Bab 9. Sedikit Overthinking

1092 Kata
Walaupun banyak customer datang secara bergantian, akan tetapi Ayna tetap salah fokus dengan customer pertama. Kata demi kata yang wanita itu tulis sangat manis, membuat pria manapun yang menerima pasti akan bahagia. Sialnya Ayna kefikiran nama pria yang wanita itu tulis. Oke, nama Varrel memang bukan milik suaminya saja, tetapi tetap saja Ayna kefikiran. Saking asiknya memikirkan nama itu Ayna tidak fokus memperhatikan pelanggan lainnya. Tidak ingin mengacaukan Ayna memilih melipir menghampiri Rania yang sedang bermain boneka. “Buna.” “Iya, sayang. Maaf ya daritadi Buna tinggal. Adik udah mainnya? Kita pulang yuk? Buna mau masak, nanti juga kita mau jemput Abang sama antar makan siang untuk ayah.” Rania berdiri, pindah duduk menjadi dipangkuan Ayna. Kedua tangan mungil Rania memeluk leher Ayna dengan erat. “Ayo, Buna, pulang. Adik mau pulang.” Ayna mengangguk-anggukan kepalanya. Diturunkannya kembali tubuh Rania karena dia ingin mengambil tas serta kunci mobil yang ada di meja. Tidak ingin meninggalkan anaknya sendiri, Ayna pun mengajaknya. Diambilnya tas, ponsel, serta kunci mobil. Setelah itu Ayna pamit kepada para karyawannya. “Mbak Ayna, hati-hati ya.” Della melambaikan tangannya. Lambaian tangan itu Ayna dan Rania balas sebelum keduanya benar-benar ke luar dari dalam toko. Ayna membuka pintu, memasukan Rania ke dalam setelah itu dia menyusul masuk. Mobil Ayna perlahan meninggalkan area toko. “Buna, Adik mau … ice cream?” Rania menatap Ayna penuh harap. “No. kemarin pas di rumah Nenek sama Kakek kamu udah banyak makan ice cream, permen, cokelat. Engga, ngga boleh. Kalau mau jajan yang lain,” tolak Ayna tegas. Untuk masalah kesehatan Ayna memang harus tega kepada anaknya. Dia bukan Salwa atau Anggun yang selalu menuruti. Bibir mungil Rania cemberut. Tetapi akhirnya dia terkekeh kalau apa yang Ibunya katakana memang benar. Otak mungilnya baru ingat kalau dia sudah banyak makan makanan manis saat di rumah Kakek Neneknya. Tapi namanya anak kecil, tetap saja dia ingin lagi. Sekilas Ayna melirik putrinya yang kembali cemberut. Bagi Ayna lebih baik melihat anaknya nangis atau marah daripada harus terus menuruti keinginannya. Sebelum kembali ke rumah Ayna mampir ke supermarket untuk membeli daging. Karena hari ini Ayna mau buat steak yang simple. “Kamu mau beli apa? Beli kue aja ya?” tanya Ayna ketika keduanya sudah masuk ke dalam supermarket. Rania menggelengkan kepalanya. Setelah genggaman tangannya terlepas gadis kecil itu berlari menuju rak makanan ringan. Ayna hanya mengikuti dari belakang, dia juga tidak mengeluarkan suara saat anaknya berhenti di rak yang berisi cokelat serta permen. Lewat ekor mata Rania melirik Ayna yang berdiri di sampingnya. “Engga ada permen, ngga ada cokelat. Kalau mau beli ciki atau roti,” kata Ayna. “Satu?” “Sekali Buna bilang engga ya tetap engga, Adik. Cari jajanan yang lain ayo.” Ayna meraih tangan Rania, mengajaknya pindah tempat. Karena kalau tidak pindah proses negoisasi sulit untuk selesai. Tidak bisa membantah, akhirnya Rania manut apa kata Ibunya. Ayna berjongkok, membantu memilihkan beberapa biscuit, roti, serta wafer ke dalam trolli. Ayna menoleh ke arah Rania seraya bertanya, “mau apa lagi Adik? Buna mau ambil daging habis ini.” “Yogurt?” Untuk kali ini Ayna mengangguk. Rania bertepuk tangan saking senangnya. Dia pun kembali berlari meninggalkan Ayna menuju kulkas. Buru-buru Ayna menyusul takut kehilangan jejak anaknya. Tepat di