Sejak sore itu, Mira benar-benar tak mampu menahan diri. Ia meng-inginkan lelaki itu. Sungguh!
Ia ingin selalu di dekat lelaki itu. Mengajaknya bicara walau tak urung ia sedikit kecewa karena Wirdan hanya bicara seperlunya. Hanya bicara ketika ia bertanya. Selebihnya hanya sebatas menyapa dengan ramah. Hanya itu. Tak ada tanda-tanda sepertinya. Tanda-tanda jiwa yang sedang jatuh cinta. Meski ia tahu, lelaki itu menganut cinta suci yang diabadikan lewat doa kepada-Nya. Tapi ia tak menyerah. Ia ingin, ia lah yang menjadi cinta diam-diam milik lelaki itu. Ia lah yang namanya dilantunkan lelaki itu di dalam doanya. Tapi bagai-mana caranya? Bagaimana cara menakhlukan lelaki itu?
Menginginkannya sama seperti ia menginginkan lelaki itu?
“Katanya, cinta itu membangkitkan semangat, Mir! Ini kok malah loyo?” nyinyir Khayra yang entah muncul dari mana. Setahunya, gadis itu tak ikut rombongan MJ saat berangkat tadi. Tapi kini? Malah tepat hadir di depannya dengan senyum ceria. Jilbabnya yang lebar berterbangan diterpa angin jalanan. Sore ini mereka menghabis-kan waktu di Kota Tua lagi.
“Cinta-cintaan sih boleh. Karena perasaan, gak ada yang bisa larang.”
Ia malah berceloteh sendiri membuat Mira yang sedang menunggu pesanan kerak telor, terkekeh. Khayra memang seperti itu. Ia tak peduli apakah orang lain mau mendengar ucapannya atau tidak. Ia akan tetap bicara.
“Tapi, kalo bisa ditahan. Apalagi kalo belum siap nikah. Mending jangan main-main deh. Karena setan itu dimana-mana, Mir. Mereka ber-dakwah dengan tujuan keburukan dan kesesatan.”
Kali ini, Mira yang bebal akan ucapannya hanya menggelengkan kepala. Khayra tahu, ucapannya hanya akan masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri. Tapi ia juga tak kalah bebalnya. Kebenaran itu harus di-tegakan!
Mira malah asyik menatap Wirdan yang sibuk mengajari anak-anak. Ia memang cenderung menjadi bagian sampingan setiap berkumpul. Ia selalu menolak untuk ikut mengajarkan anak-anak itu. Merasa kecil. Merasa tak tahu apa yang harus ia bagi. Khayra berhenti mengoceh. Sadar betul jika ucapannya benar-benar tak didengar. Gadis berjilbab itu berkacak pinggang. Lalu mengusap-ngusap wajah Mira dengan kuat sembari menyeru 'tobat Mir, tobat!'. Delia yang sedang berjalan ke arah mereka terkikik-kikik geli.
“Entar kalo udah gak nafas baru tahu penyesalannya, Mir!” ketus Khayra agak senewen lalu duduk di sebelahnya. Delia hanya menggeleng. Sebebal-bebalnya Mira, masih ada lagi yang lebih bebal lagi. Sahabatnya yang satu lagi yang katanya menunggu hidayah untuk memakai kerudung. Padahal kerudung itu kewajiban. Tapi yah.... Delia tak mau ambil pusing seperti Khayra.
“Kamu mah ngomongnya gitu!”
Khayra malah mencibir. “Yeee bener kali! Coba aja kalo gak percaya!”
“Amit-amit. Amit-amit,” sergah Mira yang disambut kekehan Delia.
“Ngucapnya istigfar bukannya amit-amit,” nasihat Delia yang mem-buat Mira mencebik kesal karena merasa diserang dua orang di sekitarnya.
“Nayaaaaaa tolongiiiiin!” teriaknya pada Naya yang terus menempel pada pacarnya—Firman. Delia mendengus seketika. Ia paling malas meng-hadapi Mira jika sudah berkomplot dengan Naya. Tak kan menang!
Karena apa?
Naya akan menyangkal semua ucapannya. Ia masih ingat per-debatannya setahun lalu gara-gara ia menyuruh gadis itu memakai kerudung. Anak gaul Jakarta yang tak pernah ketinggalan tren itu tentu saja menolak mentah-mentah. “Nih ya, Del. Nyokap gue aja gak pakek kerudung. Padahal di sekitar rumah gue itu, emak-emak sama anak gadisnya pada pakek kerudung. Tapi gimana coba kelakuannya?”
Ia menarik nafas lalu melanjutkan ucapannya dengan menggebu-gebu. Air ludahnya muncrat-muncrat ke wajah Delia. Membuat gadis itu berdoa dalam hati. Sabar-sabar, doanya.
“Suka ngegosip! Ngegunjingin orang! Emak gue yang gak pakek kerudung gak pernah tuh ngegosip kayak gitu. Gak pernah tuh ngegunjing kayak gitu. Apa gak malu tuh udah pakek kerudung tapi kelakuan minus?”
Kali ini posenya berubah dari duduk lalu berdiri sambil berkacak pinggang di depan Delia yang tiba-tiba tak berdaya.
“Yang penting itu bukan kerudungnya, Del! Tapi kelakuannya!” tuturnya menggebu. “Percuma aja pakek kerudung tapi kelakuan minus gitu!”
Malah gue yang disemprot, keluh Delia dalam hati. Gadis itu memilih diam walau hatinya gondok juga. Sahabatnya ini malah mengambil contoh gadis berkerudung yang hatinya juga tak dikerudungi. Padahal banyak sekali di luar sana, gadis berkerudung yang baik akhlaknya, keren prestasi-nya dan sangat menginspirasi.
“Nayaaaaa! Aiish!”
Mira mendesis kesal. Naya malah mengabaikannya dengan berdadah ria lalu menggandeng pacarnya. Khayra dan Delia kompak menggeleng. Entah kapan tobatnya gadis yang satu itu. Keduanya hanya mampu berdoa.
Semoga Allah segera menurunkan hidayah-Nya. Semoga Allah masih ber-kenan membuka hatinya. Semoga Allah tidak mengunci hatinya seperti mengunci hati orang-orang kafir.
“Udah dapet semua?”
Mira berteriak usai membagikan kerak-kerak telor itu. Para anak-anak jalanan dan teman-temannya kompak berseru 'belum dua kali!' membuatnya manyun hingga tawa mereka menguar. Berhasil membuat Mira kesal. Namun tak urung, ia tertawa juga. Apalagi saat matanya me-nangkap sosok Wirdan yang juga berseru yang sama. Rasanya bahagia sekali.
“Makan, Mir makan!” nyinyir Khayra yang akhir-akhir ini gemar sekali menggoda. “Jangan diliatin mulu!”
“Liatin siapa?”
Tiba-tiba suara lain muncul. Membuat dua gadis itu membeku lalu menoleh ke sumber suara. Gadis berjilbab peach itu muncul dari depan mereka. Menenteng kerak telornya lalu duduk dengan santai mengabaikan dua orang yang masih termangu.
Mira nyengir ketika sadar. Sementara Khayra hanya diam. Ia mulai was-was. Gadis berjilbab yang satu ini berbeda dari kebanyakan orang.
“Tadi liatin siapa?”
Gadis itu bertanya lagi. Mira hanya terkekeh. Sementara Delia yang baru bergabung malah menyeletuk.
“Lelaki soleh, Mbak!”
Aisyah-—gadis berjilbab peach—itu terkekeh kecil. Sementara Mira nampak menimbang-nimbang. Aisyah ini kakak tingkatnya di fakultas ber-beda. Tak sekedar berjilbab. Tak sekedar cantik. Tak sekedar cerdas. Tapi juga insya Allah ia adalah wanita soleha. Dan....gadis ini adalah sepupu Wirdan. Keluarga yang paling dekat dengan Wirdan di sini.
“Kok ketawa sih, Mbak? Wajar kan kalo gadis maunya dapet jodoh yang soleh?” Mira bertanya. Pertanyaan yang bisa Aisyah tebak kemana arahnya. Ia tak perlu bertanya apa maksud Mira mempertanyakan itu. Ia tahu pasti. Karena kelebihan ini, sedikit mengorek privasi orang-orang di sekitarnya.
“Kalau mau dapat lelaki soleh berarti harus soleha dulu kan, Kak?”
Kali ini, Khayra yang mengajukan pertanyaan.
“Betul! Karena Allah menjanjikan, wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Dan....setiap lelaki soleh pasti mendambakan wanita yang soleha. Karena sebaik-baiknya wanita soleha ialah perhiasan. Mereka perhiasan mahal. Tak bisa dibeli dengan kenikmatan dunia. Bahkan para bidadari surga saja cemburu pada mereka,” jelas Aisyah yang membuat Mira tertegun lama.
Kalau dimata manusia, khususnya dimata Mira. Ia tahu kalau tipe lelaki yang menjaga pandangannya, menjaga pergaulannya dari perempuan seperti Wirdan, bisa ia katakan, lelaki itu soleh. Sekarang pertanyaannya, apakah ia soleha sehingga pantas mendampingi lelaki soleh seperti itu?
Namun hatinya menyangkal. Banyak juga lelaki soleh atau perempuan soleha yang mendapatkan jodoh yang berbanding terbalik dengan mereka. Tapi apa benar asumsinya? Padahal jelas-jelas, bahwa wanita yang k**i untuk lelaki yang k**i. Begitu pun sebaliknya. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik.
“Wanita soleha itu tak dilihat dari luarnya saja kan, Mbak?”
Ia berani mengeluarkan pertanyaan yang menurut Delia dan Khayra itu adalah pertanyaan ekstrem. Apalagi bertanya pada gadis yang satu ini.
“Kita gunakan saja akal kita. Apa betul, orang-orang akan beranggap-an bahwa seorang wanita yang memakai baju ketat meski tertutup auratnya namun lekukannya masih nampak adalah wanita soleha?”
Pertanyaannya malah dibalas telak oleh Aisyah yang nampak santai memakan makanannya. Ucapan gadis itu sangat menusuk hatinya sampai ke akar-akarnya. Karena ia tak bisa menyangkal. Orang-orang pasti akan beranggapan yang sama.
“Kebanyakan orang pasti akan langsung menduga wanita soleha itu yang menutup dirinya dengan utuh. Wanita yang kalau memakai baju benar-benar baju. Bukan wanita yang memakai baju tetapi seperti tak memakai baju karena lekukannya dipamerkan kemana-mana.”
Aisyah berbicara santai. Namun ia sadar sekali betapa keruhnya wajah Mira sekarang. Mira sadar, ia jauh sekali. Tak perlu mengambil cermin untuk melihat diri. Baju yang sering dikenakannya adalah baju kaos yang ketat. Lalu celana? Celananya tak kalah ketatnya. Sedangkan kerudungnya? Dililit dibagian leher. Namun terkadang ia biarkan saja. Tapi tetap tak bisa menutupi keseluruhan tubuhnya. Tak bisa menutup lekuk indah itu.
Padahal ia adalah wanita. Wanita itu adalah perhiasan. Tapi ia gemar sekali memamerkan tubuhnya. Bangga ketika mendengar bibir-bibir manusia memuji indah tubuhnya. Namun sayang, dimata Allah, ia malah terlihat hina. Ia tak lebih dari perhiasan yang mudah dicari. Perhiasan yang mudah diobral. Perhiasan yang mudah ditawar. Perhiasan yang mudah dibeli. Dia lah perhiasan murahan.