Seperti dugaan Viona, Regan telah masuk ke kelas dan membuat seisi kelas langsung mengunci bibir mereka. Hanya gerakan tangan membuka laptop, mengeluarkan alat tulis atau menyimpan tas mereka di laci yang terdengar di kelas tersebut.
Kedua mata Regan mengedar. Ia tak menemukan Viona di ruangan itu. Sontak, ia langsung menyipitkan mata.
"Chilla, di mana Viona?" tanyanya pada teman dekat Viona. Ia tahu ada dua gadis yang sering ia lihat bersama Viona. Jika bukan Chilla, maka pasti ada Nesya.
"Ehm ... belum datang nih, Pak." Chilla dengan gelisah menoleh ke pintu kelas. "Dimana, sih Vio? Gimana kalau kena hukum Pak Regan, nih?"
"Belum datang?" Regan tak habis pikir. Seharusnya Viona tidak terlambat hanya karena ia tinggal di tepi jalan. Bukankah itu hanya sekitar 200 meter dan Viona hanya perlu berjalan sedikit lalu menyeberang.
"Ya, nggak ada chat juga, Pak," jawab Chilla. Ia mengedikkan dagu pada Nesya seolah bertanya apakah Nesya melihat atau mendapatkan chat dari Viona. Dan tentu saja Nesya menggeleng.
Regan menggeram pelan. Tak mungkin Viona membolos, tetapi aneh juga jika gadis itu sampai terlambat. Tak ingin ada yang curiga ia tengah memikirkan Viona, ia langsung memberikan materi.
Namun, Regan semakin tidak berkonsentrasi karena menit demi menit berlalu dan Viona tetap tidak masuk ke kelas. Regan jadi ingat bagaimana semalam Viona kesakitan. Yah, pagi tadi di mobil ia melirik Viona masih sering membuang napas panjang sembari mengusap perut. Apakah Viona pingsan di suatu tempat?
"Sial! Kenapa aku kepikiran Vio terus?" Regan membuang napas panjang. Ketika kelasnya berakhir ia mendekati meja Chilla lalu mengetuk di sana. "Viona masih nggak ngasih kabar kenapa dia nggak masuk?"
"Ehm ...." Chilla membuka ponselnya lalu menggeleng. Namun, ia secara tidak sengaja membuka salah satu grup percakapan kampus. "Ini ... ini kayaknya Viona, Pak."
"Apa?" Regan mengambil ponsel Chilla. Alangkah kagetnya Regan saat melihat foto Viona yang tak sadarkan diri dan berdarah. Ada video yang memperlihatkan saat Viona dibawa ke klinik karena terluka.
"Viona kenapa?" tanya Nesya.
"Kayaknya sakit, deh. Kena apa gitu di deket lokasi yang direnovasi itu," ujar Chilla.
Regan meletakkan ponsel Chilla dengan cepat di atas meja. Jadi, karena ini Viona tak hadir di kelasnya. Ia meninggalkan ruangan lalu cepat-cepat berlari menuju klinik.
"Pak Regan kenapa?" tanya Nesya.
Chilla mengangkat bahunya. "Nggak tahu. Kayak marah gitu tadi. Mungkin karena Vio dikira bolos."
"Dasar dosen killer! Padahal Vio sakit."
"Iya, yuk kita lihat keadaan Vio. Ini Vio sama Kak Adi, deh," ujar Chilla yang kembali memperhatikan rekaman video yang beredar di grup.
"Iya, mungkin ditolong Kak Adi. Ayo Chil, keburu kelas selanjutnya mulai."
***
Sementara itu, Viona baru saja membuka mata. Ia merasa pusing setengah mati ketika bergerak. Spontan, ia menarik tangannya ke kening lalu mengusap di sana.
"Aku di mana?" gumam Viona.
"Vio, kamu udah sadar?"
Viona mendengar sebuah suara yang tak asing. "Eh, Kak Adi?"
Adi mengangguk. "Kamu di klinik kampus. Kamu inget apa yang terjadi?"
Viona mengernyit. Ingatannya mendadak memutar adegan ketika ia berangkat kuliah, ditinggal oleh Regan sialan di tepi jalan hingga ia harus berlarian menuju kampus. Dan ketika ia melewati bangunan yang sedang direnovasi, ia mendengar seruan orang-orang.
