Bab 6. Bercak Darah

1519 Kata
Aroma segar menguar di kamar Regan saat ia keluar dari kamar mandi. Ia bertemu tatap dengan Asri yang tengah bangun tidur. Kedua mata wanita itu sembab, dan berharap Regan tak akan melihatnya. "Kenapa kamu mandi di sini, Mas?" tanya Asri pada Regan. Ia berdiri untuk membantu Regan menyiapkan pakaian sebab kini Regan hanya mengenakan selembar handuk di tubuhnya. "Aku tidur di sini tadi," jawab Regan. Asri yang tengah membuka pintu lemari pun langsung menoleh. "Maksud kamu? Kamu ninggalin Viona setelah ... ah, Mas! Harusnya kamu nggak kayak gitu." "Aku nggak bisa tidur di kamar sebelah," ujar Regan seraya mendekati Asri lalu memeluknya. Ia mengusap puncak kepala Asri yang ditutupi dengan scraft berwarna biru navy. Ia ingat betul betapa cantiknya rambut Asri dulu. Hitam legam dan lebat dengan aroma citrus yang segar. Sayangnya, kini Asri telah kehilangan rambutnya karena pengaruh obat-obatan kanker. Akan tetapi, bagi Regan, Asri tetaplah cantik. "Kamu harus terbiasa," ujar Asri dengan mata basah. Seperti dirinya yang mencoba untuk terbiasa dengan pernikahan kedua Regan, ia berharap Regan pun juga. "Viona cantik dan sempurna, dia pasti bisa memuaskan kamu." Regan mengeratkan dekapannya di tubuh Asri yang kian mungil saja. Sesungguhnya, ia tak peduli dengan kepuasan. Ia sangat mencintai Asri. Ia tahu Asri sakit-sakitan dan semua itu tentu mengurangi gairah di antara mereka. Namun, bagi Regan ia bisa menahan diri. Ia hanya sekali menjadi b******n ketika memanggil wanita malam di hotel. "Aku udah siapin air hangat buat kamu mandi," kata Regan seraya mengurai pelukan. "Aku bisa ganti baju sendiri. Ada beberapa tugas yang perlu aku cek pagi ini." Asri mengangguk pelan. "Aku siapin sarapan kamu abis ini, Mas." Kedua mata Regan mengikuti gerakan Asri memasuki kamar mandi. Ia membuang napas seketika karena sadar di dunia ini tak ada yang akan bisa menggantikan Asri. Meskipun sakit, Asri selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik untuknya. *** Usai mandi dan menyiapkan sarapan, Asri mendongak ke lantai dua. Regan belum terlihat turun, begitu juga dengan Viona. Ia tak tahu kebiasaan tidur Viona, tetapi ini sudah agak siang. Sebenarnya, ia ingin sekali memberitahu Viona banyak hal tentang Regan. Ia ingin mengajari Viona makanan dan minuman apa yang disukai Regan agar nanti jika ia pergi, Viona bisa mengurus Regan dengan baik. Namun, mungkin tidak hari ini. Viona mungkin terlalu lelah setelah semalam .... Asri tak ingin memikirkannya. Ia mengetuk pintu kamar Viona, tetapi tak ada jawaban. Jadi, ia pun membukanya. "Vio ... kamu harus sarapan," kata Asri seraya melangkah masuk. Kedua mata Asri mengedar ke lantai kamar yang berantakan dengan kelopak-kelopak bunga. Selimut Viona masih dalam posisi berantakan di salah satu ujung ranjang, posisi bantal dan guling tidak pada tempatnya. Ia menelan saliva, ketika tatapannya tertumbuk pada noda kemerahan di seprai putih tersebut. "Mbak ... ngapain di sini?" tanya Viona. Asri menoleh cepat pada Viona. Aroma wangi menguar dari rambut Viona yang basah. Seketika Asri mengepalkan tangannya. Ia lantas menurunkan tatapannya ke perut Viona. Apakah di sana telah terjadi percampuran benih Regan? "Maaf, aku mau ngajak kamu sarapan bareng," ujar Asri. "Oh, ya. Aku ganti baju dulu," ujar Viona seraya berjalan dengan tertatih. Perutnya belum membaik sejak semalam. Asri yang melihat cara berjalan Viona kembali dibuat salah paham. Ia ingat semalam Viona kesakitan dan sekarang Viona pun masih merasakannya. Ia tak tahu seliar apa adegan ranjang Regan dan Viona di sini. Namun, ia tahu hatinya sangat sakit. "Aku tunggu kamu di bawah, ya. Aku ajarin kamu gimana bikin kopi kesukaan Mas Regan," kata Asri. "Ya, Mbak. Maaf, aku kesiangan. Harusnya aku bantuin masak," kata Viona. Asri menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Aku maklum." Viona membungkuk sembari meremas perutnya saat Asri tak lagi ada di kamar. "Ah, perut aku kenapa tumben mules banget. Mana ada kuliah lagi." Dengan bermalas-malasan, Viona pun berganti pakaian. Ia berhenti di dekat ranjang ketika menatap bercak darah haidnya di sana. "Gara-gara pembalut yang dibeliin Pak Regan bukan yang night, jadi bocor. Ngeselin." Viona mencopot seprai itu lalu membawanya ke kamar mandi. Ia tahu di sini ada ART, tetapi ia agak malu karena insiden kebocoran ini. Jadi, ia memutuskan untuk membersihkan bagian bernoda itu lebih dulu sebelum ia memasukkannya ke keranjang pakaian kotor. "Udah jam segini pula, aku harus buru-buru makan terus berangkat kuliah. Kira-kira ... aku boleh nebeng Pak Regan nggak, ya?" Viona melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya benar-benar sudah mepet. Apalagi ia tahu jarak rumah Regan dengan kampusnya cukup jauh. Viona menuruni anak tangga dengan perlahan karena perutnya yang masih mulas. Ia langsung celingukan ke dapur. Aroma kopi membuat ia merasa dua kali lebih bersalah pada Asri. "Mbak, udah bikin kopinya?" tanya Viona. Asri mengangguk. "Besok aja aku ajarin kamu bikin kopinya. Ini ... kesukaan Mas Regan." Viona mengangguk. Ia juga sangat tergoda untuk mencicipi kopi itu. Karena ia sering bekerja hingga larut malam, ia sudah berteman dekat dengan kafein. Ia tak mau mengantuk di kampus karena kurang tidur. "Kamu yakin mau kuliah hari ini? Nggak istirahat aja dulu?" tanya Asri. "Nggak, Mbak. Aku harus ke kampus hari ini." Viona menjawab cepat. "Hari ini ada pelajaran dosen killer. Kalau nggak masuk bakal dikasih tugas tiga kali lipat." "Oh, ya? Emangnya ada dosen kayak gitu?" tanya Asri terheran. Viona mengangguk mantap. Yang ia bicarakan tentu tidak lain adalah Regan. "Ngobrol di kelas aja dihukum tugas dua kali lipat. Telat juga. Aku nggak mau telat apalagi nggak masuk. Aku nggak mau berurusan sama dosen killer itu." Viona mendengar deheman keras dari belakangnya. Ia langsung membalik badan dan mendapati Regan berdiri di dekat meja makan. "Pagi, Mas. Aku buatin kamu kopi," kata Asri menyambut suaminya. Viona membuang napas panjang karena lega Regan tak menegurnya setelah ia membicarakan hal buruk tentangnya. "Ehm, makasih." Regan melempar senyum pada Asri yang baru saja membawakan secangkir kopi untuknya. Ia lalu melirik Viona. Gadis itu tengah mengambil cangkir untuk membuat kopi sendiri. Regan hanya bisa menggeleng karena ia tak sengaja mendengar obrolan Viona dan Asri. "Kamu berangkat bareng Viona, kan?" tanya Asri pada Regan. Regan menyesap kopinya lalu membuang napas panjang. Ia tak ingin pernikahannya dengan Viona terbongkar. "Viona bisa bawa motor." Viona yang baru saja duduk langsung menoleh ke arah Regan. "Saya nggak tahu jalannya, Pak, kalau ke kampus sendiri dari sini." "Kamu bisa buka maps," sahut Regan. "Saya nggak bisa baca maps. Saya pernah nyasar ngikutin saran google maps, nggak bohong, Pak," kata Viona apa adanya. Regan memutar bola mata sementara Asri langsung memberikan anggukan kepala padanya. "Berangkat bareng aja, Mas. Kasihan Vio kalau telat nanti bisa kena hukum dosennya yang killer," ujar Asri. Viona hampir tersedak untuk kedua kalinya. Apalagi tatapan mata Regan begitu tajam saat ini. "Kenapa?" Asri menatap mereka berdua bergantian. "Nggak apa-apa," ujar Regan cepat. Ia mengedikkan dagu pada Viona. "Kamu buruan makan kalau mau bareng." "Oke." Viona menatap pancake yang tersaji di atas piringnya. Ia melirik Asri, wanita itu tak hanya cantik, tetapi juga sangat pandai memasak. Asri pasti adalah istri yang sempurna untuk Regan. Viona sangat menikmati sarapan enak buatan Asri. Ia sampai menggoyangkan kakinya di bawah meja karena rasa enak yang menjalari lidahnya. Bahkan, ia melupakan rasa sakit di perutnya. "Kamu suka?" tanya Asri. "Ya, enak banget, Mbak. Aku nggak bisa masak kayak gini," ujar Viona. "Ini kesukaan Mas Regan, kamu harus belajar bikin ini. Kapan-kapan aku ajari kamu, ya," kata Asri. Viona mengangguk. "Ya." Mendadak, ia merasa kasihan pada Asri. Wanita ini baik sekali dan tak tahu apa-apa. Jika tahu ia hanyalah wanita malam, apakah semuanya akan berubah? Jika tahu ia dan Regan hanya menikah kontrak, apakah nanti Asri akan kecewa? Viona tak ingin memikirkan banyak hal. Tujuannya hanyalah uang dan ia akan mendapatkan itu setelah semua selesai. Ia tidak perlu bersimpati pada Asri atau merasa kasihan. Itu urusan Regan nanti. Viona kini berada di mobil Regan. Ia mengunci bibirnya sepanjang perjalanan ke kampus, begitu juga dengan Regan. "Jangan sampai keceplosan kalau kamu adalah istri saya," kata Regan. Ia menghentikan mobilnya agak jauh dari pintu gerbang kampus. "Kamu turun di sini." "Agak ke depan, dong, Pak. Jauh ini," kata Viona penuh harap. "Saya nggak mau ada orang yang ngeliat kita bareng berangkatnya. Buruan turun!" Viona merengut. Ia tak ingin berdebat dengan Regan. Ia seperti tak mengenali Regan lagi. Semalam, Regan begitu baik membelikannya pembalut dan cokelat. Bahkan menemaninya tidur, tetapi kini Regan kembali menjadi dosen killer yang menyebalkan. "Jangan sampai telat masuk kelas saya," kata Regan sebelum Viona membanting pintu. Viona menghentakkan kakinya di trotoar. "Ngeselin banget! Aduh, sial! Udah jam segini pula." Viona mempercepat langkahnya menuju kampus, sayangnya ia tengah sakit perut. Alih-alih sampai dengan cepat, kedua kakinya malah terasa lemas. Ia benar-benar dalam masalah karena ia sudah hampir terlambat. Ia yakin Regan tengah berjalan menuju kelasnya. Sial, sungguh sial! Viona masih menggerutu dalam hati saat ia memasuki gerbang kampus. Ia setengah berlari menuju gedung fakultasnya. "Hei! Awas! Minggir!" Viona mendongak saat mendengar teriakan. Dilihatnya sebuah tangga besi besar mendadak ambruk ke arahnya. Viona hendak menghindar, ia tahu lokasi itu tengah direnovasi, tetapi semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Viona terdorong ke arah samping, ia mendengar teriakan dan suara-suara keras di sekitarnya. Namun, ia tak bisa melihat apa-apa lagi karena pandangannya langsung menggelap ketika ia menghempas lantai. Satu hal yang Viona sadari, ia pasti sudah terlambat sekali masuk ke kelas Regan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN