Langkah Syeena terasa berat menuju ruang tamu. Seperti niat awalnya, dia ingin menganggap pertemuan ini hanya mimpi buruk belaka, tetapi melihat Rayhan duduk di kursi membuatnya harus membuang jauh-jauh keinginan itu. Syeena menaruh cangkir di meja, mengambil tempat duduk sedikit berjarak dengan Rayhan. Duduknya tak nyaman, jantungnya berdetak cepat, hatinya tak bisa tenang.
"Bagaimana kabar Desti?" Syeena mulai membuka pembicaraan.
Rayhan mengangkat pandangannya. “Desti baik."
"Kalian sudah menikah?"
Kening Rayhan mengerut sesaat, sebelum menghela napas. "Nggak ada pernikahan di antara kami, Sye." Rayhan mencondongkan tubuhnya ke arah Syeena. Dengan berani, tangannya menggamit tangan Syeena. “Gimana kabar kamu?”
Syeena menepis tangan Rayhan, bergeser menjauh. Kejadian itu sudah berlalu sejak bertahun-tahun yang lalu, tetapi benaknya masih dipenuhi kekhawatiran. Perasaannya pada Rayhan pun masih tetap sama. Namun, rasa itu tidak mengundang kebahagiaaan mendengar Rayhan belum menikah, karena Syeena takut kembali menjadi orang ketiga di antara Rayhan dan Desti. “Kenapa?”
"Kami tidak bisa melanjutkan pernikahan di saat perasaanku bukan untuk Desti."
Syeena tersenyum tipis. "Bukannya pernikahan kalian udah dipastikan? Kalian juga saling menyukai, kan?"
Kening Rayhan mengernyit sekilas kemudian membantah, "Aku hanya menyukainya, bukan mencintainya,"
Syeena mengibaskan tangan. "Sama saja, Ray."
"Yang aku cintai...."
Ucapan Rayhan terhenti karena seruan Natasya yang mencari perhatian bundanya. Rayhan memperhatikan interaksi mereka berdua, terpana melihat senyum manis yang muncul dari bibir ranum Syeena. Senyuman yang berhasil menggetarkan jiwanya, rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya. Rayhan berusaha menahan diri agar tidak menarik
Syeena lagi dalam dekapannya. Setidaknya tidak untuk kali ini, mungkin nanti, dia akan mendekap Syeena semaunya. Rayhan tersenyum simpul membayangkan bila itu terjadi nanti.
Seakan baru tersadar ada kehadiran orang lain, Natasya menoleh. "Om, kok, masih di sini?"
Rayhan tersadar dari lamunannya, tersenyum tipis. "Iya. kenapa? Nggak boleh Om di sini?"
"Boleh banget, Om. Om Prakasa juga sering main ke sini menemani Tasya. Om Prakasa sudah seperti ayahnya Tasya. Iya kan, Bun?"
Syeena tersenyum sambil mengangguk, membenarkan.
Prakasa satu-satunya teman yang menolongnya sejak mengandung Natasya. Seorang duda yang tidak mempunyai anak dan sudah menganggap Natasya sebagai putrinya sendiri. pria itu menemaninya periksa ke dokter kandungan. Sampai melahirkan Natasya pun, Prakasa-lah yang mendampinginya.
Rayhan tersenyum paksa. Dia tidak suka mendengar Natasya begitu riang menyebutkan pria lain yang dekat dengan mereka. Lebih tepatnya, dia tidak terima ada pria lain yang berhasil masuk ke kehidupan Syeena. Bertahun-tahun Syeena menghilang, sudah ada dua pria yang masuk: ayah Natasya dan Prakasa. Rayhan berdeham, menghentikan pembicaraan
Natasya. "Natasya mirip banget sama bundanya."
Natasya tersenyum bangga. "Iya dong, Bunda sering bilang ‘syukur karena Tasya nggak mirip Ayah’. Kalau mirip, nanti Bunda rindu terus, jadinya sedih mulu."
Rayhan terdiam, dahinya mengernyit heran. Dia melirik Syeena sekilas. "Memang ayah Tasya ke mana? Kok, sampai bundanya harus rindu?”
Seketika Natasya menatap Syeena dengan binar penasaran. Anak itu memanfaatkan kesempatan bertanya hal yang sama, karena sebelumnya, dia tak pernah berani menanyakan hal itu. "Bunda, Ayah ke mana?"
Syeena terpaku, tubuhnya menegang, kesusahan menelan ludahnya. Hatinya yang semula berangsur tenang, seketika kembali gelisah.
"Ke mana memang ayahnya? Dia merantau? Atau nggak bertanggung jawab sama kalian?" Rayhan semakin mendesak
Syeena, merasa menang melihat Syeena yang hanya diam.
Syeena meringis kemudian menggeleng samar. "Dia pergi ... dan nggak akan kembali."
"Hah?" Rayhan tercengang, pupil matanya membulat tak percaya dengan jawaban Syeena.
Syeena memang sudah menganggap Rayhan pergi dan tidak akan pernah kembali dalam hidupnya. Syeena sudah terlanjur menikmati hidup bersama putrinya, tanpa ada yang lain. Karena baginya, Natasya saja sudah cukup menemani hidupnya.
Syeena berdiri dengan tergesa, menganjurkan tangan mempersilakan Rayhan keluar dari rumahnya. "Sudah larut, sebaiknya kamu segera pulang, Ray."
Rayhan menatap Syeena sekali lagi, memastikan. Dia mendesah pelan melihat Syeena memalingkan wajah, menghindarinya. Dengan terpaksa, Rayhan berdiri. Dia sedikit kecewa mendengar jawaban Syeena, ditambah gestur tubuh yang ditunjukkan Syeena dari awal bertemu hingga detik ini terkesan tengah menutupi sesuatu. Raut wajah
Syeena selalu terlihat cemas dan gelisah, berkali-kali melirik pintu. Dalam hati, Rayhan berjanji akan datang lagi memenuhi rasa penasarannya akan kehidupan Syeena setelah meninggalkannya dulu. Secepatnya.
"Makasih atas jamuannya."
Syeena tersenyum tipis, menahan rasa jengkel atas ucapan sarkastis Rayhan. "Maaf, nggak bawa kue dari toko karena aku pikir nggak akan ada tamu. Kue yang sengaja aku buat di rumah selalu habis sama Natasya. Jadi, hanya ada air saja," jawab Syeena dengan nada ringan.
"Nggak masalah. Nanti aku akan bertamu lagi untuk meminta jamuan yang sempat tertunda," kekeh Rayhan pelan, mencoba mencairkan suasana.
"Tasya suka banget sama kue kacang yang dibikin Bunda, Om. Rasanya enak banget. “Kali ini, Natasya yang menyeletuk sambil memeluk pinggang bundanya.
"Benarkah?" Rayhan melirik Syeena sekilas dengan kening berkerut. Ada hal baru yang mengganjal hatinya, Natasya menyukai makanan yang sama. Tapi, bukankah hal yang wajar bila ada orang menyukai makanan yang sama? Rayhan menggeleng, pikirannya terlalu banyak menduga. “Bukannya kamu alergi kacang, Sye? Kok Natasya bisa menyukai kacang?"
"Kalau Natasya sangat suka, aku bisa apa?" jawab Syeena mendesah pasrah.
"Om suka kue kacang juga?"
Seharusnya dia tak perlu bertanya-tanya tentang perbedaan Natasya dan Syeena, bisa saja Natasya mewarisi gen ayahnya. Rayhan menggeleng samar dengan pemikirannya sebelumnya. "Suka banget malahan."
"Yeay! Tasya ada teman dong buat makan kue kacang. Om Prakasa nggak terlalu suka, jadi nggak enak makan sendirian."
"Nggak enak, kok, stoples kue selalu kosong?" cibir Syeena menggoda putrinya.
Natasya menyengir lebar. "Ya kan enak, Bun."
Syeena tertawa pelan mengacak rambut lurus Natasya yang kini diurai. "Kok gemesin banget. Anaknya siapa sih?"
"Anaknya Bunda dong."
Tanpa sadar, Rayhan tersenyum melihat kedekatan mereka yang penuh kehangatan. Benaknya mengkhayalkan, dia ikut dalam kehangatan itu.