"Mas, Viona marah kenapa?" tanya Asri pada Regan.
Suaminya itu baru saja turun dan memberitahu bahwa Viona mengunci kamarnya. Asri yang tengah menyiapkan makanan di atas baki pun hanya bisa membuang napas panjang.
"Aku ...." Regan tak tahu harus mengatakan apa pada Asri. Ia tak ingin Asri tahu bahwa Viona adalah gadis malam. "Aku tadi ninggalin dia di pinggir jalan. Dia telat masuk kampus jadinya dan ... dia kecelakaan."
Asri terduduk dengan lemas. "Kenapa kamu tega, Mas? Dia ketabrak mobil atau gimana?"
"Ketimpa tangga besi di lokasi konstruksi," jawab Regan. Ia ikut-ikutan duduk di sebelah Asri lalu ia merangkul bahu istrinya. "Nanti aku minta maaf sama Viona. Jangan dipikirin, ya."
"Mas! Kamu itu keterlaluan!" gertak Asri. "Ini momen kalian jadi pengantin baru. Bukannya semalam kalian baru menikmati malam pertama, harusnya kalian nggak berantem begini."
"Apa? M-Malam pertama?" Regan justru terkesiap dengan ucapan Asri.
Asri memalingkan wajahnya yang merah padam. Hatinya bergemuruh ketika ingat rintihan Viona juga bercak darah di seprai Viona.
"Sayang ... aku sama Viona ...."
"Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Mas." Asri mencoba menenangkan hatinya. Ia tersenyum pada Regan lalu menyentuh lembut d**a sang suami. "Ini yang aku inginkan. Kamu sama Viona emang harus ngelakuin itu."
Regan mengernyit. Entah dari mana asri berpikir bahwa ia telah melakukan malam pertama dengan Viona.
"Viona gadis yang sempurna, dia cantik banget dan dia masih muda, sehat dan ... jangan lama-lama berantemnya. Mungkin ... kamu perlu bujuk dia terus, Mas. Malam ini ... kamu temenin Viona lagi, ya. Dia pasti nggak bakalan marah kalau kamu kasih perhatian lebih."
"Kamarnya dikunci, Sayang," ujar Regan dengan nada frustrasi.
"Ada kunci cadangannya, tenang." Asri mencoba terus tersenyum. "Kamu anterin makanan Viona, ajak dia mandi bareng, kamu suapi dia dan suruh dia minum obat."
Regan ingin menggeleng pada Asri. Sentuhan Asri di dadanya begitu lembut sementara tatapan Asri sangat menuntut.
"Istri kamu baru ngambek, kamu harus baik-baik sama dia," kata Asri lagi.
Kedua mata Regan memanas. Semuanya benar-benar terasa memusingkan saat ini. "Kenapa kamu bisa bicara kayak gitu? Seolah ... kamu beneran ... ingin aku sama Viona?"
Asri mengusap pipi Regan yang basah. "Tentu aja aku mau kamu kayak gitu. Kamu berhak bahagia, Sayang. Sebentar lagi ... kamu pasti bisa mendengar tangis bayi kamu sendiri, memeluk bayi kamu dan ... itu adalah keinginan terbesar aku."
Regan membelai belakang kepala Asri yang tertutup scraf hitam pekat. Ia menggeleng perlahan.
"Udah, buruan kamu ke kamar Viona. Aku ambilin kuncinya."
Regan mendesahkan napas panjang ketika Asri berdiri. Wanita itu mengambil kunci cadangan di kabinet atas dapur dengan tangan gemetar. Namun, di depan Regan ia tetap tersenyum.
"Urus dan temani istri kamu malam ini, Mas."
Regan menuruti ucapan Asri malam itu. Ia membuka pintu kamar Viona dengan kunci cadangan lalu membawa baki berisi makanan.
"Vio," panggil Regan.
Viona telah membaringkan dirinya di ranjang. Gadis itu sangat kaget karena mendengar suara pintu terbuka. Dan ia langsung merasa bodoh. Seharusnya ia mengunci kamar dengan gerendel bukan hanya anak kunci. Di balik selimut ia berpura-pura tetap memejamkan matanya.
"Saya bawakan kamu makanan," kata Regan. Ia meletakkan baki di atas nakas. "Kamu nggak bisa tidur kayak gini."
Regan duduk di tepi ranjang Viona. Disentuhnya kepala Viona hingga gadis itu langsung menegang.
