Pria yang bernama Muninggar itu hanya tersenyum miring melihat wajah memerah Viona. Ia yakin sekali Viona adalah Gabby, tetapi kenapa Regan berkata bahwa wanita itu bukan Gabby, melainkan istrinya.
"Cepat minta maaf sama istri saya!" gertak Regan lagi.
Muninggar berdehem. Ia mengulurkan tangannya pada Viona karena tak ingin menimbulkan keributan di acara pemeran. "Ya, mungkin saya salah orang. Saya ... minta maaf."
Viona mendengkus. Ia malu sekaligus takut. Namun, rangkulan Regan begitu erat di tubuhnya. Ia merasa sedikit aman dan dilindungi meskipun ia tidak yakin apa yang dirasakan oleh Regan saat ini.
"Sudah saya bilang, jangan sentuh istri saya. Jadi turunkan tangan Anda," ujar Regan.
Muninggar tertawa pelan. "Saya nggak tahu Anda menikahi wanita muda seperti ini. Tapi ... saya tidak berbohong, dia emang mirip wanita yang pernah menghabiskan malam dengan saya."
Viona semakin memerah saja. Demi apa pun ia ingin pergi dari tempatnya berdiri saat ini.
"Tutup mulut Anda!" sergah Regan. Ia menoleh pada Viona. "Kita pergi dari sini. Ayo."
Viona mengikuti langkah Regan meninggalkan lokasi pameran. Ia menoleh dan melihat seringai mengerikan Muninggar. Dadanya bergemuruh, matanya memanas dan ia tak bisa menahan air matanya lagi karena ia takut setengah mati pada pria yang pertama kali merenggut mahkotanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Viona?" tanya Regan begitu mereka tiba di tempat yang sepi. Ia melepaskan tubuh Viona lalu memutar tubuh lemas itu hingga mereka berhadap-hadapan. "Gimana jika ada orang yang mengenal kita berdua dan mereka tahu tentang pernikahan kita? Hah?"
"Saya disuruh Mbak Asri ke sini," jawab Viona. Ia mengusap pipinya yang basah. Ia ingin pulang. Ia bahkan takut menoleh ke pintu masuk gedung ini.
"Apa? Dan kamu menurut? Apa kamu bodoh?" tanya Regan dengan nada frustrasi. "Saya mau kita merahasiakan pernikahan kita, kenapa kamu datang ke tempat umum kayak gini? Beruntung, saya nggak kenal sama pria tadi? Gimana kalau ada yang dengar saya mengakui kamu sebagai istri saya? Dan orang itu mengenal saya?"
Viona menatap lurus Regan. "Apa Bapak ... malu menikah dengan wanita seperti saya?"
"Apa?" Regan mengerutkan keningnya.
Viona mengangguk pelan. "Ya, saya tahu Bapak selalu menganggap saya wanita kotor. Jadi, kenapa dulu Bapak menikahi saya?"
"Vio ... bukannya kayak gitu. Maksud saya ... saya nggak mau ada orang lain yang tahu kalau saya melakukan poligami. Bukan masalah profesi lama kamu ...."
"Udahlah, nggak usah dijelasin. Lain kali ... nggak perlu ngakuin saya kalau saya adalah istri Bapak. Daripada Bapak malu sendiri," tukas Viona. "Saya mau pulang. Di mana saya bisa nyari ojek?"
"Kamu pulang sama saya," kata Regan. Ia menarik lengan Viona lalu membawanya ke mobil. Ia tak tahu apa yang dipikirkan Asri. Seharusnya Asri yang datang, bukan Viona.
Viona memeluk dirinya sendiri di sebelah Regan. Ia masih terbayang-bayang dengan sosok Muninggar yang mengerikan sementara Regan menyetir dengan ugal-ugalan. Ia menahan tangisnya pecah karena tak ingin mendengar lebih banyak hinaan Regan lagi. Itu hanya akan memperburuk mood-nya.
Begitu tiba di rumah, Viona langsung berlari masuk ke kamar. Regan mengikuti di belakang dan disambut oleh Asri yang bertanya-tanya dengan keadaan ini.
