"Saya tidak bercanda," kata Regan pada Viona yang langsung nelongo. "Saya akan berikan uang dua miliar kalau kamu melakukan itu. Kamu bisa berhenti dari dunia malam."
"Dua miliar?" Kedua mata Viona membelalak mendengar nominal yang sangat besar. "Apa itu sepadan dengan ... menikahi saya?"
Regan mengangguk. Ia bisa menjalankan amanah Roger untuk menjaga Viona. Ia juga bisa menuruti permintaan Asri. Menikah dan memiliki anak.
Kondisi Asri yang semakin menurun membuat Regan akhirnya memikirkan hal ini sejak kemarin. Dan akhirnya ia sepakat dengan Asri untuk menikah lagi.
"Kita menikah secepatnya." Regan mengikis jarak di antara ia dan Viona. "Hanya untuk memiliki anak. Setelah kamu melahirkan anak saya, kamu harus pergi jauh dari kehidupan saya."
Viona menelan saliva. Ia akan mendapatkan uang dua miliar jika ia melakukan itu. Ia bisa terbebas dari pamannya. Tawaran yang menggiurkan. Namun, ia harus menikah dan hamil?
"Bukannya Bapak punya istri?" Viona menatap jijik Regan yang baru saja mengangguk. "Jadi, kenapa Bapak mau menikah dengan saya?"
"Karena itu permintaan Asri," jawab Regan.
Viona sama sekali tak mengerti. Mana ada istri yang minta dimadu? Ini sungguh aneh.
"Apakah kamu sepakat, Vio?" tanya Regan memecah benak Viona.
"Saya ... saya harus memikirkan ini dulu," kata Viona.
"Hubungi saya sore ini juga," pinta Regan. "Kamu punya nomor saya. Dan saya harap kamu bakalan sepakat."
Viona melirik saku kemeja Regan. Ah, ia kesal sekali karena kartu mahasiswanya masih bersarang di sana. Gara-gara kartu itu ia juga harus mengalami hal serumit ini. Apakah ia siap menjadi istri kedua? Namun, ada uang yang sangat banyak yang akan ia dapatkan jika ia bisa melahirkan bayi Regan.
"Ya, saya kabari nanti." Viona menoleh ke pintu. "Saya boleh pergi?"
Regan mengangkat alisnya. "Ya. Rahasiakan obrolan kita!"
Viona mengangguk. Ia lantas berjalan menjauh dari ruangan Regan. Sungguh gila! Ia ditawari menjadi istri pria paling tampan di kampus ini! Ia bahkan akan mendapatkan uang 2 miliar. Hanya saja, ia harus melahirkan?
Benar-benar gila! Viona tak bisa berpikir jernih. Di satu sisi ia telah lelah menjadi mainan pamannya. Ia bisa bebas setelah ini. Hamil dan melahirkan hanya 9 bulan. Ia bisa pergi sejauh mungkin dari semua orang setelah ia berpisah dengan Regan. Dan ia bisa memulai kehidupan baru. Ia tak akan dianggap sebagai wanita malam lagi karena ia memiliki status janda.
"Ya, ampun, aku harus gimana?" Viona tak bisa memutuskan siang itu.
***
Viona belum memberikan jawaban pada Regan meskipun hari telah sore. Ia merasa sangat rikuh untuk mengirim pesan pada dosennya itu. Ia juga masih ragu untuk menerima kesepakatan itu. Jadi, sejak tadi yang ia lakukan hanyalah mengetik di aplikasi percakapan dan menghapusnya lagi.
"Vio!" teriak Beni dari luar kamar. Pria itu mengetuk dengan kasar hingga Viona terkaget.
"Ada apa, Om?" tanya Viona seraya membuka pintu.
"Buruan ikut Om. Kamu harus melayani pelanggan sekarang juga," kata Beni.
"Ini masih sore, Om. Aku ...."
"Jangan beralasan! Ayo!" Beni menarik pergelangan tangan Viona.
