanya dengan Wiranto, dan berharap perusahaan dapat berkembang dengan baik, tetapi Andreas bisa melihat dan akhirnya ragu dengan keputusan yang akan ia ambil. Kurang lebih tiga jam rapat dilaksanakan bersama Wiranto Putra, membahas poin-poin penting terkait kerja sama, Andreas menyimpulkan bahwa rapat akan kembali dilaksanakan bulan depan. Masih ada perbaikan-perbaikan yang harus ia benahi. Menjalin hubungan dengan perusahaan lain tidak mudah baginya, sekalipun perusahaan besar dan ternama seperti perusahaan milik Wiranto Putra. Andreas tidak ingin gegabah. Banyak hal dan banyak waktu yang perlu ia perdalami secara detail.
Usai rapat, Andreas mengundang Wiranto Putra ke ruangannya, sudah tidak ada lagi mawar-mawar merah di sana, tetapi semerbak wanginya masih tercium di mana-mana. Bunga-bunga itu Andreas berikan pada karyawan bagi siapa saja yang berminat. Hampir semua gadis-gadis mendapatkan buket bunga mawar dan mereka senang bukan kepalang. Hampir setiap tahun Andreas melakukannya dengan pola yang sama.
"Saya seperti mencium mawar di mana-mana, apakah banyak bidadari gentayangan di ruangan ini?" tanya Wiranto dengan nada becanda, dan Andreas hanya tersenyum kecil mendengarnya.
"Di sini tidak ada bidadari, jika ada mungkin salah satunya akan saya jadikan istri," ucap Andreas dengan gaya santainya dalam berbicara. Membuat Wiranto tergelak.
"Kau memang laki-laki langka, Andreas. Itu sulit dijalani oleh kaum pria. Bagaimana kau bisa?"
Wiranto memang tipikal laki-laki ramah dan tampak hangat. Tidak heran ia mampu berkomunikasi dengan baik pada semua orang meskipun orang yang baru ia kenal. Menjadi pribadi supel membuatnya mengundang keakraban secara cepat dan dekat. Andreas dengan mudah memahami seperti apa sosok laki-laki di hadapannya itu. Tetapi di balik keramah-tamahan dan kehangatan yang kerap Wiranto tunjukkan, Andreas bisa membaca tatapan mata Wiranto, ada keangkuhan dan ambisi yang kuat di dalam dirinya.
"Saya hanya fokus dengan apa yang menjadi tujuan hidup. Itu saja," jelas Andreas singkat. Membicarakan hal pribadi pada Wiranto, ia bukan waktu yang tepat.
"Itu hebat," puji Wiranto lagi, "O, ya. Di mana Sandra? Saya tidak melihatnya di ruang rapat tadi." Tanpa canggung Wiranto langsung menanyakan Sandra, ia layak teman lama baru jumpa.
Andreas mengembuskan napas berat. "Sandra sedang sakit," kata Andreas, ujung matanya sekilas melirik Wiranto.
"Sakit?" Alis Wiranto terangkat, "Sakit apa?" tanyanya dengan nada khawatir, sedangkan Andreas menjawabnya malas.
"Saya hanya diberitahu kalau Sandra sedang sakit, itu saja. Saya tidak tahu gadis itu sakit apa." Andreas berlagak tak tahu.
Andreas menatap wajah Wiranto lekat, laki-laki itu hanya mengangguk kecil dan mendesah panjang. "Dia gadis yang baik, semoga lekas sembuh," katanya kemudian.
"Semoga," timpal Andreas cepat. "O, ya, inilah alasan pertemuan kita sebenarnya," ucapnya lagi, "saya akan mengundangmu untuk datang di acara launching buku saya nanti, saya akan merasa terhormat bila kau bisa hadir."
Andreas menyodorkan kartu undangan khusus untuk Andreas, kartu undangan yang sudah ia persiapkan dari jauh-jauh hari, tinggal menuliskan nama siapa saja yang harus ia undang. Wiranto awalnya tidak masuk daftar sebagai tamu kehormatan, tetapi Andreas ingin Sandra merasa senang. Walaupun kedua orang itu--baik Sandra atau Wiranto--bungkam soal hubungan mereka, tetapi Andreas menyadari ada 'sesuatu' di antara keduanya. Andreas sangat mengenal bagaimana Sandra.
Wiranto mengambil kartu undangan itu dan melihatnya sebentar untuk mengetahui kapan dan di mana acara akan diselenggarakan. Lalu memasukkannya ke saku jas bagian depan.
"Terima kasih atas undangannya, Andreas, saya merasa tersanjung mendapat undangan secara khusus." Bibir Wiranto tetap tersenyum hangat. "Saya baru tahu kalau ternyata kau juga seorang penulis," lanjut Wiranto. Ia menatap Andreas seakan tak percaya.
Ini bagian tersulit. Andreas agak ragu untuk mengatakannya, penulis atau bukan itu tak ada pengaruhnya bagi Andreas. Tetapi ia tidak akan menolak jika sebagian temannya menyebutnya sebagai penulis, meski yang ia tulis hanya lembar-lembar surat dan bait-bait puisi.
"Saya bukan penulis, hanya saja suka menulis apa yang ada dalam pikiran dan perasaan saya. Sebelumnya, saya hanya mencintai buku dan gemar membaca," jelas Andreas, ia bangga mengatakan bahwa ia menyukai semuanya, tentang buku-buku, tentang puisi, dan segenap keindahan kata yang tertera di setiap lembaran buku. Andreas mengatakan, menjadi penulis adalah cita-cita tak sampai, hingga akhirnya Tuhan memberikan kesempatan untuknya kali ini.
Andreas masih merahasiakan buku itu pada Wiranto, meski ia sebenarnya tak tahan untuk tidak pamer. Percayalah, buku itu sangat mengagumkan bagi Andreas, atau ... bagi siapapun yang pernah mengalami kehilangan seseorang yang berharga.
"Wow, itu kedengarannya sangat menyenangkan. Saya suka membaca, tapi tak suka menulis. Mungkin saya memang tidak ada bakat di bidang itu." Wiranto terkekeh menertawai kepayahannya dalam bidang satu ini, mengundang tawa di bibir Andreas.
"Kalau belum mencoba, mana tahu itu bakat atau bukan," sengit Andreas.
"Kau benar." Wiranto segera menimpali, "apa motivasimu menulis?"
"Cinta."
Wiranto tergelak, ia menatap Andreas seakan mengejek. "Itu alasan klise, tak ada hal lain kah selain pergulatan tentang asmara. Oh, maaf, maksud saya ... sebagai seorang pengusaha, persoalan asmara bukan sesuatu yang penting."
"Kau bisa saja begitu, tapi tidak dengan saya. Saya adalah pengecualian. Kau akan paham setelah membaca seluruh isi buku itu hingga selesai, Kawan. Di sana kau akan belajar banyak hal." Mata Andreas menusuk tajam ke wajah Wiranto. Ia paling tidak suka diremehkan. Wiranto dan dirinya tentu saja berbeda.
Wiranto kehilangan kata-kata, ia melihat Andreas seperti memiliki dua kepribadian dalam satu raga.