"Semua datanya palsu!" Andreas melempar berkas-berkas di hadapan Sandra. Menatap tajam penuh amarah.
Sandra terkejut dan segera meminta maaf sembari mengambil berkas-berkas itu cepat. Bagaimana bisa ia seceroboh itu. Ia merasa bersalah sekaligus kesal, bisa-bisanya Allea berbohong. Sandra berjanji pada Andreas akan mencari data yang valid. Memang ia akui, sejak awal tidak ada pengetesan lebih lanjut atau survey secara langsung.
Andreas melirik Sandra, ini pertama kalinya sekretaris pribadinya itu melakukan kesalahan dan fatalnya kesalahan itu menyangkut Allea. "Ingat, jangan sampai ada kesalahan lagi. Jika perlu kamu lakukan pendekatan pada anak itu," perintah Andreas.
"Baik, Pak. Saya minta maaf, memang salah saya. Kali ini tugas akan saya lakukan dengan baik atas perintah Bapak." Sandra bersikap tegas dan penuh percaya diri. Andreas tersenyum, ia berkata, "Bagus, Saya tunggu hasilnya. Apapun yang dibutuhkan gadis itu, persiapkan dari sekarang."
Sandra segera mencatat dalam ingatannya apa saja sekiranya yang diperlukan nantinya. Sempat ia bertanya-tanya tentang bosnya itu, mengapa sedemikian perhatiannya dengan Allea. Seperti memiliki ambisi yang kuat untuk mendapatkan sesuatu di diri gadis itu. Dilihatnya, Andreas mulai mengambil alat tulis dan selembar kertas.
"Sandra, tolong panggil Allea, suruh ia keruangan saya. Setelah itu persiapkan untuk rapat jam 2 nanti. Saya tidak banyak waktu hari ini, Bima sudah dalam perjalanan."
"Baik, Pak. Saya permisi." Sandra segera keluar ruangan, meninggalkan Andreas yang sibuk dengan alat tulisnya.
Sandra berjalan terburu-buru menemui Allea dengan membekap file berisi berkas-berkas palsu seperti yang dikatakan Andreas. Langkah cepat Sandra mengundang perhatian para karyawan, beberapa orang yang tidak menyukai mulai berbisik-bisik, mereka tidak pernah absen menggosip pada siapapun yang baru saja keluar dari ruangan bos.
Sudah hampir 10 tahun Sandra bekerja pada Andreas, pertama kali bekerja setelah ia lulus kuliah di sebuah Universitas ternama di Jakarta. Ia merasa beruntung bekerja di perusahaan milik Andreas yang bergerak di bidang Industri. Keberuntungan kedua, Sandra merasa terlindungi oleh Andreas, tidak sedikit laki-laki sukses ternyata hidung belang. Mereka memanfaatkan kedudukan, gaji, dan harapan palsu ketika melihat wanita cantik, seksi, yang setia dalam pekerjaan. Di mata Sandra, Andreas berbeda. Bosnya itu selalu menunjukkan ketidaktertarikannya pada wanita, kecuali saat ini, Allea lah orang pertama yang mampu membuat Andreas terkesan jatuh cinta.
"Apa kamu pikir, Sandra masih perawan?" bisik salah satu penggosip saat Sandra melewati meja kerja mereka dan meninggalkan aroma harum tubuhnya.
"Saya tidak yakin," timpal seorang perempuan bernada sinis.
"Kamu cemburu 'kan, Tha?" ledek temannya lagi sambil tergelak. Semua penggosip tertawa lalu terkikik tertahan saat menyadari sikap mengganggu ketenangan bekerja mereka terhadap teman-teman lainnya.
"Tidak ada gunanya mencemburui laki-laki tua yang menghabiskan sisa hidupnya menjomblo. Itu mengerikan, saya pikir hidupnya sudah tidak normal." Janitra berucap pelan menatap wajah teman-teman bergosipnya satu persatu seakan meyakinkan kalau pendapatnya benar.
"Kamu benar, apa mungkin bos kita seorang gay? Oh, astagaa. Semoga pikiran saya salah." Lucy bergidik.
Para penggosip itu kembali terkikik, mereka memang sering bergosip di sela waktu kerja. Selain menghilangkan rasa kantuk, gosip sudah seperti pil anti lelah. Menggosipi teman-teman sekantor sudah hal biasa, Sandra termasuk orang paling sering. Kini, Sandra tidak sendiri, beberapa kali ia dengar Allea menjadi saingan bahan gosip akhir-akhir ini.
Tidak ada yang peduli pada penggosip. Gosip tidaklah membuat mereka menuntaskan pekerjaan dengan cepat. Tidak juga menaikkan pangkat. Hingga Sandra berhasil menemui Allea.
"Pak Andreas menyuruh kamu ke ruangannya." Sandra sudah berdiri di sisi meja kerja Allea. Gadis itu mendongak melihat siapa yang datang dan bicara padanya. Ia mengerutkan dahi. "Ada yang penting?"