Regan membelai pelan di puncak kepala Viona sembari mengingatkan diri bahwa Viona ini adalah istrinya. Ia harus meminta maaf dan memperlakukan Viona sebagaimana mestinya.
"Asri udah siapin makanan buat kamu, makan dulu. Kamu juga belum mandi," kata Regan.
Ia menepis ucapan Asri yang memintanya untuk mandi bersama Viona. "Makan dulu sama mandi, baru tidur. Kamu juga harus minum obat. Luka kamu pasti nyeri sekali."
Regan benar. Saat ini kepala Viona terasa berdenyut. Begitu juga dengan kakinya.
"Ayo, Vio. Bangun dulu, saya tahu kamu nggak tidur," kata Regan yang merasakan napas memburu Viona dari gerakan di bawah selimut itu.
"Kamu mau bangun sendiri atau harus saya yang membuka selimut kamu?" tanya Regan.
Regan tak tahan lagi, ia menarik ujung selimut. Namun, tarikannya berujung pada balasan dari Viona. Keduanya saling tarik-menarik.
"Kamu jangan keras kepala, saya sudah minta maaf," kata Regan.
Viona masih cemberut saat ia membuka selimut. Ia langsung bertemu tatap dengan Regan.
"Saya nggak laper," ujar Viona bohong.
"Tetap aja, kamu harus makan dan minum obat." Regan mengedikkan dagunya ke arah nakas. "Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Kamu mau saya suapi?"
Viona melotot. "Saya bisa sendiri. Bapak keluar aja."
Regan memutar bola mata. "Saya temani kamu makan."
"Nggak perlu!"
"Saya hanya ingin memastikan kamu makan. Kamu juga harus mandi."
Viona semakin mengerucutkan bibirnya. "Saya nggak mau mandi, badan saya meriang."
Regan sontak mendaratkan tangannya di kening Viona. Benar, gadis ini sedikit demam.
"Ya udah, kamu langsung makan aja. Terus minum obat." Regan mengambil piring berisi nasi dan lauk.
"Saya bisa sendiri," kata Viona. Ia mendudukkan dirinya, menahan pusing yang mendera lalu mengambil piring dari tangan Regan.
Regan menunggu Viona hingga makan beberapa suapan. Ia menuangkan air putih dari teko kecil ke gelas.
"Saya beneran minta maaf," ujar Regan.
Viona berhenti mengunyah. Ia menelan dengan susah payah, tetapi enggan menerima gelas berisi air putih dari Regan.
"Bapak nggak perlu minta maaf. Bukan salah Bapak mikir kayak gitu. Semua gadis malam ... pasti sama aja di mata Bapak. Murahan dan cuma bisa jadi penggoda," kata Viona.
Regan mengepalkan tangannya. Ia sudah mencoba meminta maaf pada Viona, tetapi gadis ini sungguh keras kepala.
"Saya nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Itu karena ... kamu dekat sekali dengan dua cowok tadi."
"Udah saya bilang, kami teman."
Regan mengangguk. Ia tahu Viona belum mau memaafkannya. "Saya siapkan obat kamu, nanti diminum."
Viona mengangguk. Ia berharap sekali agar Regan keluar dari kamarnya. Namun, hingga ia selesai makan dan minum obat, Regan masih di sini.
Sama seperti tadi malam, Viona berpura-pura tidur agar Regan segera keluar. Ia bernapas lega karena usahanya berhasil. Ia mendengar langkah Regan menjauh lalu pintu kamar ditutup dari luar. Kembali, Viona sendirian di kamar itu.
***
Selama seminggu, ketegangan di antara Regan dan Viona masih berlanjut. Viona selalu mengunci pintu kamar dengan gerendel setiap malam. Viona juga memakai ojek online untuk berangkat dan pulang dari kampus.
Sementara Regan yang memiliki ego tinggi, merasa sudah cukup meminta maaf pada Viona. Ia sudah lelah dengan sikap mengambek Viona.
Hal itu tak luput dari pengamatan Asri. Ia sangat resah karena hubungan Regan dan Viona tidak seperti yang ia harapkan.
Jadilah sore itu ia berencana melakukan sesuatu.
"Viona," panggil Asri seraya mengetuk pintu kamar Viona.
"Ada apa, Mbak?" tanya Viona. Ia membuka pintu untuk Asri.
"Kamu ada acara malam ini?" tanya Asri tersenyum.
"Nggak ada, Mbak. Mau ngerjain tugas dari dosen killer," jawab Viona dengan nada geram. Ini yang membuat ia semakin kesal pada Regan. Bisa-bisanya pria itu memberinya tugas dobel karena ia tidak hadir di kelas, padahal Regan tahu ia sakit.
