Syeena termenung di teras depan kamarnya, ditemani langit gelap dan hujan deras menambah suasana kelam. Pikirannya berkelana ke masa lalu, saat dirinya pertama kali menyadari ada perasaan lebih terhadap Rayhan. Bukan perasaan semusim, atau cinta sesaat anak muda umumnya. Seiring berjalannya waktu, perasaan Syeena terhadap
Rayhan semakin kuat. Namun, Syeena memilih memendam perasaannya, mengingat Rayhan lebih menyukai Desti, sahabatnya yang lain. Terkadang, dia menyesali persahabatan yang terjalin di masa lalu, karena pada kenyataannya, perasaan lain pasti akan tumbuh dan menyeret mereka pada perpisahan.
Syeena terkesiap, lamunannya buyar seketika mendengar Natasya berseru. "Kamu hobi banget teriak-teriak sih!" Telinga
Syeena berdenging setiap kali mendengar putrinya berteriak, kadang merasa gendang telinganya akan pecah.
Natasya menyengir lebar memeluk leher bundanya dari belakang. "Bunda sih melamun terus, aku panggil-panggil juga dari tadi."
Syeena tersenyum geli. "Pinter banget kamu ngelesnya."
Natasya berpindah, duduk menyamping di pangkuan bundanya, menatapnya penuh binar penasaran. "Bun, Om Ray itu teman atau saudaranya Bunda?"
Syeena mendesah pelan, lalu membenarkan. “Om Rayhan teman Bunda.”
"Kok Bunda kayak jauh banget sama Om Ray? Nggak kayak sama Om Prakasa, Bunda baik banget."
Syeena tersenyum hangat, mengusap rambut putrinya. Bibirnya memang masih diam, tetapi batinnya menjawab. Tentu saja dia tidak bisa lagi bersikap akrab pada Rayhan, sejak malam itu semua sudah berubah. Ketika akhirnya berbicara,
Syeena mengalihkan pandangan tidak berani menatap mata Natasya langsung. “Mungkin karena kami sudah lama nggak bertemu, jadinya canggung waktu bertemu lagi."
Bibir Natasya membulat membentuk sebuah o. "Jadi, kalau nanti perpisahan, Tasya bakalan canggung sama teman sekolah Tasya dong, Bun?"
"Iya pasti," jawab Syeena cepat sambil mendorong Natasya turun dari pangkuannya. Keduanya beranjak masuk kamar karena kabut semakin tebal, hawa dingin menusuk sampai ke tulang.
Di tempat lain, Rayhan masih berdiri di balkon kamarnya. Dia tengah meresapi gejolak dalam d**a. Rasa rindu yang menyiksanya kembali naik ke permukaan. Rasa ikhlas yang dulu pernah dia ucapkan ketika Syeena pergi, ditarik kembali. Rayhan ternyata sama sekali tidak rela dengan kenyataan bahwa Syeena pernah menjadi istri pria lain. Dia masih ingin memiliki Syeena.
Rayhan keluar dari kamarnya, terkejut melihat Desti duduk di ruang televisi. Seingatnya, dia sudah mengunci pintu apartemennya.
"Desti?" Rayhan mendekat beberapa langkah, bersedekap, dengan raut wajah tak acuh. “Kamu lancang banget masuk ke sini tanpa permisi."
Bibir tipis Desti membentuk senyuman manis. "Kamu sulit banget dihubungi sejak kemarin, Ray. Aku khawatir, ya sudah aku susul kamu ke sini," jawabnya kemudian berdiri, menghampiri Rayhan. "Nggak masalah, kan?"
Rayhan mendengkus. Dalam batinnya, ia merutuk. Andaikan saja tragedi silam tak terjadi, mungkin dirinya tidak akan terikat dengan Desti seperti sekarang. Mereka sudah bertunangan sejak empat tahun lalu, tetapi tidak ada secuil pun hatinya tergerak untuk segera menuju pelaminan. Setiap kali melihat atau bersinggungan dengan Desti membuat detak jantungnya melambat, hatinya bergolak tak suka.
Rayhan melengos lalu melangkah ke dapur, menjauhi Desti. "Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau, Des." Rayhan mengambil air minum dari kulkas kemudian menegaknya hingga tandas. Cuaca harusnya terasa dingin, tetapi mendadak terasa panas karena kehadiran Desti.
