Prolog
Nyaringnya gedoran membuat Syeena segera berlari menuju pintu. Syeena membukakan pintu dan tampaklah seorang wanita berpakaian glamor memakai perhiasan emas di tangan dan lehernya. Di sebelah wanita itu berdiri seorang anak lelaki dengan beberapa memar di pipi. Bibirnya bengkak dan berdarah.
"Mana anak kamu?!" bentak wanita tersebut, memelototi Syeena berang. Sementara tangannya berkacak pinggang, bersikap angkuh.
Syeena terkejut, keningnya mengernyit bingung. Namun hanya sekejap. Raut wajahnya kembali terlihat tenang, berbanding terbalik dengan hatinya yang dilanda cemas. “Maaf, Bu. Ada apa Ibu cari anak saya?"
"Ini!" Wanita arogan tersebut menunjuk anak lelakinya. "Ini semua ulah anak kamu!"
Syeena memejamkan mata sejenak, pusing oleh ulah putrinya itu.
"Dasar anak emak! Beraninya ngadu sama emaknya!"
Tatapan Syeena beralih pada putrinya, Natasya, yang baru pulang. Gadis itu berdiri di belakang wanita arogan tersebut, bersedekap santai tanpa ada raut bersalah sedikit pun.
"Natasya," peringat Syeena geram.
"Memang iya, Bun." Natasya menyela, melakukan pembelaan diri kemudian mendekat ke arah bundanya. Dagu lancip Natasya terangkat angkuh tak gentar sama sekali.
"Kamu bilang nggak sama emak, kenapa aku hajar?"
"Natasya!" Syeena membentak putrinya yang sudah melampaui batas.
"Dia yang cari gara-gara duluan, Bun. Dia jual, ya, aku belilah...."
Syeena mengurut kening, tak habis pikir dengan keberanian putrinya. "Maaf, Bu …."
"Nggak, Bun. Bukan kita yang minta maaf. Ada juga dia yang harus minta maaf sama aku," sela Natasya dengan nada menyalahkan anak lelaki yang sedari tadi diam, sementara matanya mendelik tak terima.
"Natasya!" Syeena menyambar lengan putrinya, memaksa masuk rumah.
"Saya bakalan …."
"Bunda!" sergah Natasya tak setuju, mengintip dari belakang badan bundanya. "Tasya nggak salah, Bun! Dia yang mulai duluan ngatain Tasya anak jalang."
Mendengar ucapan Natasya yang lantang itu, Syeena bergeming. Meskipun tindakan putrinya untuk membela diri, tetap saja dia tidak bisa menoleransi tindak kekerasan. Syeena tidak mau putrinya semakin menjadi bahan cemoohan orang lain akibat kelakuannya sendiri.
"Memang benar kamu anak jalang, kalau bukan anak jalang terus anak siapa? Nggak jelas siapa bapaknya." Wanita arogan nan angkuh itu mencibir sinis. “Kamu harusnya nggak melahirkan anak kayak dia. Nggak bisa dididik, pembuat onar. Besar sedikit bisa jadi penjahat.”
"Maaf, Bu." Syeena menghentikan hinaan wanita arogan tersebut. Tangan Syeena terkepal, telinganya tidak terlalu kuat menampung cacian, terlebih pada putrinya. "Minta maaf, Tasya!"
Natasya mendongak menatap bundanya, bibirnya menganga tak percaya.
“Tapi, Bun ....”
“Minta maaf!” tekan Syeena tanpa bisa dibantah.
Natasya menunduk, mencebik tak terima.
“Maaf,” ucapnya terpaksa.
Syeena merasa amarahnya sudah di ubun-ubun, sebisa mungkin menahan diri agar tidak lepas kendali. Apalagi melihat dagu wanita tersebut semakin tinggi, merasa menang.
Natasya bergeming, menatap sengit tamu tak diundang yang sudah membuat kegaduhan.
Syeena melirik ke sisinya. “Natasya … kamu tahu, Bunda paling nggak suka mengulang perintah,” tegur Syeena dengan nada rendah memperingatkan.
Natasya mengentakkan kaki kesal, berlalu dari sana.
Setelah mendengar derap langkah putrinya menjauh, Syeena kemudian berucap, “Saya akan tanggung biaya perawatan lukanya bila perlu. Saya juga sudah mendidik putri saya dengan baik. Walaupun nggak sepenuhnya kesalahan terletak pada Natasya.” Syeena melirik anak tersebut sekilas. “Dan Anda, didik anak Anda supaya bisa menjaga ucapannya.”
Syeena maju dua langkah. “Anda juga ... tolong untuk lebih bisa menjadi orang tua yang bijak. Bagaimanapun, status putri saya, itu nggak merugikan Anda atau keluarga Anda. Silakan pergi dari sini.”
Syeena berbalik, masuk rumah, dan langsung menutup pintu tanpa permisi. Wanita itu orang tua keberapa yang datang minggu ini. Mengapa putrinya senang sekali membuat onar? Syeena bersandar di pintu, mengembuskan napas lelah.Dia lupa mengajari putrinya agar menerima kenyataan, dan untuk tidak melawan takdir. Karena yang dia rasa, balasan takdir selalu kejam. Bahkan pada orang yang tidak bersalah.
Syeena berdiri tegak saat melihat Natasya menghampirinya dengan tatapan penuh ketidaksetujuan, merengut tak suka.
“Semua bukan salah Tasya, kenapa Bunda malah suruh Tasya minta maaf sama dia?” protes Natasya menatap bundanya kesal.
Tatapan Syeena semakin tajam, amarah menggelegak dalam dadanya. Sampai mulutnya mengeluarkan busa pun perkataannya tidak pernah didengar oleh Natasya. “Bunda sudah sering bilang jangan mudah terpancing, Tasya!" bentak Syeena kehilangan kendali. “Kenapa sih kamu keras kepala banget? Kamu nggak kasihan sama Bunda?”
Syeena menyambar tangan putrinya, mencengkeramnya kuat, menyeret Natasya ke kamarnya.
"Bun," Natasya tersentak kaget, terseok mengikuti langkah bundanya. Tubuhnya bergetar ketakutan, meringis kesakitan akibat cengkeraman Syeena yang terlalu kuat. Natasya tak berani melihat ekspresi bundanya.
Keberanian yang sedari tadi ditunjukkannya menguap begitu saja.
Syeena membuang pandangannya ke lain arah supaya tidak menatap putrinya dan berakhir dengan dirinya luluh. Setelah berhasil menguatkan diri, barulah dia kembali menatap Natasya, penuh amarah. “Bunda bilang, jangan sok jagoan! Mau jadi apa kamu ini, hah?!"
Natasya mulai menangis. "Dia sering banget menghina Tasya, Bunda..." Gadis itu masih berusaha membela diri, tak menyangka bundanya akan semarah ini. Sebelumnya, bundanya hanya akan menegur atau menasihatinya. Lalu semua akan selesai saat itu juga.
Syeena memejam beberapa saat, menulikan diri terhadap tangisan Natasya. Sesak memenuhi rongga dadanya, terlintas penyesalan karena nyatanya putrinya menderita. “Ya kamu diamkan saja. Jangan membuat ulah! Mereka menghina kamu nggak buat mata kamu hilang. Kamu dapat apa habis menghajar anak itu? Nggak dapat apa-apa, kan?!"
Natasya berdiri, memeluk bundanya, meminta maaf berulang kali, terpaksa berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya.
"Mengalah nggak buat kamu rugi, Tasya." Syeena membalas pelukan putrinya.