"Viona kenapa?" tanyanya.
Regan membuang napas panjang. Ia benar-benar tidak bisa mengerti dengan Asri yang tidak bosan bertanya tentang Viona dan Viona. "Kenapa kamu menyuruh Viona ke pesta?"
"Ya ... aku pikir kalian harus baikan," ujar Asri apa adanya. "Kenapa? Sesuatu terjadi sama Viona?"
"Sayang ... aku mau pernikahan kedua aku dirahasiakan. Aku cuma ... aku ngelakuin ini demi kamu," kata Regan. Ia mencengkeram lembut kedua lengan kurus Asri. "Aku nggak siap memperlihatkan Viona di depan umum. Gimana kalau ... ada yang membicarakan keluarga kita? Aku ini dosen, Sayang. Orang lain akan mencela kalau tahu aku berpoligami."
Asri mendesahkan napas panjang. "Kamu bisa memperkenalkan Viona sebagai kerabat jauh atau ... temen aku. Aku cuma pengen kalian menghabiskan waktu berdua. Aku nggak tahan liat kalian diem-dieman seminggu ini. Dan Viona juga berhak untuk bersama kamu, Mas. Walaupun kamu tutup-tutupi, suatu hari semua orang akan tahu."
Regan menarik tubuh Asri ke pelukannya. "Ini berat buat aku ... asalkan kamu tahu."
Asri menggeleng. "Apa yang terjadi tadi? Viona kenapa?"
Regan mengurai pelukan. Tak mungkin ia mengatakan bahwa Viona baru saja bertemu dengan mantan pelanggannya.
"Bukan apa-apa, kita istirahat aja," kata Regan seraya merangkul Asri.
"Mas, aku harus minta maaf ke Vio. Dia pergi ke sana gara-gara aku," kata Asri. "Dia pasti marah."
Regan membuang napas panjang. Kebaikan hati Asri memang di atas rata-rata. Ia pun mengangguk lalu membiarkan Asri naik ke lantai dua.
Asri mengetuk pintu kamar Viona yang ternyata tidak dikunci, berbeda dengan seminggu terakhir.
"Vio," panggilnya.
Asri masuk ke kamar. Ia melihat tas mungil Viona tergeletak di atas lantai begitu saja. Ia mengambilnya.
"Vio, aku mau minta maaf," kata Asri.
Asri mendekati pintu kamar mandi, ia mengetuk di sana ketika mendengar suara shower yang menyala. Ia memutar sedikit daun pintu untuk melihat Viona. Pintu itu juga tidak dikunci.
"Vio, kamu di dalam?" Asri melongok masuk dan telinganya langsung mendengar isak tangis.
"Viona!" Asri melebarkan daun pintu. Ia masuk ke ruang mandi dan mendapati Viona tengah duduk di bawah guyuran air dingin. "Astaga, apa yang kamu lakukan?"
Asri buru-buru mematikan shower dan mencoba menenangkan tangis Viona.
"Pergi, Mbak ... saya cuma wanita kotor!" seru Viona. "Saya harus mandi ...."
"Apa?" Asri menatap bingung Viona. Ia mengulurkan tangan ke arah Viona, tetapi gadis itu dengan cepat menepisnya berkali-kali. "Viona, kamu jangan begini, nanti kamu masuk angin."
Karena tak bisa dibujuk, akhirnya Asri bergegas keluar dari kamar Viona lalu mencari Regan yang ada di kamar mereka. "Mas! Mas Regan!"
"Ada apa?" Regan yang tengah melepaskan jas pun terkaget. Ia mengira ada sesuatu dengan Asri.
"Viona, Mas! Viona bertingkah aneh di kamar mandi. Dia nggak mau bangun dan mau mandi terus ... aku takut dia sakit."
"Hah?"
"Buruan kamu lihat, dia nangis-nangis, Mas!"
Regan mengangguk. Ia segera berlari ke kamar Viona lalu masuk ke kamar mandi. Sama seperti Asri ia dikagetkan dengan Viona yang tengah berada di bawah guyuran air.
"Viona, ya, ampun!" Regan menarik handuk yang ada di gantungan lalu mematikan shower.
"Jangan! Saya harus mandi, Pak. Saya ... saya kotor banget!" rengek Viona seraya menjulurkan tangan ke pencetan shower.
Regan menurunkan tangan Viona lalu menyelimuti tubuh gadis itu dengan handuk. "Berhenti mandi!"
Viona menggeleng. Ia menangis di dekapan Regan. "Saya kotor ... saya kotor ...."
"Nggak, jangan bicara kayak gitu. Ayo bangun, kita ganti baju kamu," kata Regan. Ia membopong tubuh Viona lalu membawanya ke ranjang. Karena Viona masih memakai gaun pesta—yang kini basah kuyup—dan sepatu, pasti Viona sangat kedinginan.
Regan melepaskan sepatu hak tinggi Viona lalu mengambil baju tidur Viona dari lemari. Tangis Viona masih menjadi dan ia sangat gemetaran hingga Regan cemas Viona akan pingsan.
"Ayo ganti baju dulu."
Regan membuka handuk yang menyelimuti Viona, ia dengan cepat melepaskan pakaian basah Viona lalu memakaikan baju kering.
"Ayo pakai baju yang ini, kamu bisa sakit kalau kedinginan," ujar Regan.
Aksi Regan berhasil membuat Viona berhenti menangis. Viona yang malu pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Regan. Ia baru saja memasukkan pakaian basah Viona dan handuknya ke keranjang kotor di kamar mandi. Ia lantas menyelimuti tubuh Viona.
Viona terdiam selama beberapa saat. Ia memejamkan mata saat teringat dengan sosok Muninggar lagi. "Pria tadi ... adalah pria pertama ... pelanggan pertama saya."
Kedua mata Regan melebar. "Apa?"
"Sejak hari itu ... Om Beni selalu menyuruh saya tidur dengan pria-pria lain, tapi ... pengalaman pertama saya ... mengerikan," ungkap Viona.
Regan beringsut ke atas ranjang. Ia berbaring di sebelah Viona yang gemetaran, mungkin karena dingin atau mungkin karena takut.
"Saya tahu ... saya cuma wanita kotor. Saya nggak berharga ... saya cuma bisa bikin malu Bapak," ujar Viona. "Harusnya ... saya nggak datang ke pesta tadi ...."
Regan membuang napas panjang. Ia mengulurkan tangannya ke pipi Viona.
"Saya nggak pernah ... punya cita-cita untuk jadi gadis malam ... saya nggak pernah bangga menjadi gadis malam, Pak ... saya nggak bohong. Saya nggak pernah godain pria-pria di luar pekerjaan saya ... saya tahu, saya sangat kotor ...."
"Kamu istri saya," potong Regan.
Kedua mata Viona yang basah bertemu tatap dengan mata sayu Regan.
"Kamu istri saya. Lupakan masa lalu kamu. Kamu sudah berhenti menjadi gadis malam, jadi ... jangan berpikir seperti itu lagi," kata Regan. Ia mengikis jarak di antara mereka. Tangannya dengan erat memeluk tubuh gemetar Viona.
"Saya istri yang memalukan."
Regan menggeleng pelan. "Itu bukan kemauan kamu, saya tahu. Ingat saja ... kamu adalah istri saya. Kamu bukan gadis malam. Lupakan semuanya."
Viona kembali meneteskan air mata. "Saya nggak tahu caranya ... gimana bisa lupa. Itu kayak mimpi buruk yang menghantui saya."
Regan membelai pipi Viona yang basah lalu dengan lembut, ujung jempolnya mengusap bibir pucat Viona.
"Saya akan bikin kamu lupa," ujar Regan sebelum ia mencium bibir Viona. Dengan lembut, ia melumatnya.
Viona terlalu terkejut, ia tak membalas ciuman Regan.
"Kamu istri saya, Vio." Regan membisikkan kata itu lagi. "Saya pasti akan membuat kamu melupakan masa lalu mengerikan kamu."
Regan kembali mencium bibir Viona. Dan kali ini, Viona membalas lumatan bibir Regan.