Desti mengikuti lalu dengan lancang memeluk Rayhan dari belakang, menempelkan pipinya di punggung pria itu. "Kamu kenapa? Aku perhatikan sejak kamu ke kota ini, kamu jadi makin nggak peduli sama aku.”
Kening Rayhan mengernyit jijik. Dia berontak melepaskan pelukan Desti lalu menjauh dari jangkauannya. Rayhan berbalik menghadap wanita itu lalu berucap penuh penekanan, "Memang aku seperti apa sebelum ke kota ini? Kita saling menyayangi hanya sebatas sahabat, Des!”
Desti memelotot tak terima. Tangannya mengepal. "Kamu salah, Ray. Kita bukan lagi sahabat, melainkan tunangan!"
Rayhan mengangkat bahu tak peduli. "Buat aku, kamu tetap sahabatku, sama seperti Syeena." Ingatan Rayhan kembali ditarik pada Syeena dan putrinya. "Aku bertemu Syeena. Dia sudah punya anak, perempuan, sudah besar."
Tubuh Desti menegang, wajahnya pucat pasi. Tangannya mengepal. “Kamu bertemu Syeena? Dia sudah menikah?"
Rayhan mengangguk, sedetik kemudian menggeleng. “Entah, dia bilang ayah dari anaknya pergi dan nggak akan pernah kembali.” Rayhan diam beberapa saat. Dia menatap Desti tajam. “Aku taksir, usia putrinya sekitar sepuluh atau sebelas tahunan."
Desti tertegun. Jantungnya berdebar cepat. Pikirannya berkelana pada malam ketika Rayhan mabuk dan tanpa sadar telah meniduri Syeena. Tepatnya dua belas tahun lalu, batinnya. Desti sudah menduga anak yang Rayhan sebutkan adalah hasil dari hubungan itu. Hatinya dilanda gelisah, khawatir kebohongannya terbongkar. Tanpa sadar, Desti menggeleng, sementara tangannya terkepal kuat. Dia tidak akan membiarkan kekhawatirannya menjadi nyata. Rayhan tidak boleh meninggalkannya.
Melihat gestur tubuh Desti yang terkesan aneh, Rayhan bertanya, "Kamu kenapa?"
Desti tersenyum. "Ah, nggak apa-apa, aku senang akhirnya bisa tahu keberadaan Syeena. Kamu bisa mengantarku menemui Syeena, kan?"
Rayhan tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku yakin kamu juga akan menyukai putrinya Syeena."
Desti meringis, lantas berbalik berjalan menuju kursi. Tidak akan, Rayhan. Aku tidak akan menyukainya karena bertemunya kalian adalah bumerang buatku. Dengan tatapan sinis, Desti menjawab, "Ya, tentu saja. Aku pasti akan sangat menyukainya."
***
"Bunda, kepangin rambut aku dong!" Natasya berseru sambil berlari ke kamar Syeena. Kening Natasya mengernyit heran melihat kamar bundanya kosong. Dia kembali memanggil bundanya. Beberapa saat kemudian, Natasya tersentak kaget dikejutkan Syeena dari arah belakang. Bibir anak itu langsung mencebik, tangannya mengusap d**a. “Kaget, Bunda!”
Syeena tertawa melihat putrinya yang sudah rapi memakai seragam. Dia mendekat ke arah Natasya. "Makanya, jangan suka teriak-teriak. Bunda juga sering, lho, kaget kayak gitu dengar teriakan kamu."
"Bunda bilang jangan dendam, tapi Bunda sendiri dendam. Bagaimana sih?" cibir Natasya.
Syeena menggeleng. "Bunda bukan dendam," bantahnya, "tapi kasih pelajaran supaya kamu nggak teriak sembarangan lagi. Ya kalau sudah biasa seperti Bunda, kalau orangnya kagetan, gimana?"
Natasya hanya memberengut sebal, menatap bundanya.
"Mana ikat rambut sama sisirnya?" Syeena mengalihkan pembicaraan.
Natasya memberikan satu ikat rambut beserta sisirnya kemudian mengekor Syeena menuju ruang tengah lalu duduk di depan bundanya. "Bun, Nanti kalau ada yang ngejekin Tasya lagi jangan dilawan?"
Syeena tersenyum. "Iya, Sayang. Siapa pun dan bagaimanapun mereka mengejek kamu, jangan didengarkan, jangan dihajar juga. Itu pun kalau kamu sayang Bunda sih."
"Ya iyalah, Tasya sayang Bunda. Ya sudah deh, Tasya ngalah demi Bunda."
Senyum Syeena mengembang, sesekali menepuk bahu putrinya pelan. "Duh, baik banget anaknya Bunda, jadi tambah sayang."
"Iya dong kalau nanti ada yang ngejek, Tasya melotot sambil bilang, ‘Untung ingat kata Bunda, kalau nggak sudah aku bejek-bejek sampai bonyok’."
"Hush! Kok, gitu sih? Itu bukan ngalah dong namanya."
Natasya terkikik geli. "Bercanda, Bunda. Nanti biar aku pergi saja, kalau ada yang ngejekin. Demi Bunda!" ucapnya penuh keteguhan.
Syeena mengelus rambut Natasya. "Kesayangannya Bunda."
Natasya mendongak, mengedipkan sebelah mata, sambil tersenyum lebar. "Kan, Tasya sayang sama Bunda."
Syeena menggeleng pelan, mengecup ujung hidung runcing Natasya. putrinya sangat manja padanya, sedangkan di luar, putrinya sulit mengontrol emosi. Syeena mengerti, apa yang dilakukan Natasya adalah bentuk perlindungan diri.
Syeena mengantar putrinya sampai teras rumah, tersenyum lembut menatap punggung Natasya yang mulai menjauh dari pandangannya. Setelah memastikan Natasya berbelok, tidak terlihat lagi, Syeena masuk rumah. Dia pun harus bersiap-siap berangkat ke toko.
Natasya bersenandung riang, sesekali melompat, sementara tangannya menggenggam tali tasnya. Sampai di jalan besar, langkah Natasya terhenti melihat Rayhan bersama seorang wanita.
"Kamu mau berangkat sekolah, Sya?" sapa Rayhan semakin mendekat ke arah Natasya.
"Bukan, Om. Tasya mau berangkat cari ikan di solokan. Om mau ikut?" jawabnya ngawur.
Rayhan terkekeh, mengusap puncak kepala Natasya. Sementara, Desti sedari tadi diam, menahan diri agar tidak menunjukkan ekspresi yang membuat Rayhan kesal padanya.
Desti tersenyum, maju tiga langkah, lebih mendekat pada Natasya. “Kamu Natasya, ya?” sapa Desti dengan nada lembut.
Dia tahu nama anak Syeena dari Rayhan, karena sepanjang perjalanan, Rayhan bercerita banyak, meski sebenarnya, dia tidak suka mendengarnya. Desti menganjurkan tangan, mengusap puncak kepala Natasya dua kali. “Ternyata benar, kamu cantik banget, manis lagi.”
Natasya bisa merasakan ketidaktulusan dari wanita cantik di depannya. Senyuman wanita itu begitu dipaksakan, sehingga lebih terlihat mengerikan daripada cantik. Usapan di puncak kepalanya terasa kasar. Natasya mundur beberapa langkah.
Senyum Rayhan memudar, keningnya mengernyit melihat reaksi yang ditunjukkan Natasya terhadap Desti. Rayhan merangkul Natasya. “Kenapa? Kamu kayak takut sama dia?” tunjuknya ke arah Desti.
Desti tetap tersenyum, mengabaikan ucapan Rayhan. “Mungkin dia masih kaget ketemu sama aku, Ray,” jawabnya mempertahankan keanggunannya. Desti menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Dia menganjurkan tangan. “Tante juga sahabatnya bunda kamu. Nama Tante, Desti.”
Ragu-ragu, Natasya mendongak ke arah Rayhan. “Tasya berangkat sekolah dulu, Om,” pamitnya mengabaikan perkenalan ramah dari wanita di depannya. Natasya merasakan hal lain dari wanita itu, tampilannya tampak mewah, tetapi setiap kali melihat wajahnya, d**a Natasya berdesir takut. Natasya mulai melangkah melewati Desti, saat bersinggungan, Natasya menyempatkan mendelik ke arah Desti. Kesan pertama, Natasya tak suka dengan wanita itu.