"Aku belum dandan," tolak Viona yang merasa ini agak aneh karena biasanya ia diminta berdandan terlebih dulu secantik mungkin.
"Nggak usah. Mereka mau gadis polos untuk mereka nikmati kali ini," ujar Beni.
Viona menarik lengannya. "Mereka? Apa maksud Om? Aku nggak mau tidur sama banyak orang."
"Tiga orang! Nggak banyak, buruan. Kamu bakal dapat uang banyak kali ini," kata Beni.
Viona menggeleng. Melayani tiga orang sekaligus artinya ia akan dihajar hingga lemas malam ini. Ia tak mau. Itu mengerikan. "Lepasin, Om! Aku nggak mau!"
"Jangan ngeyel kamu! Kamu itu numpang tinggal di sini, jadi kamu harus nurut sama Om!" Beni terus menarik Viona hingga mereka tiba di halaman.
"Nggak! Aku takut!" teriak Viona.
"Jangan bego! Udah saatnya kamu meningkatkan kualitas permainan kamu, Vio. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan lebih banyak uang lagi. Ingat, kamu berutang banyak dengan Om," kata Beni tersenyum miring.
Viona menggeleng ketika tubuhnya didorong masuk mobil. Ia mencoba membukanya, tetapi ia tak bisa. Viona terus memberontak karena mobil itu mulai bergerak.
"Om, jangan gini dong. Aku nggak mau tidur sama banyak orang, plis," rengek Viona untuk kesekian kalinya.
"Kamu hanya tinggal menikmati," sahut Beni dengan nada tak peduli. Ia membelok di tikungan dan tersenyum karena ia hampir sampai di lokasi pertemuan dengan pelanggan. Namun, tiba-tiba sebuah mobil memelesat cepat di sebelah mobilnya. Dan mobil itu langsung berhenti di depan mobilnya.
"Sial!" Beni menginjak gas. Belum selesai rasa kagetnya, Beni dibuat semakin terkejut karena seseorang tiba-tiba mengetuk pintu mobilnya.
"Lepaskan Viona!"
Viona masih terengah-engah akibat ulah mobil yang serampangan itu. Dan kini, ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh pada sosok Regan di luar mobil.
"Buka pintunya dan jangan bawa Viona!" teriak Regan lagi.
Yah, sejak tadi Regan diam-diam mengikuti Viona. Ia cemas gadis itu akan menolaknya. Jadi, hingga sore ia menunggu Viona di dekat rumahnya. Ia melihat insiden pemaksaan Beni agar Viona ikut naik mobil lalu memutuskan untuk mengekor. Ia yakin ada sesuatu yang tak beres dengan Viona.
"Kamu kenal pria itu?" tanya Beni pada Viona.
Viona mengangguk pelan. "Ya, itu ... pak Regan."
Beni mendengkus. Ia kesal sekali karena Regan berani menghadang jalannya. Jika ia terlambat membawa Viona, ia akan mampus. Jadi, ia menurunkan kaca mobilnya.
"Apa yang Anda mau?" tanyanya pada Regan.
"Berikan Viona sama saya," ujar Regan.
Viona terkesiap mendengar ucapan Regan. Kedua matanya bertemu tatap dengan Regan sekilas karena pria itu kembali memberikan tatapan menusuk e arah Beni.
"Saya akan melaporkan Anda atas kasus pemaksaan pada keponakan sendiri jika Anda tidak mau bekerja sama," kata Regan.
"Apa?" Beni terkaget.
"Saya akan menikahi Viona. Jadi berhenti mengeksploitasi Viona!" seru Regan.
"Menikah?" Beni menoleh pada Viona yang memucat. "Apa dia pacar kamu?"
"Dengar!" Regan menarik kerah baju Beni dengan kasar. "Saya bisa berikan Anda banyak uang, tapi lepaskan Viona sekarang juga!"
"Oh, Anda pikir saya akan melepaskan aset saya yang berharga?" Beni tersenyum licik.
"Viona bukan aset! Jadi jangan memanfaatkan dia seperti itu!" gertak Regan. Padahal, ia sama saja seperti Beni yang ingin memanfaatkan Viona. "Saya akan memberikan banyak uang asalkan saya bisa menikah dengan Viona. Berapa yang Anda mau?"
Beni menatap Regan dengan ekspresi tak percaya. Namun, ia lantas mengacungkan satu jarinya. "Satu miliar. Kalau kamu bisa memberikan uang segitu, saya akan berikan Viona."
Viona menggeram. Ia benar-benar muak sudah dianggap dagangan oleh pamannya.
"Baik. Sekarang biarkan Viona ikut saja." Regan mengeluarkan selembar cek dari sakunya. "Ini uang muka, saya akan menyelesaikan semuanya besok pagi."
Beni mengangguk. Uang muka seratus juta cukup lumayan. Ia lalu mengedikkan dagu pada Viona. "Kamu mau menikah dengan pria itu?"
Viona tak sempat menjawab, sebab Regan lebih dulu membukakan pintu untuknya lalu mencopot sabuk pengamannya.
"Ayo ikut saya!"
Viona merasa ragu, tetapi kemudian ia menerima uluran tangan Regan. Demi apa pun, ia bersyukur. Ia tak perlu melayani tiga orang mengerikan di luar sana. Ia juga akan segera terbebas dari pamannya. Ia lega, ia digandeng Regan dan ia diminta masuk mobil.
Napas Viona masih naik-turun ketika mobil Regan mulai meluncur. Ia memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. Ia penasaran apakah Regan mengikutinya sejak tadi atau tidak. Ia penasaran apakah Regan tulus atau tidak.
"Tentu aja nggak," batin Viona. Ia tahu, Regan hanya membutuhkan rahimnya sejenak. Regan sama saja dengan pria-pria di luar sana yang ingin menidurinya. Hanya saja, Regan ingin bermain aman di bawah kata pernikahan.
"Ini mau ke mana?" tanya Viona setelah beberapa saat. Ia baru sadar bahwa mobil Regan telah meluncur jauh dari tempatnya tadi.
"Ke tempat yang lebih aman." Regan menginjak pedal gas dan menutup mulutnya setelah itu.
Regan benar-benar merasa kacau. Ia yang memberi tawaran pada Viona, tetapi hatinya merasa berat untuk menikah lagi. Ia tak pernah ingin menduakan cinta Asri padanya. Terlebih, Asri sedang sakit keras. Namun, ini adalah keinginan Asri sendiri.
"Kamu tinggal di sini dulu untuk sementara waktu," kata Regan pada Viona ketika mereka tiba di sebuah rumah yang tak terlalu besar.
"Ini rumah Bapak?" tanya Viona penasaran.
"Ya, tapi saya tidak tinggal di sini." Regan membuka pintu mobil. Kali ini ia tidak membukakan pintu untuk Viona.
Viona mengikuti langkah Regan mendekati rumah itu. Ia menoleh ke sana kemari untuk mengetahui di tempat seperti apa ia berada.
"Kamu tinggal di sini sampai persiapan pernikahan kita selesai," ujar Regan. Ia memutar anak kunci lalu mempersilakan Viona untuk masuk.
"Lalu, setelah menikah? Saya harus tinggal di mana?" tanya Viona dengan mata mengedar ke penjuru rumah.
"Kamu tinggal di rumah saya. Istri saya ingin mengenal kamu dengan baik," kata Regan dengan nada berat. "Asri sakit keras, dia ingin saya menikah lagi karena takut sewaktu-waktu dia akan pergi. Jadi, jangan katakan sama Asri kalau kita hanya menikah sementara. Saya melakukan ini hanya demi Asri. Kamu mengerti?"
Viona mengangguk. Pilihan apa lagi yang ia punya? "Ya, Bapak tenang saja."