depan kulkas Rania berdiri, tatapannya tertuju ke atas di mana yogurt berada. Ayna langsung mengambil dua sekalian untuk Alaska. Soal jajanan sudah selesai, kini gentian Ayna yang mencari bahan masakan. Takut anaknya kabur, Ayna menaikkan Rania ke atas trolli. “Gini kan enak,” kata Ayna. *** “Cucu Oma sayang.” “Omaa!” Sesuai tebakan Ayna. Mobil yang terparkir di depan benar-benar milik Anggun. Membiarkan Anggun dan Rania berpelukan, Ayna memilih ke dapur untuk menaruh semua belanjaan. Setelah itu baru dia menyusul ke ruang tamu. “Aaa, jangan! Adaik, no, no! No ice cream for now. Sini ice creamnya Ibu simpan.” Dengan Gerakan cepat Ayna mengambil Ice cream dari tangan putrinya. Tanpa fikir panjang dia kembali berlari ke dapur memasukan ice cream it uke dalam kulkas. Anggun yang memberi merasa tidak enak kepada cucunya. Apalagi melihat Rania terdiam sambil menggosokkan kedua tangannya. Tidak menangis memang, tetapi tetap saja wajahnya memelas. Nenak mana yang tega melihat cucunya sedih? Tentu tidak ada. “Kenapa sih, Na? kasih aja, kasihan loh,” ujar Anggun saat Ayna sudah kembali ke ruang tamu. Jika dulu dia garda terdepan untuk membela anak, kini dia garda terdepan membela cucu. Ayna yang tetap pada pendirian menggelengkan kepalanya. “Beberapa hari yang lalu Rania udah banyak makan makanan manis, Bunda. Bunda tau sendiri kalau anak-anak udah di rumah mama gimana. Aku ngga mau mereka sakit, aku juga ngga mau mereka kecanduan.” Prinsip orangtua yang tidak bisa dibantah. Kalau sudah begini Anggun tidak bisa ikut campur. Karena setiap tindakkan pasti ada alasan. Anggun mengangkat tubuh Rania, mendudukkannya di atas pangkuan. Gadis kecil itu masih bungkam, dengan gemas Anggun memeluknya. “Oh, iya, Na, Bunda boleh tanya? Emangnya kamu ketemuan lagi sama Wildan? Tadi Allysa cerita sama Bunda, dia juga sempat bilang mau udahan sama Wildan. Itu gimana ceritanya?” tanya Anggun tanpa melepaskan pelukannya pada Rania yang sedang menatap lekat Ayna. Ah, ternyata berita itu sudah menyebar ke mana-mana. Tubuh Ayna bersandar ke sanggahan sofa lalu menjawab, “itu Cuma salah paham, Bun. Iya aku emang sempat ketemu sama Wildan, tapi kita bahas soal kak Allysa, bukan hal lain. Aku bahas soal keinginan kakak yang mau gugat Wildan. Tadi juga di sekolah aku ketemu Wildan, kita bahas soal itu lagi. Dan Wildan rencananya besok mau ada kumpul keluarga. Bun, dia mau berubah, diam au pertahanin rumah tangganya sama kak Allysa. Mereka harus fikirin Rena.” Penjelasan yang Ayna utarakan tidak sepenuhnya salah. Lagipula memang Anggun tidak ingin anaknya cerai. Tadi pun dia sudah menasihati anak sulungnya itu. Rania yang awalnya dipangkuan Anggun pindah, merangkak naik ke pangkuan Ayna. “Kamu benar, Na, mereka harus mikirin Rena. Bunda juga udah nasihatin Allysa buat jangan ambil keputusan dalam kondisi emosi. Tapi dia ngga jawab apa-apa. Kalau memang Wildan mau berubah, itu sangat bagus.” “Semoga aja semua berjalan dengan lancar, Bun. Aku juga ngga mau ribut sama Varrel, kita sama-sama capek sama drama ini. Oh, iya, Bun, aku tinggal masak gapapa? Aku mau bikin steak buat antar ke kantor Varrel. Aku takut ngga keburu takut telat jemput Alaska. Aku titip Rania ya?” Dengan senang hati Anggun mengiyakan. Wanita itu bangkit dari duduknya, mengambil alih Rania dari Ayna lalu mengajaknya bermain. Ayna lega, kedatangan Anggun setidaknya membuat Rania ada teman bermain. “Buna ambilkan yogurt punya Adik.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN