Regan beberapa kali melirik Viona saat mereka hanya berdua saja di mobil. Ia melihat Viona memijat kepalanya sesekali. Kaki gadis itu juga sakit. Ia menjadi cemas setengah mati. Mungkin, ia harus meminta maaf karena telah meninggalkan Viona pagi tadi. Namun, ego menguasai hati Regan.
"Perut kamu masih sakit juga?" tanya Regan membelah keheningan.
Viona menoleh pada Regan. Ia menurunkan tangannya dari kening karena tak ingin dianggap lebay, padahal memang kepalanya terasa pusing.
"Nggak, udah baikan." Viona menjawab singkat, tak tahu harus bicara seperti apa dengan Regan yang sebentar-sebentar terasa baik gampang berubah menjadi es kutub.
"Syukur deh." Regan menimpali singkat juga. Ia memarkir mobilnya di depan rumah sakit lalu segera turun.
Seperti biasa, Viona membuka pintu mobil sendiri lalu menurunkan kakinya. Namun, kali ini Regan dengan cepat menyambutnya. Viona agak terkejut ketika lengan besar Regan menyeberangi pinggangnya. Ia menahan napas karena posisi mereka yang sangat dekat.
"Ayo jalan," kata Regan.
Viona menurunkan tatapannya, tak ingin diledek karena sedetik lalu ia tengah menikmati ketampanan Regan.
"Dokter, ehm ... dia barusan pingsan karena ketimpa anak tangga besi orang konstruksi yang ambruk. Dia mengeluh pusing, kakinya juga sakit. Tolong diperiksa secara menyeluruh. Saya khawatir dia mengalami gegar otak," kata Regan.
Viona memutar bola mata. Regan khawatir dengan dirinya. Mungkin maksud Regan adalah khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi padanya dan Regan akan kehilangan kesempatan untuk menghamilinya. Bukankah hanya rahimnya yang dibutuhkan oleh Regan?
"Ya, silakan berbaring dulu," kata salah satu dokter.
Regan menunggu Viona diperiksa sambil sesekali mengecek ponsel. Ia harus membuat alasan karena tidak hadir di kelas selanjutnya. Ia tidak pernah melewatkan kelas, jadi pasti akan ada pembicaraan lebih lanjut tentang hal ini. Ia berharap tidak ada yang melihat ia menggendong Viona di kampus tadi.
"Saya sarankan untuk melakukan scan kepala pasien," kata dokter.
Regan mengangguk. "Ya, lakuin apa aja yang diperlukan asalkan dia sembuh, Dok."
Viona menurut. Ia mengikuti beberapa tes yang dilakukan oleh dokter. Dan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia tidak mengalami gegar otak. Hanya benturan yang keras yang mengakibatkan ia pusing dan trauma. Ia juga kehilangan cukup banyak darah, jadi itu adalah hal yang wajar jika ia mengalami pusing.
"Viona bisa beristirahat di rumah, tidak perlu opname. Jika masih pusing atau bahkan mengalami sakit kepala bisa langsung ke UGD," ujar dokter itu.
Regan mengangguk. "Ya."
"Saya resepkan obat untuk Viona, silakan ditebus dan pastikan diminum. Semoga lekas sembuh."
Regan mengangguk lagi. Ia mengambil resep obat itu lalu mengedikkan dagu pada Viona agar mereka keluar dari ruangan.
Dengan tertatih, Viona mengikuti langkah Regan. Sesekali, Regan menoleh pada Viona. Ia sudah memelankan langkahnya, tetapi Viona masih sangat lambat. Ia tergerak untuk menggendong Viona lagi, atau mungkin lebih baik meminjam kursi roda. Namun, ia mengurungkan niatnya itu.
"Saya ambil obat dulu, kamu duduk di sini aja," kata Regan.
"Saya boleh ke kantin, Pak?" tanya Viona, ia tahu menunggu obat di rumah sakit membutuhkan kesabaran karena agak antri. Ditatapnya Regan yang hanya memasang tampang datar. "Saya haus banget, Pak. Agak laper juga ini udah siang."
Regan membuang napas panjang. Ia pun sudah lapar. "Ya udah, kamu tahu di mana kantinnya?"
"Nggak tahu, tapi pasti ketemu," jawab Viona seraya mengedarkan pandangannya.
