Dua hari berselang sejak kejadian di hotel itu. Kini, Regan tengah dilanda galau. Ia menatap foto-foto Viona yang ia intip di akun media sosialnya. Gadis itu memang cantik, bahkan sangat cerdas, tetapi kenapa memilih profesi sebagai wanita malam?
Regan masih tak mengerti. Sebab, jika dilihat dari keseharian Viona di kampus, Viona tampak seperti mahasiswi pada umumnya. Dan ia dalam masalah besar karena telah tidur dengan Viona.
"Cantik, tuh. Siapa dia?"
Regan menutup laptopnya dengan cepat ketika ia mendengar suara Asri dari belakang. Entah sejak kapan ia melamunkan Viona hingga ia bahkan tak sadar Asri telah berdiri di sebelahnya.
"Bukan siapa-siapa," jawab Regan. Ia tersenyum pada istrinya. "Kamu udah minum obat, Sayang?"
"Ehm, udah." Asri menjulurkan tangan ke laptop Regan lalu membukanya.
"Nggak usah dilihat, ini cuma ...."
"Cantik, kok. Apa dia gadis pilihan kamu?" tanya Asri.
"Maksud kamu apa?" Regan melepaskan tangan Asri dari laptop lalu meremasnya.
"Aku udah bilang, Mas bisa nikah lagi. Dan gadis tadi cantik banget. Masih muda lagi," kata Asri tersenyum.
"Nggak usah ngawur. Dia cuma ... adek temen aku," ujar Regan. Ia menelan saliva.
"Oh, ya?" Asri mengerutkan kening.
Regan mengangguk. Ia baru saja menerima email dari Roger, teman semasa ia kuliah. Dan bodohnya, email itu baru ia baca setelah ia hampir tidur dengan Viona. Roger berpesan pada Regan untuk menjaga Viona, adik kandungnya yang telah lama terpisah. Roger tinggal di luar negeri dan belum lama ini meninggal dunia. Rasanya, Regan sudah gagal menjaga amanat dari Roger. Sungguh sial. Andai ia tahu siapa Viona sebenarnya.
"Kami nggak ada hubungan apa pun," kata Regan seraya berdiri dan merangkul Asri. "Ayo siap-siap tidur, Sayang."
"Mas ... tapi, aku mau kamu mikirin ucapan aku. Kamu harus menikah lagi," kata Asri yang memang setiap hari tak bosan membujuk Regan untuk menikah lagi.
"Aku nggak akan pernah melakukan itu," tukas Regan.
Asri terduduk di tepi ranjang. Ia mendongak pada pria yang telah menikahinya selama hampir delapan tahun. Dan selama itu pula, mereka hidup berdua saja sebab ia tak akan pernah bisa memberikan keturunan pada Regan.
Asri mengidap kanker rahim hingga harus menjalani pengangkatan rahim setahun yang lalu. Ia pun masih harus menjalani beberapa pengobatan untuk memastikan kankernya tidak menyerang lagi. Ia tak ingin Regan bertahan seperti ini sementara mertuanya terus menuntut Regan untuk memberikan keturunan.
"Mas ... lakukan itu demi aku, ya?" Asri meremas tangan Regan lalu memeluk pinggangnya. "Aku mohon. Kamu harus menikah lagi. Kamu tahu hidup aku nggak akan lama lagi."
Regan membelai kepala Asri. "Kamu bakalan sembuh, Sayang. Maaf, tapi aku nggak bisa mewujudkan permintaan kamu itu."
"Ayo, dong. Aku pengen lihat kamu bisa gendong bayi kamu sendiri, Sayang," ujar Asri dengan segenap hatinya. "Buruan ... aku beneran pengen liat kamu bisa punya anak, Mas."
"Jangan bilang kayak gitu, kita tidur aja."
***
Viona memasukkan buku dan laptopnya ke dalam tas. Ia hendak ke kantin bersama dua temannya setelah menyelesaikan kelas, tetapi tiba-tiba Dedi mengetuk mejanya.
"Vio, kamu dipanggil ke ruangan pak Regan," kata Dedi.
"Hah? Ngapain?" Viona terkesiap. Seingatnya, ia telah mengerjakan tugas dari para dosen. Ia juga tidak pernah membuat masalah di kampus. Jadi, agak aneh jika tiba-tiba ia dipanggil.
"Nggak tahu, tadi aku ketemu di koridor dan kamu diminta ke sana sekarang juga," ujar Dedi.
Viona membuang napas panjang. Ia penasaran setengah mati kenapa dosen tampan—tetapi killer—itu memanggilnya. Yah, Regan cukup terkenal di kampus karena parasnya yang luar biasa. Padahal pria itu sudah menikah, tetapi tetap menjadi idola para kaum hawa.
"Chil, Nes, aku ke ruangan pak Regan dulu. Kalian duluan aja ke kantin," kata Viona pada kedua temannya.
Chilla dan Nesya bertukar tatap. "Ngapain kamu ke sana?"
Viona mengangkat bahunya. Ia sendiri tak tahu. Jadi, daripada penasaran lebih baik ia segera ke sana.
Viona mengetuk pintu ruangan Regan lalu melangkah masuk. Ia langsung bertemu tatap dengan pria yang tengah membaca sesuatu di mejanya.
"Siang, Pak. Ehm ... katanya Bapak manggil saya. Ada apa, ya? Apa tugas saya ... banyak yang salah?" tanya Viona dengan gugup.
Kedua mata Regan seolah menembusnya. Ia merasa tidak enak jika ditatap seperti ini lantaran ia yakin ada sesuatu yang penting di sini. Namun, apa? Viona tak bisa menebak.
Regan tak menjawab pertanyaan Viona. Ia justru mengeluarkan sesuatu dari saku lalu meletakkannya di atas meja.
"Ini milik kamu, kan?" Tatapan Regan masih menusuk mata Viona.
Viona tak bisa melihat jelas apa yang dimaksud Regan, jadi ia berjalan lebih dekat ke meja Regan. Ia membelalak ketika tahu itu adalah kartu mahasiswanya yang entah hilang di mana. Ia telah mencari kartu itu ke sana kemari. Dan ia sangat cemas jika kartu itu ketinggalan di tempat yang tak seharusnya—di kamar hotel ketika ia melayani pelanggan.
"Kamu ingat di mana kamu menghilangkan ini?" tanya Regan lagi
Viona menelan saliva. Kenapa ia merasa suara Regan tak asing. "Nggak mungkin, nggak mungkin!" Viona terus mengatakan itu dalam hatinya.
"Saya nggak tahu, Pak. Mungkin jatuh di kampus atau ... Bapak nemu ini di mana?" tanya Viona dengan harapan agar Regan berkata bahwa ia menemukan kartu mahasiswanya di mana saja selain di kamar hotel.
"Kamu beneran nggak ingat?" Regan mengangkat dagunya. Setengah mati ia penasaran dengan Viona. Dan bertatapan langsung dengan Viona membuatnya berdebar karena ia tak bisa melupakan malam di hotel itu. Sungguh sialan!
"Ehm, boleh saya ambil saja kartu saya, Pak?" Viona mencoba mengalihkan obrolan. "Makasih udah nemuin kartu saya, Pak. Tapi ... ehm, saya ada kelas abis ini. Jadi ...."
"Saya belum selesai bicara." Regan menyimpan kembali kartu itu di sakunya hingga membuat Viona mengerutkan keningnya. "Viona ... atau haruskah saya memanggil kamu Gabby?"
Viona menutup bibirnya dengan telapak tangan. Ia langsung gemetar karena Regan memanggilnya dengan nama itu. Jelas, itu adalah nama samaran yang ia pakai ketika ia bertemu pelanggan. Dan kini, Regan tersenyum miring padanya.
"Saya menemukan ini di kamar hotel di mana kamu ... saya yakin kamu mengerti," ujar Regan.
Viona meletakkan tangannya di atas meja Regan. Ia menggeleng. "Bapak nggak boleh bilang siapa-siapa!"
"Kamu pikir saya bodoh dan bakal mengumbar itu?" Regan mendesahkan napas panjang. "Bagi saya, malam itu adalah aib."
Viona menarik ujung bibirnya membentuk seringaian. Aib. Sungguh munafik! Ia ingat bagaimana Regan cukup menikmati permainannya. Andai saja itu diteruskan, pasti mereka sudah tenggelam dalam permainan yang lebih panas.
Yah, ia menebak Regan baru pertama kali berhubungan dengan wanita malam. Namun, Regan adalah seorang suami. Dan bagi Viona, pria-pria seperti Regan adalah pria yang memuakkan.
"Kalau gitu kembalikan kartu saya dan biarkan saya pergi. Kita sama-sama bisa rahasiakan apa yang terjadi malam itu," ujar Viona. "Lagian ... malam itu emang nggak ada apa-apa di antara kita."
"Nggak semudah itu." Regan berdiri lalu memutari meja. "Saya tidak bisa membiarkan kamu bekerja di dunia malam seperti itu lagi."
"Itu bukan urusan Bapak!" seru Viona. Ia tak tahan lagi. "Saya tahu Bapak bakal ngatain saya cewek murahan. Tapi Bapak bisa becermin lebih dulu. Bapak juga memakai jasa gadis menghibur. Kita sama-sama murahan. Jadi ...."
"Kamu kenal Roger Imanuel?" tanya Regan memotong cerocosan Viona.
Viona mengerutkan keningnya. Ia tak tahu bagaimana Regan bisa mengenal kakaknya—kakak yang telah pergi entah ke mana bersama ibunya bertahun-tahun yang lalu. Ia tak pernah bertemu dengan Roger dan ibunya sejak kecil.
"Dia kakak kamu, kan?" Regan menatap Viona yang masih kebingungan. Dan gadis itu mengangguk. "Kakak kamu belum lama ini meninggal dunia dan dia sempat mengirimkan email ke saya yang isinya ... dia menitipkan kamu untuk saya jaga."
"Apa? Kakak ... meninggal?" Viona melemah seketika.
Regan mengangguk. "Dia sakit kanker dan dia merasa bersalah karena nggak bisa menjaga kamu selama ini."
Viona menggeleng. "Dan di mana ibu saya?"
"Ibu kamu sudah lama meninggal dunia," jawab Regan. Viona terlihat semakin terkejut dan melemah. "Roger adalah teman dekat saya waktu kuliah di Inggris. Dia hidup dengan keras di sana. Jadi, dia ingin memastikan kamu hidup dengan baik di sini. Tapi ... tampaknya kamu nggak baik-baik saja."
Viona meremas tangannya. Bagaimana ia bisa hidup dengan baik? Ia dulu tinggal dengan ayah kandungnya. Setelah ayahnya meninggal dunia, ia hidup dengan pamannya yang keji dan tega menjual dirinya.
"Saya mau kamu berhenti dari dunia malam," kata Regan.
Kedua mata Viona menyipit. Ia tak peduli tentang pesan kakaknya pada Roger. Toh, kakaknya sudah lama ia anggap mati. Ia selalu hidup sendiri tanpa kasih sayang semua orang.
"Saya bilang itu bukan urusan Bapak!" gertak Viona. Ia menyodorkan tangannya pada Regan. "Balikin kartu saya dan tolong lupakan malam itu!"
Regan membuang napas panjang. "Saya sudah memikirkan cara untuk membuat kamu berhenti dari pekerjaan kamu itu. Saya akan menawarkan sesuatu dan saya yakin kamu akan sepakat."
"Apa?"
"Menikah dengan saya dan lahirkan bayi untuk saya."
Viona merasa ini adalah lelucon paling tak lucu yang pernah ia dengar. Namun, ia tetap tertawa. "Apa yang Bapak katakan? Bapak ... bercanda, kan?"