Bab 1. Cerai?
"Astaga, ya Allah, lama-lama Ibu kena baby blues lagi ini!"
Suara teriakan plus tangisan yang sejak tadi menggema perlahan berhenti. Sambil berdecak pinggang Ayna berjalan ke arah ruang tamu, sumber di mana sura-suara itu berasal. Ternyata memang benar, menjadi Ibu ujiannya selalu saja ada. Jika sebelumnya lelah karena di fase bayi, kini kepalanya dibuat sakit karena anaknya sangat aktif.
"Ayo berantem lagi, rebutan, teriak-teriak. Ayo coba Ibu mau liat." Masih dengan wajah frustasinya Ayna menatap dua anak kecil di depannya. "Kamu juga, Bang, kenapa sih Adiknya dibikin nangis terus? Lebih baik kamu belajar jangan mentang-mentang libur jadi banyak alasan," sambungnya.
Tidak ada sahutan, Ayna menghela napas sambil menggaruk-garuk dahinya. Semenjak punya anak emosi Ayna memang mudah terpancing apalagi kalau anaknya sudah berantem. Ayna Khallisa Aurellia, ibu rumah tangga dengan dua orang anak itu menatap satu per satu anaknya.
"Ada apa, sih? Masih pagi loh, kenapa marah-marah?"
"Ayahh!"
Bak anak ayam, kedua anak itu berlari memeluk kedua kaki sang ayah. Ayna mencibir, seolah kehadirannya tidak kasat mata. Mana ada salah satu anaknya mendekat tadi? Tidak ada!
Varrel berjongkok, memeluk putra dan putrinya. "Adiknya diapain, Alaska?"
"Aku ngga apa-apain, Ayah, tapi emang Rania aja yang cengeng. Aku cuma ambil remot padahal," jawab Alaska, menatap wajah Varrel. Anak laki-laki itu berusaha meyakinkan sang ayah kalau dia bukan sumber masalahnya.
Tangan Varrel terulur, mengusap pucuk kepala Alaska. Kini tatapan pria itu beralih ke anak perempuannya. "Rania kenapa nangis, Nak? Iya gara-gara remot televisinya diambil Abang?"
"Abang!"
Ayna yang kini menjadi pendengar hanya bisa diam. Dia mendengari pembelaan demi pembelaan yang anaknya utarakan. Apapun pembelaannya, kepala Ayna tetap saja pusing. Kalau situasi sudah seperti ini memang hanya Varrel yang bisa menghandle. Dibanding Ayna, Varrel adalah sosok penyabar. Maka dari itu bisa dilihat kedua anaknya sangat nempel.
Berbeda dengan Ayna yang diam, sedangkan Varrel sudah terkekeh geli. Apalagi malihat ekspresi Rania. Pipi gembul anak perempuannya itu semakin mengembang karena cemberut. Jika dilihat-lihat sifat Rania memang sangat mirip dengan Ayna. Apalagi kalau sedang badmood. Walaupun usianya baru tiga tahun, gadis kecil itu pandai mengekspresikan diri. Tidak ingin memperpanjang keributan Varrel menarik kedua anaknya ke dalam dekapan. Dengan senang hati keduanya memeluk balik.
"Ibu ngga diajak pelukan?" celetuk Ayna. Kalau sudah melihat ketiganya rukun harmonis Ayna selalu iri.
Varrel tersenyum, kedua tangannya kembali terbuka memberi kode agar istrinya ikut bergabung. Melihat itu Ayna bersorak riang. Wanita itu berjongkok, lalu memeluk ketiga sumber kebahagiaannya.
"Alaska sama Rania jangan bertengkar terus, ya? Kasihan Ibu nanti capek. Kalau mau nonton televisi bisa sama-sama atau gantian. Lagipula Abang 'kan mau berangkat sekolah, jadi fokusnya jangan ke televisi," kata Varrel tanpa melepaskan pelukannya. Kalau seperti ini Varrel merasa punya tiga anak.
Cukup lama keempatnya berpelukan sampai pada akhirnya Varrel melerai. Ditatapnya anak dan istrinya secara bergantian masih dengan senyum yang mengembang. "Sekarang kita sarapan okay? Alaska berangkat sekolah sama Ayah, ya?"
"Sama Buna!"
"Kenapa ngga mau sama Ayah? Ayah sekalian ke kantor loh, biar Ibu di rumah sama Rania," balas Varrel dengan lembut. Tangan pria itu terulur mengusap pipi anak sulungnya.
Lagi-lagi Alaska menggelengkan kepalanya. "Aku maunya sama Buna, Ayah, Buna. Kalau gitu Adik sama Bibi aja, ngga usah ikut. Kal–"
"Adik ikut!"
Drama lagi.
Kepala Ayna kembali pening. Sebelum drama berlanjut dia sudah lebih dulu mengambil ancang-ancang memisahkan. Diajaknya suami serta anaknya menuju ruang makan. Karena kalau terus berdebat tidak akan ada habisnya sampai malam. Di meja makan Ayna dengan sigap mengambilkan nasi untuk suaminya. Setelah selesai melayani suami, barulah Ayna membuatkan roti untuk kedua anaknya.
Menjadi Ibu memang tidak mudah, harus banyak-banyak sabar sambil mengelus d**a. Sepertinya Ayna harus banyak belajar dari Varrel dalam menghadapi anak-anaknya kalau sedang tantrum.
"Udah, jangan pada ribut, mending makan. Nanti Buna antar Abang, Ayah berangkat sendiri. Adil, 'kan?" Ayna menatap anak dan suaminya secara bergantian.
"Adik?" Rania menunjuk dirinya sendiri. Wajah polosnya membuat siapapun yang melihat pasti tidak bisa menyembunyikan tawa.
Ayna menghela napas, tangannya terulur mengusap pucuk kepala Rania. "Adik ikut Buna antar Abang. Udah ayo sarapan dulu."
Varrel tersenyum tipis mendengarkan obrolan anak dan istrinya. Walaupun terlihat lelah dan kesal, Varrel yakin kalau istrinya teramat sayang dengan Alaska dan Rania. Memang ya mau bagaimana lagi? Usia Alaska dan Rania memang usia-usia aktif.
***
"Semangat belajarnya ya, Abang. Nanti siang Buna jemput lagi. Jangan nakal, dengarkan apa kata guru." Ayna menyerahkan tas berwarna biru yang sejak tadi dia pegang ke Alaska.
Anak laki-laki itu memberi hormat kepada Ayna. Dia juga langsung memakai tas pemberian Ibunya. Sebelum masuk dia mencuri-curi pandang kepada sang adik. Ayna yang melihat itu menarik Rania, menjauhkannya dari Alaska. Ayna sudah hapal betul lirikan putranya. Apalagi kalau bukan punya niat jail.
"Abang," tegur Ayna.
Alaska tersenyum lebar. Ah, ternyata niatnya sudah terbaca oleh sang ibu. Maka dari itu Alaska mengurungkan niat. Diraihnya tangan Ayna, lalu dia mencium punggung tangannya. "Dadah, Buna, Alaska masuk dulu. Nanti jangan lupa jemput ya."
Ayna menganggukkan kepalanya. Setelah memastikan sang anak masuk ke dalam kelas Ayna mengajak Rania untuk pulang. Namun baru beberapa langkah Ayna papasan dengan Allysa. Jika dulu hubungannya dengan Allysa mulai membaik, kini semuanya sirna.
"Gue mau ngobrol sama lo, Na, tapi tunggu dulu gue mau antar Rena ke kelas." Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu jawaban Ayna, Allysa berlalu pergi.
Tidak ada penolakan dari Ayna, dia menuruti perintah Kakaknya. Sebetulnya Ayna ingin menolak karena posisinya dia membawa Rania, tapi Ayna juga tidak diberi celah untuk menolak.
"Adik ikut sama Buna dulu mau? Buna mau bicara sama aunty Allysa. Gapap, Nak?"
"Ikut, Buna, ikut!"
Ayna tersenyum mendengarnya. Lagipula kalau mau dipulangkan Ayna juga bingung. Pasalnya dia tidak tega meninggalkan Rania di rumah bersama bi Ani. Tapi yasudahlah, mau bagaimana lagi? Semoga saja apa yang ingin Allysa katakan bukan masalah berat.
Setelah beberapa menit menunggu Allysa kembali. Wanita itu berdiri dihadapan Ayna, menatap sang adik dari atas hingga bawah. Sejujurnya Allysa sudah sangat lelah sama drama ini karena telah terjadi beberapa tahun, tapi yang menjengkelkan dia belum bisa menyingkirkan sosok Ayna dari kehidupan suaminya.
"Gue yakin lo capek, Na. Tapi percayalah, gue lebih capek bahkan mulai frustasi," kata Allysa memulai obrolan. "Kita jangan bicara di sini, ke kafe aja," sambungnya. Dari Ayna tatapan Allysa jatuh ke Rania.
Perlahan namun pasti, Allysa berjongkok seraya memegang kedua bahu kecil keponakannya. "Rania apa kabar?"
Sapaan lembut itu Rania balas dengan senyuman lebar. Alih-alih menjawab dia justru langsung memeluk Allysa. Mau sekesal apapun Allysa kepada Ayna, tetapi dia tidak bisa mengacuhkan keponakannya.
"Kangen Aunty," kata Rania. Gadis kecil itupun tak sungkan mencium pipi Allysa.
Setelah menyapa, Allysa mengajak Ayna dan juga Rania ke kafe tidak jauh dari sekolahan. Sesampainya di kafe tujuan Allysa memesan minuman, dia juga tidak lupa memesankan untuk Rania agar keponakannya anteng.
"Jadi, apa yang mau lo bicarain, Kak? Masih soal yang sama? Kapan sih lo mau percaya sama gue? Lo liat, gue udah punya dua anak, Kak, yakali masih nanggepin Wildan?" Tanpa basa-basi Ayna mengeluarkan yang ada di dalam hatinya.
"Lo emang ngga ngelakuin apapun, Na. Kesalahan emang ada di Wildan. Gue juga bingungu, capek, bahkan muak. Tujuan gue ajak lo ke sini bukan bahas itu lagi, gue cuma mau kasih tau sesuatu aja."
Sebelah alis Ayna terangkat menatap Allysa. "Sesuatu? Apa itu?"
"Kayaknya gue nyerah, Na, gue ngga bisa bikin Wildan lihat gue. Apa emang ini udah waktunya, ya? Bahkan mungkin ini juga yang Wildan tunggu-tunggu dari dulu. Gue pengen gugat cerai Wildan, Na."
Cerai?
***