Tok..tok..tok!
"Silahkan masuk!"
"Siang, pak Varrel, maaf kalau saya ganggu."
Varrel mengalihkan pandangannya dari laptop ke seseorang yang baru saja masuk. Kini di depan Varrel berdiri Devan, sekretarisnya. "Ada apa, Devan? Ada yang lupa? Dokumen tadi belum saya tandatangani. Nanti saya kabari kalau sudah selesai."
"Bukan, Pak, bukan. Tapi di depan ada tamu yang mau ketemu sama Bapak. Tadi 'kan Bapak bilang tidak terima tamu selain ibu Ayna, tapi di depan sana ada yang memaksa. Mau saya arahkan untuk masuk atau bagaimana?" tanya Devan memastikan. Pasalnya orang di depan sana sangat kekeh ingin masuk walaupun sudah dilarang.
"Tamu? Siapa? Bukannya hari ini ngga ada meeting, ya? Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, Pak."
Sejenak Varrel terdiam, otaknya sedang menduga-duga siapa sekiranya yang datang sampai ke kantor selain istrinya. Karena penasaran Varrel menyuruh Devan untuk membawa tamu itu masuk. Devan mengangguk patuh, dia pun kembali ke luar. Sambil menunggu tamu itu masuk Varrel kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Surprise!"
Kepala Varrel kembali terangkat mendengar suara riang itu. Sesaat terjadi keheningan, Varrel berusaha mengingat siapa wanita yang kini berjalan mendekatinya. Bukan, wanita itu bukanlah Ayna. Padahal awalnya Varrel mengira istrinya membuat drama dengan menyamar jadi tamu. Tapi dugaan Varrel salah total.
"Kok kamu diam? Ngga kaget ketemu aku?" Wanita itu berdiri tepat di samping Varrel. Senyum manisnya masih terukir menghiasi bibirnya.
"Kamu...."
"Acha! Acha Ratu Aerrina."
Mendengar nama itu Varrel seketika tercengang. Tunggu, tunggu! Acha? Acha Ratu Aerrina?! Pria itu berdiri, memperhatikan wanita di depannya dari atas hingga bawah. Apa ... wanita di depannya benar-benar Acha yang dia kenal?
"Yaampun, pasti kamu lupa sama aku ya? Aku Acha, Varrel." Wanita bernama Acha itu menarik lengan Varrel, memeluknya erat. Dia membiarkan Varrel mencerna kekagetannya.
Setelah beberapa saat menenangkan kekagetannya, Varrel menarik Acha dari lengannya. Lagi, dia menatapnya dari atas hingga bawah. Cukup banyak yang berubah memang, tapi sikap itu ... sikap itu tidak asing.
"Kamu ada di sini, Cha?" Setelah sekian lama terdiam akhirnya Varrel buka suara. Jangan ditanya, dia sangat kaget plus tidak menyangka.
Acha menganggukkan kepalanya. "Sebetulnya aku sampai kemarin, tapi baru hari ini aku ada waktu buat ketemu sama kamu. Kamu apa kabar, Rel? Udah lama banget kita ngga ketemu. Jangankan ketemu, komunikasi aja ngga ada. Aku kangen banget sama kamu."
Bucket bawaan Acha dia taruh di atas meja, lalu dengan leluasa dia memeluk tubuh Varrel. Rasa hangat dan nyaman kini hinggap di hatinya. Setelah meyakinkan diri kalau wanita itu benar-benar Acha yang dia kenal, Varrel memeluk balik wanita itu. Cukup lama keduanya berpelukan, sampai akhirnua Varrel melepaskan.
"Kamu ke sini liburan, Cha?" Varrel memyentuh kedua pundak Acha.
"Aku ada planning mau menetap di sini, Rel. Lagipula orangtuaku di Jakarta semua kan? Cuma masih terkendala izin dari Oma aja," jawab Acha
Acha Ratu Aerrina. Wanita itu bukan wanita asing di dalam hidup Varrel. Bisa dibilang, dia memiliki tempat sendiri di hatinya. Dulu, semasa kuliah, mereka sempat menjalin hubungan. Hubungan mereka sangat harmonis, jauh dari kata berantem dan segala macam. Hanya saja saat itu mereka terpaksa berpisah karena Acha akan melanjutkan S2 di Aussie. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja, tapi itu tidak berjalan lama. Varrel yang tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh memilih mengalah. Dia membiarkan kekasihnya fokus pendidikan.
Singkat cerita. Setelah memilih berpisah mereka putus komunikasi karena sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hubungan yang kandas dalam kondisi baik, membuat mereka menyimpan memori sampai hari ini.
"Padahal aku berharap pas kita bertemu lagi, kita bisa memulai perjalanan baru. Tapi kayaknya itu ngga mungkin ya, Rel? Kamu udah menikah."
"Cha, kam–"
"Aku masih sendiri, karna aku menaruh harapan besar. Selama ini aku selalu ngga sabar buat kembali ke Indonesia. Pas tau kamu menikah aku down banget, Rel."
"Kamu tau? Tau dari mana?"
Acha tersenyum seraya menjawab, "aku selalu berusaha cari kabar kamu, Rel. Awalnya aku excited pas dapat sosial media kamu. Tapi pas tau kamu menikah ... aku urungin niat buat hubungi kamu. Ini pun ketemu kamu aku benar-benar nyiapin mental."
Susah payah Varrel menelan salivanya. Kata demi kata yang Acha utarakan membuat hatinya berdesir tidak karuan. Entah itu perasaan bersalah atau bukan, Varrel tidak mengetahuinya.
"Tapi yang jelas aku senang ketemu kamu lagi." Acha kembali memeluk tubuh Varrel.
***
Masak sudah, masukin ke dalam kotak nasi sudah, Ayna tersenyum puas karena pekerjaannya selesai. Seharusnya dia menjemput Alaska, tetapi Anggun yang ingin menjemput bersama Rania. Sangat kebetulan, tentu Ayna berterima kasih kepada bundanya itu. Setelah urusan dapur selesai Ayna ke kamar untuk berganti pakaian.
Sama seperti wanita pada umumnya, Ayna sempat bingung mau pakai baju apa. Padahal di lemari bajunya berjejer. Ah, namanya juga wanita. Beberapa menit berfikir pada akhirnya Ayna menjatuhkan pilihan ke dress berwarna cokelat. Diambilnya baju itu, lalu dia pakai. Sebelum pergi tak lupa Ayna mempoles wajahnya dengan make up.
Selesai. Setelah itu Ayna bergegas turun. Diambilnya tas berisi kotak makan, lalu dia berlari kecil menuju mobil. Sudah waktunya jam makan siang, sepertinya Ayna akan telat sampai ke kantor. Maka dari itu dia mengirim pesan kepada suaminya agar menunggu.
Sekitar setengah jam diperjelanan kini Ayna sampai di kantor. Saking buru-burunya dia mengabaikan panggilan Rangga dan juga Karina. Bukan apa-apa, dia takut suaminya sudah menunggu. Saat pintu lift terbuka Ayna langsung masuk. Tidak lagi memperdulikan orang disekitar, Ayna hanya ingin cepat-cepat sampai di lantai tujuan.
Ting!
Secepat kilat Ayna ke luar, buru-buru dia menuju dan masuk ke dalam ruangan suaminya.
"Sayang, maaf aku telat. Tadi ada bunda di rumah."
Kosong.
Kening Ayna menyerit. Tidak ada siapapun di dalam ruangan, lalu di mana suaminya? Ayna berjalan masuk menuju toilet. Mana tahu suaminya ada di dalam sana.
"Varrel?"
"Varrel, kamu ada di dalam ngga?" Ayna mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada respon. Perlahan Ayna membuka pintu, dan lagi-lagi kosong.
Kembali ke ruangan depan, Ayna duduk di sofa sambil mengeluarkan ponselnya. Masa iya suaminya makan siang di luar? Pesan yang dia kirim belum dibalas, maka dari itu Ayna memilih menelepon. Dua kali percobaan tidak ada respon, yang ketiga baru terhubung.
"Sayang, kamu di mana? Aku di ruangan kamu, tapi kamu ngga ada. Kamu udah makan siang di luar ya?"
'Ay, maaf, aku lupa ngabarin. Aku ada meeting di luar, baru aja jalan. Aku meeting sekalian lunch. Maaf ya lupa kasih kabar.'
"Meeting, ya?"
'Iya, Ay. Kamu ke kantor sama siapa?'
"Aku? Aku sendiri. Rania ikut bunda jemput Alaska. Yaudah kalau emang kamu mau meeting, semangat ya. Makanannya aku bawa lagi aja ya daripada ngga ke makan?"
'Maaf, Ay.'
"Its okay, sayang, ngga perlu minta maaf. Kamu kerja, bukan jalan-jalan. Yaudah, hati-hati. Love you."
'Love you too, Ay.'
Tut!
Huftt!
Berhubung suaminya tidak ada, Ayna memutuskan untuk pulang kembali. Saat ke luar, Ayna tidak sengaja papasan dengan Devan. Sama seperti Rangga dan Karina, Devan pun sudah jadi karyawan tetap. Sepertinya Varrel tidak ada niat mengganti sekretaris.
"Selamat siang, Bu," sapa Devan.
"Siang pak Devan. Loh, Bapak ngga ikut meeting sama suami saya?"
Kening Devan mengerut mendengar pertanyaan Ayna. "Meeting, Bu? Hari ini ngga ada jadwal meeting kok."
***