Sandra menarik napas panjang dan mengembuskannya lambat. Ia sedikit membungkukkan badan, mendekatkan wajahnya di telinga Allea.
"Ini perintah," bisik Sandra menekan ucapannya. Allea menangkap bahwa Sandra bersungguh-sungguh.
"Baiklah," kata Allea pasrah.
***
Andreas menatap tajam Allea, gadis polos itu berdiri canggung. Ia mengurai rambut panjang bergelombangnya dan diberi jepitan rambut berbentuk bunga di bagian atas telinga. Memberi kesan manis untuk gadis seusianya. Polesan make up tipis dan natural dengan stelan blus berwarna merah muda lembut dan rok putih selutut. Allea terlihat lebih feminim hari ini, tetapi bagi Andreas, ia tetap menyukai bagian mata. Di sanalah ia menemukan kembali sebuah harapan.
"Duduklah," perintah Andreas, segera Allea turuti. Ia duduk di kursi tempat biasa ia menunggu bosnya itu menulis sesuatu di atas lembaran kertas.
Sebelum memulai kegiatan menulisnya, Andreas melempar senyum ke arah Allea. Senyum hangat dan ramah yang dimilikinya, senyum yang dulu pernah digilai banyak gadis-gadis. Ia cukup beken di kalangannya.
Allea tidak membalas, ia hanya diam dan melempar pandangan ke tempat lain. Hampir setiap hari Andreas memintanya datang ke ruangan, duduk, berdiam diri sampai kegiatan memuakkan itu selesai. Kenyataannya begitu, tidak ada yang dapat membantah. Andreas dikenal kejam saat sebuah perintah dilanggar.
Menyaksikan laki-laki tua, dengan pulpen dan lembar kertas di hadapannya. Melihat bagaimana ia menulis, merangkai kata, berpikir, tersenyum, terus terekam di ingatan Allea. Gadis itu menjadi hapal rutinitas sinting Andreas.
Lembar kertas dilipat dan ia masukkan dalam sebuah amplop. Tidak ada tempat lain, amplop-amplop itu menumpuk di dalam sebuah kotak berukuran besar dan terkunci dengan rapat menggunakan sandi-sandi tak beraturan. Hanya pemiliknyalah yang tahu.
"Buat siapa surat-surat itu?" Allea bertanya malas. Pertanyaan yang sering ia ajukan, sayangnya Allea tak pernah mendapat jawaban. Andreas hanya memamerkan senyumnya dan mengganti topik pembicaraan seperti biasa.
"Suatu saat akan saya ceritakan, tapi tidak untuk saat ini." Andreas memikirkan berkas-berkas palsu milik Allea, ia belum begitu yakin siapa gadis itu sebenarnya.
Ingin sekali Allea menanyakan mengapa ia terus berada di sana di saat Andreas menulis surat-surat k*****t itu. Allea merasa ia seperti patung tak berguna atau sebagai hiburan saja. Allea jengkel setengah mati, jika bukan laki-laki tua itu seorang bos, sudah pasti ia tidak akan sudi.
"Ada apa?" Andreas melihat mimik kesal di wajah Allea. "Cemberut bikin wanita jadi jelek," ledek Andreas bersikap tenang dan santai. Sementara Allea menatap Andreas semakin sebal.
"Apa Bapak tengah menguji saya? Apa kegiatan ini termasuk salah satu tugas kantor?" Allea tidak kuat menahannya lagi, rasanya sudah cukup.
Andreas gergelak. "Bisa galak juga kamu, berbeda dengan Ar--." Andreas segera menyadari ia hampir menyebut seseorang. "Maksud saya, kamu lebih berisik."
Allea mendengkus kesal. "Saya tidak mengerti apa yang Bapak katakan." Kaki Allea menyilang, sesaat ia memainkan rambut panjangnya dengan gusar.
Sekelebat bayangan seseorang hadir menyentuh ingatan. Andreas melihat sosok lain dalam diri Allea. Dan itu terlihat nyata. Secara naluri sifat kelelakiannya Andreas ingin menyentuh gadis itu. Ia beranjak dari kursinya dan segera mendekati Allea. Dengan cepat, Andreas merengkuh tubuh gadis itu dalam dekapan.
"Pak!" pekik Allea terkejut, ia ketakutan sampai ingin menangis dan berusaha mendorong tubuh Andreas. "Kurang ajar!" Allea menendang dan memukul sekuat tenaga.
"Ssstt, bisakah kamu diam sebentar? Sebentar saja. Kumohon," pinta Andreas, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Tubuh laki-laki itu bergetar, dan ... ia terisak.
Kedua bahu Allea merosot, suara Andreas membuatnya takut. Ada banyak beban dalam nada bicaranya yang aneh. Kerinduan, kehilangan, dan sesak yang teramat sangat. Allea menyadari, Andreas sosok laki-laki rapuh. Ia pernah mendengar ucapan yang senada, raungan-raungan dan jeritan tertahan seperti menanggung beban menahun dan luka nganga tak kunjung sembuh.