Bab 7. Mau Berubah

1098 Kata
"Sa, dengerin aku dulu, Sa." "Lepas, aku mau urusin Rena." "Sa." "LEPAS!" "Eengga, Sa, kita perlu bicara. Kali ini aku mau bicara serius, Allysa." Hari masih pagi, tetapi emosi Allysa sudah diaduk-aduk oleh suami sendiri. Sebetulnya bukan tanpa alasan, Allysa menghindar memang karena tidak mau masalah semakin panjang. Tapi sepertinya Wildan tidak mengerti itu. Omongan yang terus dibantah, membuat Allysa memilih pergi. Namun baru satu langkah lengannya sudah ditarik. "Sa, aku bilang mau bicara sama kamu. Bisa ngga sih kamu dengarin aku sebentar aja? Emang kamu ngga capek hidup kayak gini terus?" Tunggu. Apa katanya tadi? Allysa tertawa mendengarnya. "Kamu bilang gitu seolah-olah aku yang buat salah ya, Dan? Padahal di sini yang selalu buat kesalahan itu kamu. Aku capek, Dan, masih pagi juga. Rena harus sekolah, aku harus siapin keperluannya. Omongan kamu itu ngga ada yang penting aku tau itu. Lepasin tangan kamu." Alih-alih nurut Wildan justru semakin mengeratkan cengkraman tangannya. Tatapan keduanya beradu, situasi seketika berubah menjadi tegang. Percayalah, situasi seperti ini sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Maka dari itu Wildan ingin menyudahi semuanya. "Apa benar kamu bahas soal perceraian ke Ayna?" tanya Wildan to the point. "Kalau iya memangnya kenapa? Kamu senang? Memang itu kan yang kamu tunggu selama ini? Kamu nunggu aku buat nyerah dan selesain semua ini. Sekarang keinginan kamu akan terwujud, Dan, kamu akan hidup bebas setelah ini. Aku mau kita cerai." Wildan terdiam. Ternyata apa yang Ayna katakan beberapa hari yang lalu benar adanya tanpa ada kebohongan. Tatapan Wildan masih tertuju kepada istrinya. Dari jarak yang lumayan dekat Wildan bisa melihat raut lelah dan kesal. Rasa iba kini menyelimuti hati pria itu. Apa tindakannya selama ini menyakiti Allysa? Wanita yang selalu memperjuangkan dirinya. "Tenang, Dan, kamu masih bisa ketemu Rena. Kamu juga ngga perlu takut Rena kenapa-napa, aku akan urus sebaik mungkin. Kal–" "Ngaco kamu ya?" sela Wildan. "Jaga ucapan kamu, jangan seenaknua ngucap kata cerai. Aku ngga mau kita cerai, Allyasa, sama sekali ngga mau. Justru aku ngajak kamu bicara buat bahas soal kita," sambungnya. Sebelah alis Allyasa terangkat menatap Wildan. "Soal kita? Soal kita apa Ayna? Lanjutin aja ketemuannya, lanjutin aja mesra-mesraannya, pegangan tangannya. Anggap kamu ngga punya aku dan Rena. Atau bahkan anggap aja Varrel dan kedua anaknya juga ngga ada." Lagi-lagi Wildan dibuat terdiam mendengar kata demi kata yang Allysa lontarkan. Mesra-mesraan? Pegangan tangan? Allysa menyalahkan ponsel, mencari sesuatu di ponsel itu. Setelah dapat apa yang dia cari diberikannya ponsel itu kepada suaminya. "Ini apa? Bahkan kamu masih sangat leluasa ketemu Ayna tanpa seizin aku. Iya, tanpa izin! Kamu anggap aku itu apa sih? Istri atau penghalang kalian?" Tanpa keduanya sadari, sosok Rena tengah memperhatikan dalam diam. Walaupun tidak mengerti permasalahan yang ada, tetapi Rena tahu kalau kedua orangtuanya sedang bertengkar. Ingin rasanya dia memisahkan, tetapi rasa takut menyelimuti hati. Maka dari itu dia hanya diam sambil memeluk tas pink miliknya. "Itu ngga seperti yang kamu liat. Justru aku sama Ayna bahas kamu, Allysa. Dia juga yang kasih tau soal niat kamu. Aku ngga mau semua ini semakin terlambat, aku mau perbaiki semuanya dari awal. Aku udah anggap Ayna sebatas adik ipar, ngga akan pernah lebih. Aku masih menghormati Varrel, Sa. Kasih aku kesempata, aku minta maaf." Cekalan tangan Wildan mengendur, beralih meraih kedua tamgan Allysa. "Atas dasar apa aku harus percaya sama omongan kamu? Setelah beberapa tahun kelakuan kamu ngga berubah, bahkan kemarin masih bisa-bisanya