"Ya, udah. Tapi, kaki kamu sakit nggak buat jalan?" tanya Regan.
"Nggak, kok. Ini udah nggak sakit banget," jawab Viona.
Regan mengangguk. Ia duduk di kursi tunggu sementara Viona mulai berjalan menjauh. Kedua mata Regan menatap punggung Viona. Ia langsung membuang napas panjang.
"Dia kelihatan normal kayak anak gadis pada umumnya, kenapa ... kenapa dia harus menjalani kehidupan malam? Kasihan ...." Regan membatin dengan rasa pilu di hatinya.
Selama setengah jam, Regan menunggu obat Viona. Hingga akhirnya, ia dipanggil dan usai membayar, ia langsung mencari Viona.
Tak ada pesan dari Viona, berarti Viona masih di kantin, pikir Regan. Kedua mata Regan menari saat ia masuk ke kantin. Ia hampir mendekati Viona yang duduk seorang diri di pojokan. Namun, tiba-tiba Viona berdiri lalu melambaikan tangan.
Bukan padanya!
"Indra!"
Indra. Seorang pria berjalan cepat ke arah Viona lalu memeluknya erat. Kedua mata Regan langsung melotot. Viona tampak limbung akibat pelukan Indra.
"Eh, sorry, Vio. Kamu baru sakit?" tanya Indra.
"Kecelakaan kecil," jawab Viona.
Indra merangkul dan membantunya duduk kembali. "Maaf, ya. Aku nggak tahu. Aku kangen sama kamu. Gimana kabar kamu?"
"Baik. Kamu gimana? Kerja di sini sekarang?"
"Ehm, shift siang." Indra meletakkan tasnya di meja lalu tertawa menatap wajah Viona. "Ya, ampun, Vio! Belepotan tahu nggak!"
Viona terkekeh saat Indra mengambil sejumput nasi dari pipinya. Namun, tiba-tiba dikagetkan dengan Regan yang mencengkeram tangan Indra kuat-kuat.
"Pak Regan!" seru Viona.
"Jangan sembarangan sentuh," ujar Regan sambil menyentak tangan Indra.
Indra melempar tatap penasaran pada Viona yang kini langsung berdiri. "Pacar kamu?"
Viona menggeleng. "Bapak apa-apaan, sih?"
"Ayo pulang!" gertak Regan.
Viona merengut. Ia sudah kenyang, tetapi ia jadi kesal karena Regan marah tanpa sebab yang jelas. Ia langsung menoleh pada Indra. "Sorry, Ndra. Aku pulang dulu, ya."
Indra mengangguk. "Bye, Vio."
Viona melambaikan tangan, tetapi tangannya dengan cepat disambar oleh Regan. Tubuhnya tertarik mengikuti langkah Regan yang panjang-panjang.
"Kenapa, sih, Bapak kayak gini?" Viona terseok-seok karena kakinya yang sakit dan Regan tampaknya tidak peduli. Hingga mereka tiba di mobil, Regan tak menjawab.
"Masuk!" Regan membuka pintu mobil lalu mendorong Viona masuk.
Viona mendengkus kesal. Regan tampak seperti remaja yang sedang PMS saja. Tak mungkin, kan Regan cemburu dengannya dan Indra?
Begitu Regan duduk di balik kemudi, Viona langsung melempar tatapan menusuk. "Saya baru tahu dosen yang dikagumi banyak orang ... ternyata sangat nggak sopan."
Regan melirik Viona. Ia menyalakan mesin mobil tanpa peduli dengan ucapan Viona.
"Saya sama sekali nggak ngerti sama sikap Bapk, tahu nggak? Sebentar baik kayak malaikat, sebentar kayak setan kesurupan," ledek Viona yang sudah sangat tak tahan dengan sikap Regan.
Regan membuang napas berat. "Apa kamu selalu seperti ini?"
"Apa?" Tubuh Viona tersentak karena Regan menghentikan mobil secara tiba-tiba di tepi jalan.
"Saya tanya, apa kamu selalu seperti ini sama cowok-cowok?" tanya Regan lagi. Kali ini ia memutar tubuhnya agar bisa menghadap Viona.
"Maksud Bapak apa?" Viona mengerutkan kening tak mengerti.
Regan mendengkus. Tangannya terkepal kesal. "Tadi di klinik kampus, kamu begitu dekat sama kakak tingkat kamu. Bahkan dia belai-belai pipi kamu. Dan kamu ... apa kamu menikmati itu?"
Viona menegang. Ia tak menyangka Regan akan berpikir seperti itu.
"Dan di kantin rumah sakit tadi ... kamu seenaknya berpelukan sama cowok. Kamu juga biarin dia sentuh kamu. Apa kamu emang selalu kayak gini? Menikmati sentuhan cowok yang dekat sama kamu? Apa kamu memang suka menggoda cowok-cowok?" Regan terus bicara dan mengabaikan kedua mata Viona yang mulai basah.
"Saya lupa, kamu emang udah piawai menggoda. Bukannya itu pekerjaan kamu? Seperti malam itu ... kamu hampir menggoda saya di kamar hotel. Mungkin ... karena itu kamu bersikap menikmati sama sentuhan cowok di klinik dan di kantin tadi," kata Regan.
Air mata Viona meluruh mendengar ucapan Regan. Ia memang wanita malam, tetapi itu bukan profesi yang ia banggakan selama ini. Ia terpaksa melakukannya. Dan Regan mungkin tak mengerti apa yang ia rasakan.
"Mereka teman saya!" seru Viona lantang. "Saya nggak godain mereka." Napas Viona mulai naik-turun karena wajah Regan menampakkan ekspresi seolah tidak percaya dengan ucapannya. "Walaupun saya cuma wanita malam, tapi saya bukan penggoda. Saya tahu, saya kotor. Saya bukan gadis suci, tapi jangan hina saya seperti itu.
"Dan ... jangan ungkit-ungkit apa yang pernah kita lakukan di malam itu. Bapak nggak tahu malam-malam mengerikan seperti apa yang pernah saya lalui. Jangan asal bicara!"
Viona melepaskan sabuk pengaman. Ia membuka pintu mobil lalu turun ke trotoar.
Regan terkesiap. Ia hendak menyusul Viona, apalagi ketika ia melihat langkah pincang Viona. Namun, karena ia sangat marah, ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Ia terdiam di mobil selama beberapa menit, mencerna ucapan Viona tadi.
"Sial!" Regan memukul setirnya keras. Gara-gara Viona, ia sudah merasa kacau belakangan ini. Pertama, ia khawatir pada gadis itu. Lalu ia merasa kesal pada dua pria yang menyentuh Viona.
Namun, Regan tahu ialah b******n itu! Ia yang menghina Viona dan ia juga yang membuat Viona menangis.
"Sial!" Regan menjalankan mobilnya perlahan. Viona sudah tak terlihat lagi dan itu membuat Regan sangat cemas. Ia melirik ke kanan-kiri, berharap akan menemukan sosok Viona. Sayangnya tidak.
"Mungkin dia pulang pakai ojek," gumam Regan seraya memperoleh laju mobilnya.
Begitu tiba di rumah, Regan langsung bergegas masuk. Ia mengedarkan matanya.
"Sayang, kamu udah pulang, Mas?" Asri menyambut kepulangan Regan lalu mengintip ke balik punggung Regan. "Kamu sendiri aja? Nggak bareng Vio?"
Regan membuang napas panjang. "Viona belum pulang?"
Asri mengerutkan keningnya. "Belum. Dia kan nggak tahu jalan kampus ke rumah, Mas. Kenapa?"
Regan memijat keningnya. Ia menggeleng, tak ingin Asri resah.
"Ada apa? Apa kalian marahan?" tebak Asri.
Regan akhirnya mengangguk. "Aku bikin Viona marah dan dia pergi."
"Astaga. Kamu harus cari dia, Mas. Gimana kalau dia nyasar?" Asri menatap suaminya penuh harap.
"Viona bukan anak kecil. Nanti aku telepon dia," kata Regan.
"Cari Vio. Keburu sore nanti, gimana kalau dia nggak pulang nyampe malam?"
Regan menggigit bibirnya lalu mengangguk. "Oke. Kamu jangan khawatir."
Regan membalik badan untuk kembali ke mobilnya. Ia mencari kontak Viona lalu mencoba menelepon, tetapi panggilan itu tidak dijawab.
"Ke mana dia? Apa dia pulang ke rumah pamannya?"