"Ehm ... malam ini temenin aku ke pesta, yuk."
"Pesta?" Viona terkesiap.
Asri mengangguk. "Aku dandanin kamu, ya. Aku udah siapin gaun yang cantik buat kamu juga."
"Ehm ... tapi ...." Viona tak kuasa menolak karena Asri sudah membuka pintu kamarnya dan membawa satu kotak besar berisi alat make-up.
"Ini pestanya di mana?" tanya Viona saat Asri mulai mendandani wajahnya.
"Di gedung serbaguna Prima Mentari, ada acara pameran lukisan sama pesta. Lumayan jauh, tapi aku udah minta sopir buat anterin kamu," kata Asri.
Viona mengerutkan keningnya. "Anterin aku? Katanya ... aku harus temenin mbak. Ini ... aku sama siapa ke sana?"
Asri tersenyum. "Mas Regan pasti udah ke sana."
Viona menurunkan tangan Asri dari pipinya. "Aku nggak mau pergi."
"Pergi aja, bilang kalau aku yang nyuruh kamu ke sana."
Viona menggeleng. "Nggak mau, Mbak. Nanti dia marah kalau tiba-tiba aku ada di sana."
"Nggak bakal. Kalau tahu aku yang nyuruh kamu ke sana, pasti dia nggak marah." Asri kembali memoles wajah Viona. "Udah cukup kalian marah-marahan. Kalian harus baikan dan malam ini ... kamu bisa bersenang-senang sama Mas Regan."
"Mbaakk ...." Viona mulai merengek.
"Kamu cantik, Vio. Kamu cantik banget." Kedua mata Asri menari, memandang wajah cantik madunya. "Kamu tahu kamu harus segera melahirkan bayi Mas Regan. Waktu aku mungkin nggak lama lagi dan aku pengen ... aku pengen liat Mas Regan gendong bayinya yang lucu. Ehm ... kamu cantik dan Mas Regan ganteng. Anak kalian pasti sempurna banget."
Viona membuang napas panjang. Yah, ia dibayar untuk itu. Ia harus melahirkan bayi Regan secepatnya.
"Sekarang, kamu pakai baju itu dan pergi ke sana, ya. Susul Mas Regan."
Viona mengangguk. Ia mengenakan gaun cantik dengan bahu terbuka yang membuat ia terlihat begitu indah dan menawan. Asri sangat puas mendandani Viona malam ini. Ia berharap ketegangan di antara Viona dan Regan akan berakhir malam ini juga.
***
Viona benar-benar tiba di lokasi pesta. Ia masuk dengan kartu undangan milik Asri lalu mulai melihat-lihat lukisan. Ia sudah tahu lokasi pestanya, tetapi ia agak malu ke sana karena ia tak tahu bagaimana reaksi Regan jika melihatnya.
Mungkin terkejut dan mungkin akan segera mengajaknya pulang karena tak ingin ada gosip tentang hubungan mereka. Mungkin Regan akan berbohong tentang siapa dirinya di depan semua orang.
"Gabby?"
Viona menegang ketika ia mendengar nama samarannya disebut. Ia berusaha untuk tidak menoleh pada pria yang memanggilnya.
"Kamu ... gadis itu, kan? Gabby?" Pria itu tertawa dan mencolek lengan Viona.
"Saya bukan Gabby." Viona mundur dari si pria. Ia mengenali sosok itu. Pria yang pernah ia temui di kamar hotel. Pria itu begitu liar, ia tak bisa melupakan malam mengerikan itu. Kedua tangan Viona mencengkeram tas dengan erat.
"Saya tahu, kamu adalah Gabby. Apa kamu punya waktu malam ini? Saya ... menginginkan kamu, saya bisa bayar kamu ...."
"Saya bukan Gabby! Anda salah orang!" teriak Viona seraya mundur karena pria itu mulai menyentuh pipinya.
"Jangan sentuh istri saya!"
Viona dan pria itu menoleh bersamaan pada Regan yang tiba-tiba muncul. Viona terkesiap, Regan merangkul pinggangnya dan mengikis semua jarak di antara mereka.
"Istri?" Pria itu tertawa pelan. "Dia cuma ... dia wanita malam."
"Bukan!" gertak Regan. "Jangan bicara sembarangan! Anda sudah salah orang! Silakan meminta maaf sama istri saya sekarang juga!"