ketemu Ayna di belakang aku. Aku capek ikutin permainan kamu, Dan, aku nyerah." Tanpa mengatakan apapun Wildan menarik tubuh Allysa ke dalam dekapannya. "Kali ini, Sa, detik ini, kasih aku kesempatan. Aku janji dan aku mau berubah demi rumah tangga kita. Terutama buat Rena. Kalau kamu masih ngga percaya, kamu mau pembuktian, aku akan adakan kumpul keluarga. Aku akan bahas semuanya di sana." Pelukan erat Wildan tidak Allysa balas. Padahal sejak dulu pelukan itulah yang teramat dia tunggu-tunggu. Akan tetapi, Allysa tidak sepenuhnya percaya omongan Wildan. Allysa juga yakin kalau suaminya tidak akan berani mengumpulkan semua keluarga untuk membahas ini. Karena Allysa tahu, cinta Wildan sudah habis untuk Ayna seorang. "Aku akan atur jadwal. Nanti kamu juga bisa dengar penjelasan Ayna kenapa kita bisa ketemu." *** Sama seperti biasanya, meja makan selalu terasa hangat dengan obrolan dan canda tawa. Jika biasanya ada kegaduhan, hari ini semua berjalan damai. Ayna menatap suami dan kedua anaknya secara bergantian dengan senyum yang terus terukir. Sejujurnya Ayna lagi kefikiran soal kakaknya karena sampai detik ini semua pesan yang dia kirim tidak mendapat balasan. Ayna juga kepo menunggu perkembangan dari Wildan. "Kamu kenapa, Bun?" Kedua mata Ayna menerjap, lamunannya buyar. "Aku lagi kepikiriam kak Allysa sama Wildan. Aku takut Wildan ngga bisa meyakinkan kak Allysa." Ah, masalah itu. Kemarin Ayna memang sempat membahas soal itu. Itu pula yang membuat istrinya harus ketemu sang mantan. Wajar jika Ayna khawatir, karena akan membawa namanya. "Kamu udah ngga cemburu, 'kan?" "Lain kali apa-apa itu harus bilang sama aku." Ayna memamerkan cengiran lebarnya. Beberapa hari yang lalu memang kesalahannya karena tidak izin padahal posisinya lagi berduaan. Dari kejadian itu Ayna juga belajar, sebisa mungkin dia izin pada suami. "Biarin mereka selesain berdua dulu, kalau emang dibutuhkan, baru kamu turun tangan. Aku akan dampingi. Jangan terlalu dipikirin, ngga baik." Varrel meraih tangan Ayna, mengusapnya lembut. Benar apa yang suaminya katakan. Memang lebih baik untuk saat ini dia memberi kesempatan untuk Wildan menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika kemarin Allysa yang berjuang, kali ini biarkan gantian. "Abang berangkat sama Ayah, ya?" Pandangan Varrel beralih dari Ayna ke Alaska. "Sama Buna." Entah ada magnet apa, sejak awal masuk sekolah sampai detik ini Alaska selalu maunya diantar oleh Ayna. Pernah beberapa kali bareng Varrel, setelahnya tidak mau lagi. Varrel melirik Ayna, wanita itu menganggukan kepalanya. Keempatnya kembali melanjutkan sarapan sambil sesekali bercanda. Setelah selesai, Varrel bergegas memakai jas serta mengambil kunci mobil. Begitupun dengan Ayna, dia mengambilkan tas Alaska lalu membantu memakaikannya. Sedangkan Rania, gadis itu hanya memperhatikan dengan wajah polosnya. "Yaudah yuk bareng ke depan," ajak Varrel. Membiarkan Alaska berjalan dengan Ayna, sedangkan dia menggendong putri kecilnya. Digendong oleh sang ayah tentu Rania senang. Dia memeluk erat leher Varrel, bahkan menciumi pipinya. "Adik baik-baik sama Buna ya? Ngga boleh nakal." Varrel menoel hidung sang anak. Dibukanya pintu mobil, lalu tubuh Rania dia masukkan ke dalam. Kedua anaknya sudah masuk, kini tersisa Ayna dan Varrel. Ayna meraih tangan Varrel, mencium punggung tangannya. "Kamu hati-hati ya? Nanti mau makan siang pakai apa?" "Apa aja yang kamu masak aku makan, Ay. Kamu yang lebih hati-hati, jangan ngebut. Kayaknya besok aku perlu cari supir buat kamu deh." Ting! Ting! Ayna mengambil ponselnya dari dalam tas. Setelah melihat pesan yang tertera dia menunjukkannya kepada Varrel. "Iyain, Ay." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN