Allea sengaja datang ke kantor lebih awal, karena banyak tugas yang belum ia kerjakan. Dokumen-dokumen menumpuk di atas meja kerjanya yang ketika Allea lihat sangat membosankan. Ternyata teman sebelah meja kerjanya sudah datang lebih dulu, ia menatap Allea penuh tanda tanya.
"Hai, ada apa?" Allea mengangkat bahu tidak mengerti, seingatnya, hubungan mereka baik-baik saja.
"Allea, apa benar soal gosip itu?" Sebuah pertanyaan yang seperti menuntut penjelasan itu membuat Allea bingung. Gadis itu balas menatap tajam ke arah pemuda yang memiliki wajah blasteran di depannya. "Gosip apa maksudmu, Vin?"
Vino Alvaro, ia menjabat sebagai kepala staf di bagian marketing dan merangkap bagian pendataan. Ada sekitar 20 karyawan yang menjadi tanggung jawabnya, salah satunya Allea. Sebagai anak baru, gadis itu jelas menjadi pusat perhatian dan Vino bertugas membimbing secara intensif selama kurang lebih 6 bulan. Kini ia harus mendengar berita tak mengenakkan soal bawahannya. Jika saja gosip itu bukan tentang Allea, ia tidak akan peduli meski separuh lebih bawahannya terjerat gosip paling menyakitkan sekalipun.
Vino menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya kasar. Wajah Allea sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran pagi ini, setidaknya jika ia tahu, mungkin akan mogok bekerja, pikir Vino.
"Sudah sarapan? Sebaiknya kita ngobrol di kantin." Vino menarik pergelangan tangan Allea, mengajaknya ke kantin yang berada di lantai bawah.
"Aku bisa jalan sendiri." Allea menarik tangannya, dan menyilangkan kedua tangan di d**a. Ia menatap Vino curiga. "Gosip hanya alibi, sedangkan sarapan bersama adalah misi." Allea menyeringai, dan Vino benci melihatnya.
"Terserah!" Vino melangkah cepat menuju pintu ruangan meninggalkan keraguan Allea.
***
Saat di kantin, Allea sangat terkejut mendengar penjelasan Vino soal gosip yang menimpanya. Entah siapa yang memulai, tidak ada yang tahu. Berita itu menyebar bagai virus, sangat cepat. Berkali-kali Allea menjelaskan pada Vino bahwa semua yang dituduhkan padanya adalah tidak benar.
Vino sudah menghabiskan semangkuk bubur ayam, sementara salad sayur milik Allea masih tidak berkurang sedikitpun. Gosip sudah menghilangkan selera makannya.
"Vin, apa kamu percaya gosip itu?" tanya Allea memelas. Seluruh sendinya terasa lemas, yang ia pikirkan, bagaimana sikapnya nanti jika bertemu dengan Andreas. Sementara suasana kantin mulai ramai, beberapa karywan datang untuk sarapan. Sebagian dari mereka menatap Allea tak percaya dan berbisik-bisik satu sama lain. Vino menyadari, semua orang mulai berasumsi.
"Aku percaya, aku tahu kamu gadis baik-baik." Sebuah kejujuran untuk Allea. Ia percaya gadis itu tidak seperti orang lain pikirkan. Seketika mata Allea berkaca-kaca, sungguh ia terharu, tidak ada yang mampu berkata setulus itu selama ini padanya. Sejauh yang Allea rasakan. Orang-orang sering menilainya sebagai sosok yang misterius, ambisius, dan berani. Padahal sejatinya, Allea tidak terlalu kontras dengan sifat ibunya yang pendiam dan cenderung menutup diri.
"Satu pertanyaan untukmu, Allea," kata Vino sebelum akhirnya mereka meninggalkan kantin. "Apa kau menyukai si tua itu?"
Wajah Allea terangkat, kedua matanya terbuka lebar, menatap dalam mata hazel Vino. "Tidak!" jawabnya tegas.
***
Menjelang siang, Allea masih memikirkan soal gosip tentang dirinya. Ia merasa payah dan lemah, semua orang pasti sudah menyematkan gelar 'ular' pada dirinya. Sempat ia dengar bisik-bisik dari para wanita penggosip, atau karyawan lainnya yang kerap mengatakan 'si pemberani' dan kata-kata 'tak tahu malu'. Mereka seakan disadarkan, bahwa kepolosan wajah seseorang adalah topeng untuk menggerogoti mangsa. Allea dituduhkan memanfaatkan usia dan kecantikannya untuk merayu si tua bangka, Andreas.
"Lihat saja, Andreas tidak akan bertahan lama mencintai gadis itu. Gadis yang malang, saya sudah tidak sabar menunggu kapan dia akan dibuang." Thalita si ratu gosip mulai mengundang umpan. Tentu saja para pengikutnya terkekeh mendengarkan.
Hampir setiap waktu mereka membahas sesuatu yang membuat mereka bersemangat. Allea tahu, banyaknya penggosip dan penyebar fitnah, ia jadi penasaran siapa yang sudah menjadi dalang.
Hati kecil tidak dapat dibohongi, gosip tidak selalu salah. Hanya saja, terkadang oknum yang menyampaikan berita lah yang mengaburkan fakta. Sikap berlebihan seperti menyiram bensin ke dalam api. Kita hanya perlu mengerti, bagaimana seharusnya menyikapi.
Saat semuanya menjadi beban bagi Allea, Sandra datang dengan mengajukan kesepakatan. "Allea, saya ingin bicara sebentar," katanya tanpa basa-basi. Kedatangan Sandra membuat Allea merasa takut, sementara tak jauh dari Allea diam-diam Vino memerhatikan.
"Ngobrol apa?" Allea tanpa menoleh.
"Ada hal penting, ayolah," ajak Sandra sedikit memaksa, tetapi ia tersadar saat melihat Vino terus memerhatikannya.
Vino mengangkat alis sebelah. "Allea ada janji makan siang denganku, sebentar lagi kami akan keluar." Secara tiba-tiba Vino membuat kening Sandra melipat, Allea sendiri berusaha menahan senyum, ia melirik Vino sekilas.
Sandra mengibaskan rambut lurus panjangnya yang sebahu ke belakang dan membasahi bibirnya dengan lidah. Berusaha menunjukkan sisi binalnya. "Kau mengabaikanku demi gadis polos ini rupanya, aku tahu Allea bukan seleramu, Vino." Sandra tersenyum miring.
Vino memalingkan wajah, ia menatap Allea seakan mengatakan 'Sandra adalah penipu ulung yang pernah ia kenal' lewat tatapan matanya. Allea seketika merasa muak dan lelah. Gadis itu tidak berminat mengurusi urusan pribadi orang lain, ia sudah sejak lama berpikir bahwa laki-laki memang bertabiat rakus soal wanita. Sudah pasti Vino dengan mudah memanfaatkan ketampanannya itu menggaet banyak gadis demi kepuasan pribadi.
Sandra menunggu makian Vino, sementara pemuda itu mengerang kesal. "Sandra, bisakah kau tidak membahasnya?" Akhirnya Vino menyerah. Sandra tertawa penuh kemenangan, bukan tidak ada maksud ia mengatakan hal itu pada Vino, Allea lah alasannya. "Aku hanya sedikit ingin bernostalgia."
Setiap orang berhak jatuh cinta, dan berhak pula meninggalkan. Sepasang kekasih tidak akan memiliki banyak harapan untuk bersama seiring berjalannya waktu jika salah satunya mulai merasa lelah. Lelah oleh keadaan atau bahkan kebiasaan yang tak lagi sama. Alasan demi alasan kerap dilontarkan kemudian menyerah begitu saja tanpa kepastian. Sandra dan Vino telah selesai.
Allea cukup terkejut mendapati bahwa mereka pernah bersama, tidak mudah baginya mencerna apa maksud ucapan Sandra membongkar rahasia kebersamaannya dengan Vino. Allea sendiri tidak berminat menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi. Pikirannya masih berputar pada gosip murahan yang tertuju padanya.
"Sandra, bisa kita bicara sekarang?" Allea berubah pikiran.
Sandra tersenyum ramah, ia memberi kode agar Allea mengikutinya. Sebelum beranjak meninggalkan ruangan, Allea sempat melihat Vino dengan malas menatap layar komputer, ia memilih tetap di meja kerjanya.
***
Hari paling buruk bagi Allea. Sandra memanfaatkan keadaan demi misi. Sengaja, sekretaris pribadi Andreas itu mengajak Allea ke ruangannya untuk beramah tamah dan menawarkan banyak kesempatan juga hadiah. Seperti yang diperintahkan atasannya, ia harus memenuhi apapun yang Allea butuhkan.
"Saya tidak menginginkan apapun dari perusahaan ini selain gaji bulanan saya."
Sandra kembali mengibaskan rambut, rambut pirang buatan yang ia buat hampir dua bulan lalu, ia pikir Vino akan menyukai warna rambut barunya, namun pada kenyataan ia terabaikan. "Kamu gadis polos yang sombong. Tapi saya sarankan, jangan melewatkan kesempatan Allea. Banyak gadis-gadis di kantor ini bermimpi ingin diperhatikan bos."
"Saya tidak berminat menarik perhatian Pak Andreas. Saat ini, hanya satu yang saya resahkan, kamu tahu siapa yang menyebarkan gosip tentang saya?" Kali ini Allea bersuara pelan, ia hampir menangis di hadapan Sandra.
Sandra menelan ludah, ia tampak berpikir saat Allea menatapnya setengah memohon. Hanya Sandra yang mampu meredakan gosip sialan itu.
"Allea, saya tidak tahu pasti siapa orangnya. Perlu kamu ketahui, banyak biang gosip beserta penjilat di kantor ini. Saya rasa ... Thalita dan teman-teman gosipnya patut kamu waspadai." Sandra meneruskan, "Saya banyak tawaran bagus, kamu bisa memanfaatkannya jika mau."
"Maksudnya?" Allea menegakkan punggung.
Sandra beranjak dari duduknya dan mendekati Allea. "Kita bisa berteman baik, maksud saya, saya bisa membantu menyelesaikan beberapa masalahmu saat ini. Gosip yang tersebar sebenarnya tidak seburuk yang kamu bayangkan, berita-berita miring hanya meledak satu, dua atau tiga hari paling lama. Selebihnya, yah, tidak ada yang peduli.
Tenanglah, Allea, ini perkantoran. Saya akan memberimu ponsel baru dan satu unit sepeda motor sebagai fasilitas kerjanya. Apa perlu ruangan khusus? Itu mudah saja."
Kata-kata Sandra bagai dongeng bagi Allea, tidak lebih dari sekadar sebuah angan semu. Ucapan Vino seakan membenarkan, Sandra adalah penipu ulung dan Allea mulai ragu.
"Tidak usah terburu-buru, Allea. Kamu bisa memikirkannya sampai besok. Saya akan sabar menunggu," ucap Sandra seakan tahu apa yang Allea pikirkan.
Allea masih berdiam diri. Bingung.
"Omong-omong, apa kau pernah kencan dengan Vino?" tanya Sandra keluar dari topik pembahasan.
Alis Allea bertaut, Sandra kembali membahas Vino. "Kencan? Tidak pernah." Allea berucap jujur dan Sandra merasa senang. Allea hampir tidak pernah meladeni laki-laki yang menunjukkan perasaan cinta padanya semenjak ia mengenal kata cinta itu sendiri sejak remaja.
Seorang laki-laki pernah menyatakan cinta dan meminta Allea menjadi kekasihnya, tapi gadis itu menolak dengan alasan konyol. Ia mengatakan sudah memiliki anak dan berentilah memohon padanya. Laki-laki itu meradang, bertanya-tanya mengapa Allea sudah memiliki anak sedangkan ia masih berusia 17 tahun. Allea sendiri merasa geli saat mengingatnya. Allea sering mendengar kata-kata ibunya bahwa mengenal cinta terlalu dini akan membawa petaka.
"Sandra, apa Pak Andreas tahu soal gosip itu?" Kekhawatiran Allea masih belum hilang, ia penasaran apa yang dilakukan si tua itu jika mendengar gosip buruk tentang dirinya.
"Pak Andreas tidak akan peduli pada gosip apapun, Allea. Dia orang yang dingin. Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu demi sesuatu yang menurutnya tidak penting. Sekiranya ia melakukan sesuatu pada seorang wanita, itu juga bukan hal istimewa, dia sekadar mencicip."
Wajah Allea memanas, bukan itu yang ia ingin dengar. Jawaban Sandra benar-benar menyakitkan. Allea tahu seharusnya ia pergi jauh-jauh dari Andreas, mogok kerja dan tidak sudi lagi menginjakkan kaki di kantor. Nyatanya, ia masih bertahan seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi sampai gosip itu secara tiba-tiba menyebar.
Allea menangis. Pertahanannya jebol. Ia kehilangan harga diri. Marah, kesal, dan jadi membenci Andreas. Ia harus bertanggung jawab atas dekapan yang sesaat. Allea merasa ... malu pada diri sendiri, tetapi hati kecilnya membiarkan. Andreas membutuhkannya.