Bab.2 - Hujan dan lembar kenang

1054 Kata
Seorang wanita terbatuk-batuk melangkah menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering dan gatal, ia membutuhkan segelas air sekarang. Rumah kecilnya tampak sepi dan lengang, cuaca di luar sana terasa lembab. Bulan Oktober sudah mulai memasuki musim hujan, setiap tetesnya membuka lembar kenang. Sejauh yang ia rasa, belum pernah selemah seperti sekarang.   Takdir membawanya harus tertatih menapaki jalanan penuh duri, sendiri. Ada senyum kemenangan di bibirnya, bagaimana bisa pada akhirnya ia melanjutkan hidup tanpa cinta, dan itu berhasil dilalui. Duri-duri di jalan beserta kerikil tajam bukanlah hambatan, ia percaya akan ada cahaya di ujung sana. Di ujung perjalanan panjang yang terasa begitu menyulitkan.   Duduk di kursi di depan jendela dapur yang terbuka membuatnya betah berlama-lama, setelah wanita yang masih menyimpan sesak dalam rongga d**a itu berhasil menuang air hangat ke dalam gelas dari termos dan meminumnya pelan-pelan. Gelas itu sudah setengah kosong dalam rengkungan jarinya, sementara sorot mata menatap ke luar jendela di atas sana,  langit sudah sangat mendung. Ia menikmati harinya, sesekali membenarkan gelungan rambut yang terasa tak lagi terikat kencang.   Embusan angin menyentuh kulit yang mulai mengendur. Gerimis halus telah mengusik ingatan. Ia Tidak dapat menghalau saat pikirannya kembali pada masa di mana ia pernah diperhatikan oleh seseorang. Pada musim hujan di penghujung tahun, saat masih mengenakan seragam putih-abu, masa yang seharusnya ia menikmati masa gadisnya yang ceria.   Seorang laki-laki tengah memerhatikannya tengah melamun di depan jendela kelas. Mata gadis itu terus mengamati gerimis tak berkesudahan basahi rumput di halaman dan bunga-bunga di taman. Ia begitu menikmati hingga sempat berpikir ingin menjadi hujan.   "Jangan terlalu asik melamun sendirian. Boleh aku temani?" Laki-laki itu mendekat sambil tersenyum ramah, dan kepalanya ikut melongok ke luar jendela. Gadis itu tersenyum tipis, tanpa mengucapkan kata-kata apapun hingga mereka merasa canggup, namun tetap berdiri di sana hingga bel istirahat berakhir.   Laki-laki bermata elang, tinggi, berambut acak, dan senyumnya yang hangat. Ia memiliki tatapan yang menawarkan kenyamanan. Ia sering mendekat dan mengajak berbincang meski kerap diabaikan. Sering menghibur tetapi tak pernah mendengar tawa. Si gadis begitu pendiam, terlihat sunyi, sedikit murung dan kedua mata seperti tertutup kabut. Tetapi ia menyukai laki-laki itu dengan semua yang ia lihat. Tatapannya, perhatiannya, dan cara ia mengusir sunyi.   "Kamu suka hujan?" tanya laki-laki itu lagi di lain hari saat gadis itu kembali menikmati tetes-tetes hujan dengan suara tetesnya yang menenangkan. Sama seperti sebelumnya, tanpa suara, tetapi si gadis menganggukkan kepala untuk sebuah jawaban. Nyaris setiap hari mereka saling mengungkap rasa dalam keheningan, berdiri bersisian menyaksikan kesempurnaan alam melalui jendela-jendela di ruang kelas mereka.   Hampir tiga tahun, hujan dan jendela menjadi kenangan. Sampai semuanya terasa jelas, keduanya menyimpan perasaan yang sama. Mencinta hujan dan mencintai kebiasaan.   "Bagaimana bisa aku melupakanmu." Matanya meredup, kembali meneguk air dalam gelas sampai tak bersisa. Mengingat seseorang di masa lalu semakin membuat tenggorokan terasa kerontang. Ia menelan ludah yang terasa pahit.   Gerimis berubah menjadi guyuran hujan, bendungan awan hitam sudah menumpahkan semuanya.   "Tutup jendelanya, hujan semakin lebat. Kembalilah ke kamar dan beristirahat." Sebuah suara mengejutkan wanita itu dari arah pintu dapur. Seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang menatapnya lekat. Gadis itu sudah malas terus mengingatkan agar berenti membuka jendela saat hujan turun.   "Allea?" Ia menoleh dan tersenyum dipaksakan. "Tidak, Allea, sebentar lagi," lanjutnya, kembali menatap guyuran hujan dan suara gemuruhnya.   "Astaga, Ibu. Mau sampai kapan seperti itu. Ibu butuh istirahat dan aku takut Ibu sakit." Allea merasa ia berkata sia-sia, ibunya tidak akan mendengar. Wanita yang Allea panggil ibu itu akan tetap di sana hingga hujan reda.   Allea mendengkus kesal. Ia kembali merasa kesepian. Ibunya tak banyak membantu, puluhan tahun tetap tidak ada perubahan, justeru kondisi tubuh wanita itu semakin melemah. Semua karena ia terus mengunci diri dalam lorong gelap, meringkuk sendirian di sana. Sesuatu yang ingin Allea lakukan sekarang, membuat ibunya sadar, bahwa ia membutuhkannya.   Sekali lagi Allea melihat ibunya masih tidak beranjak dari kursi. Ia tidak akan menutup jendela. Tidak akan.   Hujan reda, menyisakan hawa dingin dan lembab. Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00 dan kedua mata Allea masih terjaga. Ia mendapati ibunya menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal di sudut sofa. Teh hangat tanpa gula yang Allea buat masih penuh di atas meja.   "Tidurlah, bukankah besok harus ke kantor?"   Allea menatap ibunya sebal. Wanita berusia 49 tahun itu keras kepala. "Ibu, apa Ibu pikir aku bisa istirahat sebelum melihat Ibu terlelap? Tidak Ibu, aku akan tetap terjaga." Allea meraih sebuah buku di atas meja, ia membaca demi menunggu ibunya beranjak dari sofa dan kembali ke kamarnya.   15 menit, Allea mengintip di balik buku untuk melihat ibunya. Wanita itu hanya menatap nanar dinding rumah dengan mata berkabut. Allea sudah tidak tahan, sepanjang waktu ia disuguhkan dengan pemandangan yang sama.   "Berentilah menakut-nakutiku, Ibu. Ibu sudah tidak waras! Harusnya aku membawa ibu ke psikiater sudah sejak lama." Allea kembali menutup bukunya dan menatap ibunya dalam-dalam. Mereka hanya berjarak tiga meter, tetapi Allea merasa begitu sangat jauh, jauh sekali. Namun, dalam beberapa menit setelah Allea mengatakan apapun yang ia rasakan, kehilangan, kepedihan, rasa sakit yang menjalari tubuhnya, wanita itu seketika gemetar hebat. Tangisnya pecah, bahunya berguncang, lalu meraung membekap mulut kuat-kuat.   "Ibu, maafkan aku ...."   Tidak ada yang dapat menyembuhkan luka selain mengungkap kepedihan itu sendiri. Meleburkannya bersama angin, meneriakinya sekuat tenaga. Menyeru pada langit-langit rumah hingga menembus sampai ke langit. Wanita itu tahu, ia sudah tidak waras sejak lama. Ia menyadari, putrinya jauh lebih rapuh karena dirinya. Semua salahnya!   Allea segera menuntut ibunya ke kamar. Memberinya minum dan merebahkan tubuh lemah itu di atas dipan. Dengan lembut Allea mengusap rambut ibunya hingga wanita itu pelan-pelan menutup mata dan terlelap. Ia persis seperti bayi, hangat dalam dekapan seorang Ibu. Merasa tenang saat mencium aroma tubuh Allea.   Seketika Allea memikirkan Andreas setelah diam-diam menyelinap keluar dari kamar ibunya. Ia menolak bosnya itu untuk mengantarnya pulang, ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun. Kondisi ibunya, tempat tinggal dan lingkungan rumah akan membuat siapapun orang merasa prihatin dan iba. Tiba-tiba rasa lelah menyergap, Allea kembali ke kamar ibunya dan berbaring di samping wanita yang sudah melahirkannya itu, suara dengkuran halus terdengar seperti melodi kerinduan. Diam-diam Allea mengusap mata. Betapa ia lelah.   "Ayah, andai saja sedikit mencintai kami." Allea terguguh, selama puluhan tahun ia masih menyesalkan mengapa ia dilahirkan. Jika tidak ada cinta, mengapa ia ada? Mengapa perpisahan harus terjadi? Pertanyaan demi pertanyaan terus menggantung tak pernah ada jawaban.   Satu-satunya agar Allea mengerti adalah, memaksa ibunya agar membuka rahasia.   enanggung beban menahun dan luka nganga tak kunjung sembuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN