Satu

1772 Kata
Tidak sedikit orang menatap penuh cemooh saat dirinya datang dengan perut buncit tanpa pasangan. Syeena mengetahui kehamilannya tiga bulan menjelang ujian nasional. Dia memutuskan untuk pergi dengan modal keberanian saja setelah ujian dan meminta pengurus panti agar tidak memberitahu siapa pun ke mana tujuannya. Jika tetap tinggal di panti, Syeena harus mau menambah sakit hati melihat yang dicintainya bahagia bersama orang lain. Lalu di sinilah dirinya tinggal dari masih mengandung sampai sekarang Natasya berusia 11 tahun. Bukan waktu yang sebentar. "Bunda." Syeena melihat putrinya berjalan riang ke arahnya. Fisik Natasya memang tidak terlihat mirip dengan ayahnya. Namun, kelakuan mereka sama persis. “Kamu mau ke mana? Tumben hari Minggu sudah rapi?" Syeena sangat tahu, putrinya sangat pemalas bila hari libur. Natasya akan menghabiskan waktunya bergelung dengan selimut. Natasya tersenyum lebar. "Aku mau main dong, Bun, sama Devan dan Riski." Kening Syeena mengerut. "Dikurangi main sama anak laki-laki, Sayang. Coba kamu main sama perempuan sekali-kali." Natasya menggeleng cepat. "Nggak mau, Bun." "Lo, kenapa?" "Soalnya kalau main sama anak perempuan itu ribet. Banyak aturan. Nggak boleh main sama si itu atau si ini, lihat kasta juga. Nggak sukalah Tasya, Bun." Natasya langsung duduk di depan cermin kamar Syeena. Syeena tersenyum geli melihat putrinya mencebik kesal. Dia mengambil sisir dari tangan Natasya, mengepang rambut hitam lebat putrinya. "Enakan juga main sama anak laki-laki, Bun, jadinya bisa seenak kita." Syeena menggeleng. "Iya, tapi jangan keseringan juga main sama anak laki-laki, Sayang." "Kenapa, Bun?" Natasya mendongak menatap bundanya dari cermin penuh tanya. Syeena tersenyum. Dia tidak mau apa yang dulu terjadi padanya menimpa putrinya juga. Dia tidak mungkin menjelaskan lebih jauh semuanya pada Natasya, terlebih hatinya belum siap mengorek masa kelamnya. Masa yang pernah dia anggap paling menyenangkan dan membahagiakan, ternyata adalah sumber penderitaannya. Syeena mengikatkan pita pada ujung kepangan Natasya. “Ya, pokoknya jangan saja.” Natasya berdiri tersenyum cerah kemudian mengecup kening bundanya sekilas, berpamitan. Gadis itu melangkah riang keluar rumah. Syeena segera berdiri membenahi barang-barang yang akan dibawa ke toko kuenya. Dia memiliki toko kue dari 5 tahun lalu saat dirinya mulai menyerah berjualan kue keliling di kompleks perumahan elite. Dia membangun toko itu dari hasil uang yang selalu disisihkan setiap hari. Walau dulu ingin menjadi wanita karier, apalah dayanya yang harus mengubur cita-cita itu demi kelangsungan hidupnya dan anaknya. *** Suara riuh anak-anak di tengah lapangan menarik perhatian pria berpenampilan rapi itu. Kemeja hitam dipadu celana jeans putih, rambut hitamnya disisir ke belakang dan tampak berkilau efek gel rambut. Wajahnya bersih dan tatapannya tajam. Pria itu—Rayhan—berjalan ke pinggir lapangan, menatap beberapa anak yang tengah bermain bola. "Sya, lempar, Sya!" Teriakan itu semakin menarik perhatiannya, tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyuman. Teringat masa kecilnya. Kening Rayhan mengerut saat melihat hanya ada satu anak perempuan yang bergabung di sana. Wajah anak perempuan yang mengingatkannya pada seseorang. "Oke, siap-siap, ya!" Natasya melempar kencang bola. Anak-anak yang sudah bersiap mendongak mengikuti arah bola hingga benda bundar itu mendarat tepat di dekat sosok pria dewasa yang berdiri di pinggir lapang. pria itu menendang bola kembali ke tengah lapang. Natasya berlari ke pinggir lapang menghampiri Rayhan, dengan polosnya dia tersenyum sambil memuji kehebatan pria tersebut. Rayhan terpaku melihat mata bulat bersih dan berbinar gadis kecil tersebut. pria itu membungkuk, tersenyum tipis. Dia menganjurkan tangan hendak mengusap puncak kepala gadis itu, tetapi urung. "Siapa nama kamu?" "Natasya, Om." Rayhan mengangguk. "Natasya doang?" "Nggak, Om. Natasya Aleana Putri." Senyum Rayhan melebar. "Bagus namanya." "Iya dong. Bunda Tasya gitu." Seketika, Natasya menatap pria di hadapannya dengan binar penasaran. "Nama Om siapa?” “Nama Om, Rayhan.” Natasya mengangguk-angguk. “Om baru di kampung ini?” Rayhan mengangguk. Awalnya, dia hanya berjalan-jalan di sekitar gedung kantor sembari menunggu jadwal pertemuan dimulai lalu menemukan gapura di belakang gedung. Dari depan lingkungannya masih terlihat begitu asri sehingga menarik Rayhan untuk menjelajah lebih dalam lagi. Rayhan memutar bola mata, berpikir. "Iya. Om ada proyek di sini." Bibir Natasya membulat, mengangguk-angguk paham. “Wah, Om tukang bangunan?" Rayhan terkekeh geli, tanpa sadar menganjurkan tangan mengusap puncak kepala Natasya. "Kok tukang bangunan?" Natasya menyengir, malu. "Proyek itu pembangunan bukan sih, Om?" "Iya, pembangunan, tapi bukan berarti tukang bangunan juga." Pipi Natasya semakin merona, bola matanya bergerak tak beraturan. "Tasya jadi malu." Rayhan menatap Natasya lekat, matanya tidak salah. Gadis kecil di depannya sangat mirip dengan sahabatnya yang menghilang bertahun-tahun. *** Bukan Cinta Biasa Satu Pulihkan Hapus permanent Hapus semua secara permanent Episode baru Terbitkan(1) Draft(2) Tempat Sampah(1) Satu 08:13 Oct 20, 2022 (UTC+0 01:13 Oct 20, 2022) 1020 Kata-kata Tinggal 30 hari lagi Satu "Natasya!" Natasya berhenti, melihat om yang baru dikenalnya tadi berjalan cepat menghampirinya. Gadis itu menunggu, bola matanya bergerak gelisah menunjukkan ketidaksabaran karena langkah pria itu dirasa begitu lelet. "Kamu mau pulang?" "Bukan, Om. Tasya mau mudik," jawab Natasya sekenanya. Natasya mencebik kesal, saat mendengar pria itu malah tertawa. “Lagian, Om Rayhan ngapain panggil-panggil Tasya? Tasya harus pulang sebelum Bunda datang dan marahin Tasya." "Om cuma ...." Napas Syeena memburu. Hatinya berdebar mendapati putrinya bersama orang asing. Bagaimana kalau pria asing itu berniat menjalankan modus penculikan. Dia berhenti beberapa langkah di belakang sosok tak dikenal tersebut. “Ya ampun, Tasya! Bunda sudah sering bilang jangan main kesorean. Kamu kapan sih mau nurut sama Bunda?" Rayhan terpaku, mendengar perkataan orang dari arah belakangnya. Suara yang sudah lama dia rindukan kembali begitu nyata. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Pria itu menggeleng samar merasa tak yakin. Sementara itu, Natasya hanya tersenyum kikuk, melirik bundanya takut-takut. Syeena melangkah cepat melewati pria yang berhadapan dengan putrinya. Tanpa melirik sosok asing itu, Syeena menyambar pergelangan tangan Natasya, mencekaunya erat-erat. Dia setengah menyeret gadis itu agar mengikutinya. "Ayo pulang!" Rayhan menahan napas melihat sosok di samping Natasya. Walau kakinya terasa lemas, dia mundur beberapa langkah, memastikan yang dilihatnya adalah nyata. Dari sekian banyak waktu dia mencari Syeena sampai nyaris putus asa karena tak kunjung mendapatkan jejak sedikit pun, sebuah kebetulan justru yang mempertemukan mereka. Walau lidahnya terasa kelu, Rayhan mencoba menyebut nama Syeena. Syeena tertegun, menguatkan pegangannya pada pergelangan tangan Natasya. Seketika tubuhnya bergetar, dia tak berani menoleh, bahkan melirik pun terasa berat. Tidak mungkin pelariannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia hanya karena satu kebetulan. Syeena menelan ludah, berharap semua hanya mimpi. Rayhan mendekat, menganjurkan tangan mencengkeram bahu Syeena. Pria itu sedikit memaksa agar Syeena berbalik menghadapnya. Ketika Syeena berbalik, saat itu juga Rayhan menarik Syeena, mendekapnya kuat. Bibirnya menyunggingkan senyuman, dalam hati Rayhan tak hentinya bersyukur atas rasa penasarannya yang ingin melihat kampung ini. Untuk beberapa saat Syeena bergeming, kemudian menarik napas dalam-dalam, mendorong Rayhan menjauh. Suasana terasa semakin canggung. Syeena mengusap tengkuknya, tersenyum kikuk menyadari putrinya tengah menatap mereka sambil melongo. Syeena melihat Rayhan sekilas. Rayhan tetap sama, hanya wajahnya terlihat semakin dewasa. Ternyata hidup Rayhan semakin baik setelah dia pergi. Pria itu tidak kehilangannya sama sekali. Sekeping hati Syeena retak. “Ayo pulang!” Syeena menyeret Natasya, mengikuti langkahnya. Rayhan mengejar, memanggil nama Syeena dan Natasya, meminta keduanya berhenti. Natasya tak berani bertanya, apalagi meminta penjelasan bundanya. Namun, raut wajah bundanya terlihat lebih menyeramkan daripada kemarin saat dirinya dimarahi. Natasya menoleh, menatap Rayhan. “Bun, Om Rayhan ngejar.” Natasya berusaha menahan langkah bundanya. S yeena mengabaikan ucapan Natasya, terus melangkah. Dalam pikirannya, dia ingin cepat sampai rumah, mengunci pintu, lalu menganggap pertemuan ini hanya mimpi belaka. Rayhan terus menyerukan nama Syeena dan Natasya bergantian, berharap salah satu dari mereka berhenti melangkah. Natasya semakin sering menoleh ke belakang, sekali sentakkan langsung melepaskannya dari pegangan tangan bundanya. Napas gadis itu memburu penuh penasaran atas reaksi sang bunda yang dirasanya tidak masuk akal. Gadis yang baru hendak remaja itu mencecar, “Bunda kenapa? Kenapa Bunda lihat Om Rayhan kayak lihat setan? Bunda kenal sama Om Rayhan?” Syeena menghadap Natasya, napasnya tak kalah memburu. Keringat membasahi wajahnya yang memerah karena berbagai emosi memenuhi hati dan benak Syeena. Takut, cemas, marah, sedih, rindu, dan kecewa. Semua mengaduk-aduk perasaannya menghantarkan nyeri sampai ke ulu hati. Tanpa mengatakan apa pun, Syeena kembali menyambar tangan Natasya, memaksa Natasya kembali mengikuti langkahnya, berusaha menjauhi Rayhan. Bersinggungan dengan masa lalu adalah bagian terburuk yang tidak pernah dia inginkan. Tetapi Tuhan sangat senang menyiksanya dengan mempertemukan masa lalu dengannya. Rayhan tidak lagi berjalan, melainkan berlari untuk mengejar Syeena. Banyak yang ingin dia tanyakan. Alasan Syeena pergi tanpa pamit, dan bagaimana ceritanya Syeena bisa menjadi seorang ibu di usia yang masih muda. Karena dari yang dia ingat, Syeena tidak dekat dengan pria mana pun, apalagi membahas pernikahan. Dan sekarang, mereka bertemu lagi dengan anak Syeena yang sudah besar. “Syeena!” Rayhan mendekat lalu menarik kaos longgar yang dipakai Syeena agar berhenti menghindarinya. Napas pria itu tersengal. “Kenapa kamu menghindariku setelah sekian lama nggak bertemu? Apa aku ada salah sama kamu?” Syeena bergeming, memejamkan mata beberapa saat. Dia berusaha menormalkan detak jantungnya. Rayhan tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu siapa Natasya. Rayhan hanya tahu Natasya adalah putrinya. Batin Syeena meyakinkan diri sendiri supaya bersikap lebih tenang. Syeena tersenyum, mengangkat kepalanya, menatap Rayhan. “Maaf, aku agak terkejut.” Kening Rayhan mengerut memperhatikan gelagat Syeena yang terlihat gugup seperti tertangkap basah sudah melakukan kesalahan. Rayhan menatap Syeena penuh selidik. “Kamu bukan terkejut, tapi memang sengaja menghindari aku.” Natasya berdiri di antara Rayhan dan juga bundanya. Kepalanya mendongak, memperhatikan interaksi dua orang dewasa tersebut. Natasya terkejut merasakan genggaman tangan bundanya menguat, tangan bundanya pun terasa dingin dan basah. Natasya mengajak bundanya untuk pulang, tetapi Rayhan menahan mereka. Natasya menatap Rayhan marah. “Om bikin Bunda ketakutan, lebih baik Om pergi!” Perhatian Rayhan beralih pada Natasya. “Dia anak kamu?” tanyanya memastikan, berharap dugaannya salah. Mata Syeena menatap penuh waspada, perlahan menarik Natasya ke belakangnya. Syeena tidak bisa setenang biasanya, hatinya tetap waswas atas kehadiran Rayhan. “Iya. Dia anakku.” Rayhan tersenyum masam, dugaannya benar. “Ah, kamu udah nikah.” Sekali lagi, Rayhan menatap lekat Syeena. Perasaannya berkecamuk, terasa perih dan sesak. Jelas, perasaannya pada Syeena tidak pernah memudar. Perasaan bukan sekadar kepada sahabat. “Boleh aku mampir ke rumah kamu?” Syeena bergeming, tersadar saat Natasya meremas tangannya pelan. Syeena menimbang. Banyak yang dia khawatirkan, termasuk khawatir Rayhan tahu dia belum menikah. Namun, bila dia menolak, Rayhan akan bertambah curiga. Syeena menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Dengan berat hati, Syeena mengizinkan Rayhan bertamu ke rumahnya. Rayhan tersenyum, setidaknya dia bisa melihat bagaimana suami Syeena. Jika suami Syeena di bawahnya, sudah pasti dia tidak akan menyerah mendapatkan Syeena. "Ayo, Sayang." Syeena menuntun Natasya, mendahului Rayhan. Selama berjalan, Syeena terus meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Rayhan hanya mampir, bukan sengaja menemuinya, dan tidak mungkin mencari tahu lebih dalam tentang Natasya. Di saat Syeena sibuk memikirkan berbagai kemungkinan, Rayhan sibuk menarik perhatian Natasya dengan menceritakan masa lalunya bersama Syeena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN