Selama diperjalanan menuju sekolah keributan demi keributan terus saja terjadi di dalam mobil. Tidak lain tidak bukan pelakunya adala Alaska dan Rania. Seolah tidak bisa duduk tenang, ada saja yang mereka ributkan. Padahal duduk keduanya sudah di pisa ada yang di depan dan belakang, tapi sekarang dua-duanya ada di belakang entah sedang rebutan apa.
Keributan kedua anaknya tidak Ayna hiraukan, dia juga tidak ada niat memisahkan. Karena mau dipisahkan seperti apapun tidak aka nada hasilnya. Alhasil Ayna hanya memperhatikan dari kaca atas.
Perjalanan dari rumah menuju sekolah terbilang macet, tapi untungnya tidak terjebak lama. Setelah menempuh selama tiga puluh menit kini mobil Ayna masuk ke dalam area sekolah. Situasi sekolah sudah cukup ramai mengingat sebentar lagi bel akan berbunyi.
“Hey anak-anaknya Ibu. Yaampun, apa sih yang kalian ributin dari tadi? kita udah sampai loh abang, ayo dipakai tasnya,” ujar Ayna melerai perdebatan. Kedua anaknya menoleh, lalu menatap ke arah jendela. Tanpa berlama-lama lagi Alaska mengambil tas, lalu memakainya.
Ayna turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk kedua anaknya. Setelah anaknya turun semua dia menggandeng keduanya di kanan dan kiri. Beberapa sapaan Ayna dapati dari wali murid yang juga mengantar. Tepat di depan kelas, Ayna tidak sengaja papasan dengan Wildan.
“Kamu yang antar Rena, Dan? Kak Allysa?”
“Ayna di rumah, Na,” jawab Wildan seadanya. Karena memang begitu faktanya. Walaupun awalnya istrinya kekeh ingin mengantar, tetapi pada akhirnya dia luluh juga.
Mendengar itu Ayna mengangguk-anggukan kepalanya. “Soal pesan yang tadi gimana?”
“Mending kamu antar Alaska masuk dulu, Na. Rena biar sama aku nunggu di bangku. Itu juga yang mau aku bicarain sama kamu.”
Lagi-lagi Ayna mengangguk. Dirainya tangan Alaska, lalu ibu dan anak itu masuk ke dalam kelas. Sedangkan Wildan, dia mengajak Rania duduk di bangku taman. Tidak ada penolakan dari Rania, karena sebelumnya mereka sudah saling kenal. Di dalam kelas, Ayna melihat sang keponakan tengah termenung di kursinya.
“Buna ke Rena, ya?” Setelah meminta izin kepada anaknya Ayna menghampiri gadis berkuncir kuda yang sedang duduk termenung.
Perlahan tubuh Ayna berjongkok, meraih kedua tangan mungil Rena. Melihat Rena mengingatkan Ayna kepada Rania. Mereka mirip, hanya beda usia. “Rena kenapa sedih?”
Kepala Rena terangkat, menatap lekat Ayna yang berjongkok di depannya. “Aunty Ayna.”
“Iya, sayang, ini Aunty. Rena kenapa?”
“Kenapa ya mama sama papa bertengkar terus? Tadi Rena liat mereka bertengkar.”
Hati Ayna seketika mencelos mendengar jawaban Rena. Anak sekecil Rena harus didewasakan oleh keadaan. Ini lah yang membuat Ayna tidak mau kalau kakaknya bercerai dengan Wildan. Karena korbannya bukan mereka, tetapi Rena. Ayna memeluk tubuh mungil Rena, yang dibalas gadis itu. sedangkan di depan, Alaska yang melihat Ibu dan sepupunya berpelukan hanya bisa diam tanpa tahu mau melakukan apa.
“Mama sama papa kamu itu ngga bertengkar, sayang. Mereka hanya ada masalah sedikit, Rena ngga boleh sedih, Rena harus fokus sekolah. Percaya sama Aunty, mereka baik-baik aja,” ujar Ayna. Masalah yang Rena hadapi pernah dia alami dulu. Bedanya hanya di usia. Ayna yang mengalami di usia dewasa saja trauma, apalagi anak sekecil Rena?
Air mata Rena jatuh, pelukannya semakin erat pada tubuh Ayna. Ayna yang tidak tahu mau bicara apa lagi hanya bisa memeluk untuk menenagkan.
Berbeda dengan di kelas, sedangkan di taman Rania banyak berceloteh dengan Wildan. Sesekali anak itu tertawa, apalagi saat Wildan menggelitiki pinggangnya. Jika tidak ada tragedy antara dirinya dengan Allysa, mungkin Rania adalah anaknya dengan Ayna. Tapi tidak, Wildan tidak mau lagi berfikiran seperti itu.
“Nia udah sekolah belum? Kalau Abang sekolah Nia di rumah sama siapa?” tanya Wildan, memeluk erat tubuh Rania yang duduk di pangkuannya.
“Adik sama Buna.”
Jawaban yang sudah bisa ditebak. Wildan terkekeh mendengarnya. Sesekali Wildan menatap keseliling, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan Ayna. Sebetulnya sedang apa wanita itu di dalam kelas? Karena takut terjadi sesuatu Wildan berniat untuk menyusul. Namun baru mau menggendong Rania tiba-tiba Ayna datang, duduk di sampingnya.
“Aku cariin kalian tadi, ternyata di sini. Aku piker duduk di kursi depan kelas,” kata Ayna yang baru saja duduk. Hampir saja dia suuzon kepada Wildan kalau pria itu membawa anaknya pergi.
“Ngga enak ngobrol di sana, Na. gapapa ‘kan di sini? Sebentar aja, ngga akan lama karna aku juga mau pulang.”
Sebelum melanjutkan obrolan Ayna mengambil Rania dari pangkuan Wildan. Dia menyuruh anaknya main agar tidak bosan. Beruntung anak itu manut dan langsung berlari. Setelah memastikan anaknya bermain Ayna menatap Wildan menunggu penjelasan pria itu. wajah Wildan terlihat serius, itulah yang membuat Ayna semakin penasaran apa langkah yang akan pria itu ambil.
“Besok malam aku ada niat buat kumpul keluarga. Aku mau buktiin ke Allysa kalau omongan tadi pagi itu sungguhan. Nah, apa kamu tau, Na? ternyata Allysa ngeliat kita waktu di kafe.”
Ayna mengangguk seraya menjawab, “aku tau itu. aku tau dari Varrel. Kak Allysa ke kantor Varrel, kasih foto kita berdua. Aku sama Varrel juga sempat berantem karna salah paham itu. terus gimana? Apa yang bisa aku bantu?”
“Bantu jelasin kalau pertemuan kita beberapa hari itu memang murni bahas soal dia dan tekad aku buat berubah. Kamu juga bisa ajak Varrel besok.”
Bukan ide yang buruk. Ayna mengangguk mengiyakan. “Kamu atur aja, aku sama Varrel bakal dating kok. Sambil nunggu besok, sebisa mungkin kamu tetap yakinin kak Allysa. Semoga rencana ini berjalan lancar ya? Aku kasihan sama Rena, tadi dia nangis, katanya liat kalian ribut.”
Kening Wildan mengerut. Anaknya melihat dan mendengar? Sungguh, dia tidak menyadari itu sama sekali. Pasalnya selama di jalan anaknya diam bahkan mau diajak ngobrol. Kalau sudah sepanjang ini Wildan benar-benar bertekad untuk berubah, dia tidak mau mengorbankan anaknya.
***
Setelah mengantar Alaska, merancang rencana dengan Wildan, Ayna memilih mampir ke toko bunga miliknya sebelum pulang. Iya, Ayna mempunyai sebuah toko bunga. Awalnya Varrel tidak memberi izin, tetapi berdalih supaya ada kegiatan, akhirnya diperbolehkan. Itu semua terjadi sebelum Rania lahir. Tapi setelah ada Rania, Ayna menyerahkan toko kepada karyawannya.
“Selamat pagi, mba Ayna.”
“Pagi Della. Kalian baru buka atau gimana?”
Wanita bernama Della itu menganggukkan kepalanya. “Belum lama sih, Mbak, baru dua puluh menit.”
Ayna masuk ke dalam, melihat semua bunga yang ada di dalam tokonya. Semua masih baru karena memang baru kemarin dia mengisinya. Sedang asik melihat, ada customer datang. Kebetulan sudah lama tidak melayani Ayna pun mengambil alih pekerjaan karyawannya.
“Selamat pagi, Kak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ayna dengan sopan. Senyum wanita itu juga terus terukir di bibirnya.
Wanita cantik yang baru saja masuk itu mendekati Ayna. “Saya mau pesan bucket bunga mawar bisa? Tapi untuk hari ini juga.”
“Sangat bisa, Kak. Tapi apa Kakak berkenan menunggu? Saya akan merangkainya terlebih dahulu. Kalau ada notes, silahkan ditulis dulu aja.”
Wanita itu mengangguk, mengambil kertas dan pulpen yang Ayna berikan. Selagi wanita itu menulis, Ayna dibantu Della mulai merangkai. Sedangkan Rania, anak itu sedang bermain dengan Winda. Sesekali Ayna melirik wanita di depannya. Wajah wanita itu terlihat sangat baagia, senyum manisnya juga terus teruklir. Dalam ati Ayna jadi menebak kalau bunga ini untuk kekasih wanita tersebut.
“Mbak ini pesannya.” Wanita itu menyerahkan kertas kepada Ayna.
Sekilas Ayna membacanya sebelum dia ketik ulang untuk di print. Akan tetapi, Ayna dibuat salah fokus dengan nama yang tertera.
Varrel F?
***