Ternyata di rumah besar itu, Viona tak hanya sendiri. Ada pelayan wanita, tukang kebun dan sekuriti. Viona tak heran, tampaknya Regan memang orang yang kaya raya. Pantas saja, ia ditawari uang dua miliar untuk kesepakatan gila ini.
"Aku cuma perlu menikah, hamil dan melahirkan. Setelah dapat uangnya, aku bisa mulai hidup baru di tempat baru dan aku nggak akan diganggu Om Beni lagi," gumam Viona ketika ia berbaring di ranjang empuk yang disediakan untuknya.
Namun, seiring ia mencoba tidur di rumah mewah itu, ia terus membayangkan seperti apa pernikahan yang harus ia jalani. Ia tahu Regan telah memiliki istri, tetapi ia tak tahu seperti apa istri Regan.
"Mungkin, istrinya nggak bisa punya anak," tebak Viona. "Apa istrinya nggak bakalan cemburu kalau Pak Regan nikah sama aku? Ah ... kenapa harus cemburu, kami menikah tanpa cinta. Semuanya hanya demi seorang bayi."
Viona mendengkus. Biar bagaimana, Regan adalah pahlawan yang memerdekakan ia dari sang paman. Mungkin, ia harus berterima kasih. Atau mungkin tidak. Toh, Regan juga mengambil keuntungan darinya.
"Simbiosis mutualisme," gumam Viona seraya memejamkan mata lalu jatuh tertidur.
***
Seminggu berlalu dalam kehidupan Viona. Ia tetap diminta Regan untuk tinggal di rumah itu. Jadi, ia pergi dan berangkat kuliah dari rumah itu memakai motor yang ada di sana. Dan setiap kali ia berpapasan dengan Regan di kampus, mereka berdua akan bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.
Orang asing, hanya dosen dan mahasiswa biasa. Begitulah mereka bersikap. Viona bahkan bisa merasakan dinginnya pria itu ketika meliriknya.
"Sial, apa bener dia jodoh aku?" Viona hanya membatin saat berada di kelas Regan. "Untung aja cuma sementara. Mana tahan sama laki-laki dingin kayak gitu."
"Stt! Sttt!"
Viona menoleh pada Chilla yang baru saja menyenggol lengannya. "Kenapa?" Ia bicara tanpa suara.
"Kamu ngeliatin Pak Regan mulu, tumben. Kamu mulai naksir, ya?" ledek Chilla sambil menahan kikikan.
"Demi apa pun, aku nggak bakal naksir sama dosen dingin kayak gitu," ujar Viona.
"Tapi dari tadi nggak berpaling dari dosen ganteng itu," cibir Chilla.
Viona mendengkus. "Ganteng sih ganteng, tapi belum tentu kelakuannya baik."
"Viona! Chilla! Kalian berani mengobrol di kelas saya?" Regan mendadak memukul mejanya dengan penggaris serta menatap dingin kedua mahasiswinya yang mengobrol di belakang.
"Nggak, Pak." Chilla menjawab cepat sementara Viona hanya melengos. Sumpah, Viona tak habis pikir dengan sosok Regan itu.
"Saya kasih kalian tugas dua kali lipat kalau berani mengobrol lagi," ucap Regan.
Viona mengepalkan tangannya. Ia mencoba untuk tetap tenang meskipun dadanya semakin gaduh bertalu-talu. Ia akan menikah dengan dosen itu. Dan pernikahan akan dilangsungkan sore ini juga!
***
Viona baru saja didandani dengan cantik. Ia memakai kebaya putih ala pengantin pada umumnya sementara Regan mengenakan jas putih. Regan mengulurkan satu berkas pada Viona sebelum mereka melakukan pernikahan.
"Baca semua poin perjanjian itu dan tanda tangan," kata Regan.
Viona mengangguk. Ia sudah mendengar secara lisan beberapa poin yang harus ia taati selama menjalani pernikahan dengan Regan. Ada banyak poin, tetapi ia menggarisbawahi beberapa yang penting saja.
Selama menikah, mereka hanya akan tidur dengan tujuan membuat Viona hamil. Dan setelah Viona hamil, mereka tak perlu melakukannya lagi. Viona harus menghormati Asri yang merupakan istri pertama Regan dan dilarang cemburu dengannya.
"Kenapa juga aku harus cemburu?" batin Viona ketika membaca poin itu.
Poin terakhir yang tak bisa dilupakan Viona adalah setelah melahirkan, ia harus pergi dari rumah Regan dan mendapatkan uang dua miliar yang dijanjikan. Ia harus meninggalkan bayi itu. Dan selamanya, mereka harus merahasiakan pernikahan itu.
"Kamu sudah mengerti dengan semua itu?" tanya Regan.
"Ya, udah, Pak. Tenang aja." Viona mengambil pulpen lalu menandatanganinya. "Kita bisa menikah sekarang."
Regan membuang napas panjang. Sama seperti Viona yang tak menyangka akan menikah dengannya, ia pun demikian. Ini berat baginya, tetapi karena desakan Asri akhirnya ia mau menikah.
"Hanya demi memiliki keturunan," batin Regan.
Mereka berdua menyatakan ikrar pernikahan dan akhirnya resmi menjadi suami-istri. Pernikahan itu hanya dihadiri oleh paman Viona yang menjadi wali serta orang-orang kepercayaan Regan saja.
Usai menikah, Regan langsung membawa Viona ke rumah utamanya yang tidak terlalu jauh dari rumah yang ditempati oleh Viona kemarin. Viona berdebar-debar. Ia akan tinggal di rumah yang ditinggali oleh istri Regan. Ia tahu di dalam film-film dan aneka n****+, istri pertama dan istri kedua biasanya tidak akan akur.
Namun, ia meyakinkan dirinya untuk bersikap baik. Ia pasti bisa menjadi istri kedua yang baik.
"Nah, udah sampai. Ayo turun," kata Regan.
"Ya." Viona melepaskan sabuk pengaman lalu mengikuti Regan keluar dari mobil. Ia membuang napas panjang karena sangat gugup. Kebaya yang ia kenakan mendadak seperti terlalu ketat hingga ia kesulitan untuk bernapas. Perutnya juga terasa berputar-putar. Pasti ini lantaran ia terlalu gugup.
"Ke sini," ucap Regan. Ia membawa tas Viona dari bagasi lalu mengedikkan dagu menuju teras rumah.
Dengan langkah kaki yang berat, Viona pun berjalan. Ia mengatur napas karena merasa begitu sesak. Pintu rumah terbuka, dan Viona menjadi dua kali lebih gugup.
"Kamu udah pulang, Mas." Seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu. Wanita itu mengambil tangan Regan lalu menciumnya. Viona terkesiap menatap wanita yang tersenyum manis ke arahnya. "Kamu ... pasti Viona."
Viona mengangguk pelan. "Ya."
"Selamat datang, Vio, semoga kamu betah tinggal di sini. Aku Asri," kata wanita cantik yang memakai scraft berwarna pink salem sebagai penutup kepala.
"Ya, makasih, Mbak." Viona mengulurkan tangannya dan dengan canggung ia menjabat tangan Asri yang dingin dan gemetar. Viona semakin gugup. Ia yakin meskipun Asri tersenyum, tetapi hatinya pasti tengah disayat-sayat karena suaminya pulang membawa seorang madu. Dan tentu saja, ialah madu itu.
"Ayo masuk." Asri melebarkan daun pintu. Desah napasnya yang berat terdengar di telinga Regan hingga pria itu cemas dengan kondisi sang istri.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Regan seraya meletakkan tas Viona dan langsung merangkul Asri.
Asri masih tersenyum, ia menepis tangan Regan dari pinggangnya karena tak enak jika ditatap oleh istri baru sang suami. "Aku nggak apa-apa, aku udah masak buat kalian."
Viona yang melihat kecemasan Regan terhadap istrinya semakin dibuat penasaran, apa yang terjadi dengan rumah tangga ini? Namun, ia juga tidak ingin bertanya pada Regan ataupun Asri. Ia mencoba untuk tak peduli saja.
"Aku juga udah siapin kamar buat kalian," ujar Asri lagi.
Viona mengambil tasnya sendiri yang telah diabaikan oleh Regan. "Di mana kamar aku, Mbak? Aku pengen mandi."