"Ya, aku inget. Itu tadi ada tangga yang ambruk, Kak?" tanya Viona hendak mengonfirmasi ingatannya.
Adi tersenyum dan mengangguk. "Ya. Untung aja kamu nggak apa-apa."
Viona yang merasa pusingnya telah berkurang segera mencoba duduk. Adi pun bergegas membantu Viona dan memberikan bantal di belakang punggungnya. "Aku nggak apa, Kak. Aku bisa sendiri."
Adi hanya melempar senyum. Ketika itu, Viona melihat beberapa memar di pelipis dan pipi Adi. Bahkan lengan kiri Adi juga dibalut perban.
"Kak ... ini Kakak luka gara-gara nyelametin aku?" tanya Viona. Ingatannya kembali memutar adegan yang sangat cepat itu.
"Niatnya gitu, tapi apa daya, kita tetap kena timpa anak tangga besi itu," jawab Adi. Ia membelai kepala Viona. "Kamu yang lebih parah karena kebentur. Kalau kamu pusing atau mual, ini mau dirujuk ke rumah sakit."
"Aku nggak apa-apa, Kak." Ia menatap wajah khawatir Adi. Ia tahu selama ini Adi naksir padanya dan kerap menunjukkan perhatian. "Cuma pusing dikit."
"Nah itu, kamu pusing. Kita ke rumah sakit aja, ya." Adi mengusap pipi Viona. "Ini juga luka, jangan sampai membekas di wajah cantik kamu."
Viona memerah mendengar pujian Adi. Banyak pria yang mengatakan ia cantik, apalagi para pelanggan malamnya. Hampir semua puas dengan kecantikan yang ia miliki. Namun, ia selalu membenci pujian demi pujian yang keluar dari bibir pria-p****************g itu. Pujian Adi terasa berbeda, pastinya tulus.
"Ehm!"
Viona dan Adi sama-sama menoleh ke arah deheman keras yang tak asing. Kedua mata Viona membulat ketika ia melihat Regan berdiri di pintu masuk klinik dengan tangan bersedekap. Tatapan Regan lurus ke arahnya selama beberapa saat sebelum ia memandangi bagaimana Adi menyentuh pipi Viona.
"Pak Regan ngapain ke sini?" tanya Adi seraya menurunkan tangannya dari pipi Viona.
"Seharusnya saya yang tanya sama kamu, ngapain kamu di sini sama Vio?" Regan mendekati tempat tidur Viona.
"Saya sama-sama sakit, kami pasien," jawab Adi.
Regan mengangkat dagunya. Ia ingat di video itu Viona tak hanya sendiri melainkan bersama mahasiswa yang lain. "Kamu udah baikan, kan? Kamu bisa pulang kalau gitu."
"Saya emang nggak apa-apa, Pak. Tapi, Vio kayaknya lebih parah karena kebentur tangga besi," ujar Adi. Ia menatap Viona dan tersenyum tipis. "Saya mau anterin Viona ke rumah sakit. Kata perawat kalau dia pusing atau mual harus segera ke rumah sakit."
"Kamu pulang aja, biar saya yang anterin Viona ke rumah sakit," sahut Regan.
Viona semakin membelalak dan Adi juga terkejut pada Regan. Setahunya, Regan adalah dosen dingin yang tak peduli pada apa pun. Bahkan, kehadiran Regan di sini saja sudah aneh.
"Tapi ... kenapa, Pak? Bapak kan sibuk," ujar Adi.
"Viona terluka waktu seharusnya dia ada di kelas saya," jawab Regan asal. Padahal sebenarnya ia sudah sangat cemas ketika melihat video Viona tadi. Apalagi kini Viona begitu pucat—dan cemberut. Ia juga merasa bersalah pada Viona. Andai ia tidak meninggalkan Viona di pinggir jalan, mungkin kecelakaan itu tidak akan menimpa Viona.
"Saya beneran nggak apa-apa, Pak. Saya bawa mobil dan bisa ajak Vio ...."
"Nggak usah. Viona, kamu bisa berdiri?" tanya Regan yang mengabaikan keberadaan Adi. Ia mengikis jarak saat melihat kaki Viona yang juga dibalut perban. "Sakit?"
Viona mendengkus. Ia bisa merasakan tatapan penasaran Adi saat ini. "Ehm ... Kak, aku sama Pak Regan aja. Makasih udah nolongin aku."
"Serius, Vio?" tanya Adi.
"Ya. Kamu pulang aja." Regan yang menjawab. Ia mengambil sepatu Viona lalu meletakkannya agar tepat dipakai oleh Viona ketika gadis itu menurunkan kakinya.
"Ya udah, Vio. Aku pulang dulu. Kamu ... kabarin kalau ada apa-apa, ya," ujar Adi. Ia mengangguk hormat pada Regan. "Tolong jaga Vio, Pak."
Regan mendengkus keras saat Adi meninggalkan ruangan. "Siapa dia? Pacar kamu?"
Viona merengut seketika. "Bukan, cuma temen. Kakak tingkat beda fakultas. Ini ... saya cuma pusing dikit, Pak. Saya kebentur kecil aja tadi. Jadi nggak usah ke rumah sakit, deh."
"Justru karena pusing itu bisa bahaya. Ayo buruan," kata Regan. Ia berdiri lebih dulu dan menunggu Viona memakai sepatu. Namun, karena Viona terlihat kesusahan saat mengikat tali sepatunya, ia pun segera berlutut untuk mengikat tali itu.
Viona terkesiap, belum ada pria mana pun yang melakukan itu padanya. Ia menahan napas saat Regan tiba-tiba mendongak hingga mereka bertemu tatap.
"Jangan salah paham, kamu kelamaan makanya saya bantuin," ujar Regan dingin.
Viona berpaling dari Regan segera. Ah, ia harus ingat bahwa Regan tak mungkin bersikap manis padanya. Karena agak kesal, ia segera berdiri. Namun, aksinya ternyata membuat luka di kakinya terasa begitu sakit.
"Aduuhh!" Viona memekik, ia mencari pegangan dan ternyata hanya ada Regan di depannya. Sontak, ia terjatuh ke dekapan Regan secara mendadak. "Maaf, Pak. Kaki saya nyeri."
Regan berdecak. Ia menegakkan tubuh Viona lalu membiarkan gadis itu menyeimbangkan diri. "Hati-hati, jangan sampai lukanya makin parah. Kamu bisa jalan?"
"Ya." Viona menjulurkan tangannya ke tempat tidur untuk mengambil tas, tetapi Regan lebih dulu melakukan itu.
"Oh ... Pak Regan?" Perawat baru saja masuk untuk memeriksa keadaan Viona.
"Ya, saya mau bawa Viona ke rumah sakit. Dia mengeluh pusing," ujar Regan.
"Ah, itu ada ambulans kalau ...."
"Nggak perlu," sahut Regan.
Viona melempar cengiran pada perawat yang pasti tengah membatin ekspresi menyebalkan Regan saat ini. "Makasih, Sus. Saya pergi dulu."
Dengan tertatih, Viona mengikuti Regan. Ia menyeka kepalanya yang ternyata memang jauh lebih pusing daripada yang ia rasakan tadi. Ah, ia jadi cemas jika ia sampai gegar otak. Tidak mungkin, kan?
Regan menghentikan langkahnya. Ia membalik badan saat menyadari Viona tidak segera menyusul. Ia membuang napas panjang seketika karena melihat Viona yang terpincang-pincang di belakangnya.
"Kalau sakit buat jalan, bilang! Jangan iya-iya doang," kata Regan. Tanpa permisi, ia mengangkat tubuh Viona.
Viona langsung terkesiap. Ini jelas adalah perbuatan Regan yang tidak wajar. Mereka ada di kampus dan ia tengah digendong ala bridal oleh dosen tertampan di sini. Astaga. Regan membelok, ke koridor yang sepi lalu bergerak menuju parkiran mobil.
"Jangan salah paham, saya melakukan ini karena ...."
"Ya, saya tahu, biar nggak kelamaan," potong Viona.
Regan memberinya tatapan menusuk. "Jangan sering-sering ngrepotin saya."
"Saya juga nggak minta Bapak ke sini, kok. Tadi bukannya Kak Adi udah nawarin buat anter saya ke rumah sakit? Kenapa malah disuruh pulang?"
Regan mendengkus. Ia membuka pintu mobil lalu mendudukkan Viona di sana. "Diam aja, kita ke rumah sakit sekarang!"