"Di atas, ayo."
Viona mengikuti langkah Asri menaiki anak tangga. Ia melirik-lirik wanita cantik itu. Ia mencoba untuk tak peduli dengan scraft yang menutupi kepala Asri, tetapi ia sangat penasaran. Regan bilang istrinya sakit keras. Ia jadi merasa sedikit kasihan.
"Kamu bisa tidur di sini sama Mas Regan," ujar Asri setelah ia membuka pintu kamar tamu yang telah ia sulap menjadi kamar pengantin.
Viona membelalak ketika menatap ranjang bertabur bunga. Tidak-tidak! Ia tak membayangkan akan tidur bersama Regan di sini sementara istri pertama Regan juga tinggal di sini. Astaga! "Apa yang dipikirkan wanita ini?" batin Viona.
"Kamu suka kamarnya?" tanya Asri.
"Ah ... ehm, ya. Makasih, Mbak."
"Ada baju-baju baru juga di lemari. Kamu bisa pilih sendiri," kata Asri. Ia mengulum bibirnya. "Kalau udah mandi, kamu turun, ya. Kita makan bareng."
"Ya."
Asri menatap pintu kamar yang kini ditutup oleh Viona. Ia berpegang pada dinding untuk menetralkan perasaannya. Bagaimanapun, ia harus kuat. Ia melakukan ini demi Regan. Dan ia sendiri yang telah meminta Regan untuk menikah lagi dan melahirkan bayi. Viona cantik, Viona masih muda dan sehat. Viona adalah pilihan yang terbaik untuk Regan.
"Sayang ... kamu butuh sesuatu?" tanya Regan yang baru saja menyusul Asri dan Viona naik ke lantai dua.
Asri menggeleng. "Nggak, Mas. Viona ... cantik banget. Dia juga kelihatan baik."
Regan membuang napas panjang. "Aku mau ganti baju."
"Ya. Silakan. Aku udah nyiapin baju kamu di kamar Viona," kata Asri.
"Aku mau mandi dan ganti baju di kamar kita," ujar Regan.
Asri mengerutkan keningnya. "Kamu ini apa-apaan? Kamu baru menikah dengan Viona, harusnya ...."
"Nanti aja," sahut Regan.
Asri hanya bisa menggeleng melihat suaminya memilih untuk menjaga jarak dari Viona. Bahkan, usai makan malam bertiga dan memperkenalkan Viona pada semua pelayan, Regan langsung naik ke kamar dengan alasan ada banyak pekerjaan yang harus ia tangani.
Asri menunggu hingga malam semakin larut. Ia menatap suaminya yang tengah melepaskan kaca mata lalu menutup laptopnya. "Mas, kamu harus tidur."
"Iya, ini mau tidur." Regan berlalu ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan mengganti pakaian. Setelah itu, ia kembali ke kamar lalu menyibak selimut.
"Mas! Ini malam pertama kamu dengan Viona, kenapa kamu masih di sini?" tanya Asri kesal.
"Besok aja, aku mau sama kamu malam ini," ujar Regan.
Asri berdecak tak mengerti. Ia mengira Regan sudah sepakat untuk menikah dan cepat-cepat menghamili istri keduanya. "Mas ... jangan kayak gini. Viona juga istri kamu dan dia ... apa kalian mau bulan madu aja?"
Asri menggeleng. Ia mulai cemas Regan tidak akan meniduri Viona dan lebih baik jika mereka tetap di sini. Setidaknya, ia akan tahu bahwa Regan tidak bercanda dengan pernikahan keduanya.
"Aku nggak mau bulan madu," ujar Regan. "Viona ... kamu nggak usah mikirin Viona."
"Mas, buruan ke kamar Viona sekarang. Aku mohon!"
Regan sangat ingin menggeleng. Ia tidak ingin meniduri Viona meskipun dalam perjanjian ia menginginkan seorang bayi. Ia hanya ingin Viona berhenti menjadi wanita malam. Itu sangat membingungkan baginya.
"Ayo, dong, Mas. Demi aku. Aku pengen lihat kamu gendong bayi sebelum aku ... pergi. Buruan ke kamar istri kedua kamu. Sekarang!"