Akhir-akhir ini ia sering melamun. Ingatannya selalu terngiang-ngiang akan ucapan-ucapan Aisyah kala itu. Ia membenarkan ucapan itu tapi, hatinya belum tersentuh secara penuh. Masih sulit menerima namun tak bisa menyangkal. Memang tak semua wanita yang menutupi diri dengan benar adalah wanita soleha. Karena kesolehan seseorang itu kan yang menilai Allah. Manusia hanya berasumsi kalau rata-rata wanita soleha itu adalah mereka yang benar-benar menutup diri. Mulai dari hal yang sederhana saja, yaitu pakaian. Mereka sudah memakai pakaian yang benar-benar pakaian, tak ada lekukan dan menutup aurat. Setiap orang pasti mengira ia adalah wanita soleha. Karena ia berani menutupi keindahannya. Walaupun akhlak dan hatinya tak ada yang tahu kecuali Allah. Namun tak ada satu pun manusia akan mengatakan bahwa wanita soleha itu yang jika memakai baju, lekukan-nya masih terlihat. Padahal seharusnya, perhiasan itu dijaga. Agar tak mudah dijamah. Agar tak diganggu. Tapi raga yang punya malah tak peduli.
Pikirannya entah kemana. Rasanya, energinya terkuras habis hanya karena ucapan-ucapan Aisyah yang masih terngiang-ngiang. Apalagi kini ia malah berpikir, pantas saja Wirdan tak meliriknya. Lelaki seperti itu pasti menginginkan perhiasan mahal. Perhiasan yang tak bisa dibeli dengan uang. Tapi hanya dengan keimanan. Sedangkan ia?
Haah. Ia menelungkupkan wajahnya. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa harus merubah pakaiannya? Pakaian yang benar-enar pakaian? Tapi ia belum siap. Sungguh!
Namun hatinya yang putih selalu mengingatkannya akan ucapan Khayra saat mengajaknya berkerudung diawal masuk kuliah dulu.
“Kerudung itu dipakai bukan saat dapat hidayah, Mir. Bukan pula menunggu kita siap. Bukan pula menunggu akhlak kita benar-benar terpuji. Karena akhlak manusia kini tak ada yang benar-benar terpuji, Mir. Tak ada yang benar-benar suci. Pasti ada kotornya, ada buruknya. Kalau menunggu bersih hatinya, bersih akhlaknya, tak kan pernah bisa, Mir. Yang ada nih, malah keburu dikerudungin sama kafan. Mau kau?”
Ia terkikik kecil setiap ingat ucapan itu. Ucapan lembut yang sanggup menyentuh permukaan hatinya kala itu. Yah, kerudung yang tersemat ini memang sedikit banyak karena terpengaruh ucapan Khayra.
“Harus ya berjilbab itu?” ia bertanya ketika jam kuliah membosankan itu berakhir. Khayra dan Delia kompak menoleh. Dua gadis berjilbab itu mengembang senyum.
“Wajib, Mir. Memang seharusnya berjilbab!” timpal Delia yang nampak senang.
“Mau nyoba?” tawar Khayra. Gadis berjilbab itu bersemangat sekali. Mira nampak diam sementara dua sahabatnya menunggu jawaban. Namun beberapa detik kemudian ia mengangguk meski hatinya masih ragu. Lalu ia disambut sorakan dua sahabatnya. Bahagia hanya karena sahabatnya memutuskan untuk berjilbab sama seperti mereka. Dan ia hanya membalas dengan senyum. Semoga keputusan yang ia ambil ini adalah keputusan menuju kebaikan.
“Nyoba apaan?” Naya tiba-tiba nimbrung.
“Pa-kai jil-bab!” eja Delia setengah mencibir.
Gadis berambut panjang itu langsung menoleh pada Mira yang menampi-lkan wajah datar. “Ngapain lo pakek-pakek jilbab? Gini aja udah bagus kok! Modis!” serunya yang dibalas helaan nafas malas dan putaran bola mata jengah milik Delia. Dua gadis itu memang jarang akur. Tapi anehnya, keduanya akrab sekali.
“Gak usah dengerin, Mir. Setan itu dimana-mana emang menyesatkan!” Delia menimpal lalu bergegas pergi. Khayra mengikuti langkahnya sambil terkikik. Gadis yang satu ini memang terkenal tak peduli pada perasaan orang lain jika sudah menyangkut kebaikan. Mau orang itu sakit hati namun untuk kebaikan ya bodo amat. Toh ia tak bermaksud untuk menyesatkan.
“Nah kan! Mulutnya gak bisa dijaga padahal pakek jilbab!” Naya membalas lalu berlari menyusul dua sahabatnya. Mira hanya menggeleng-kan kepalanya. Ada rahasia apa, Allah menyatukan mereka dalam ikatan persahabatan ini?
Dengan senang hati Khayra memberikan sedikit gamisnya pada Mira. Sedangkan Delia menyumbangkan sedikit roknya. Ia tahu, Mira butuh waktu dan kepercayaan diri. Belajar sedikit demi sedikit untuk benar-benar berjilbab.
“Kaosmu banyak kan, Mir?”
Mira mengangguk. Gadis itu sedang menyusun rok-rok dan gamis pemberian sahabatnya.
“Padu padankan aja dulu sama rok-rok ini. Kerudungnya dipanjang-in. Nanti kalo ada rezeki, insya Allah aku beliin yang baru deh!” janji Delia.
Mira menoleh padanya lalu tersenyum tipis. Lihatlah sahabatnya ini. Biar kata tak mampu, kuliah hanya berbekal beasiswa, tapi masih mau membantu. Padahal ia tahu, Delia pasti kesulitan menabung sisa beasiswa-nya jika membantunya. “Gak usah. Aku ada banyak kok.”
“Heh! Orang mau nambah pahala jangan dihalang-halang!” sergahnya yang dibalas cekikikan oleh Mira. Tidak Delia, tidak pula Khayra. Keduanya sama bebalnya. Bebal yang baik. Bebal demi berjihad di jalan-Nya.
“Kaos kakimu ada, Mir?”
Khayra muncul dengan dua pasang kaos kaki cokelat yang masih baru.
“Nanti aku beli aja.”
“Udah pakai ini aja. Aku masih banyak kok. Biasaaa beli yang murahan!” nyinyirnya lalu terkekeh-kekeh. Mira menggelengkan kepalanya namun tak urung menerima juga. Tapi ia bingung saat melihat tak hanya kaos kaki ditangannya tapi juga sebuah buku yang diserahkan Khayra. “Belajar nyempurnain ibadah. Biar kata manusia gak sempurna, ibadah kita harus sempurna, Mir. Dan kau harus tahu, selangkah saja kita mendekat pada-Nya maka seribu langkah Dia mendekat padamu.”
Berjilbab.
Awalnya agak risih. Karena ia belum terbiasa. Tapi memasuki minggu kedua ini, kepercayaan dirinya mulai muncul. Ada rasa bahagia yang menerpa-nya. Apalagi ketika teman-teman komunitasnya mengucapkan selamat. Selamat karena kembali ke jalan-Nya. Membuatnya terheran-heran hingga kini.
Sejak minggu pertama ia memakai jilbab, laki-laki itu tak muncul hingga minggu kedua ini. Entah pergi kemana, ia tak tahu. Ia terlalu malu untuk bertanya. Tapi ketika melihat lelaki itu hadir kembali di minggu ketiga ini, ia ingin memunculkan diri. Menunjukan dirinya di hadapan lelaki itu. Kalau ia sudah berubah. Pakaiannya jauh lebih baik. Jauh lebih tertutup. Cinta yang ia pendam. Cinta yang membuatnya banyak berubah. Namun ia masih keliru. Cinta diam-diam ini malah membuatnya ingin terlihat sempurna dimata Wirdan. Berpakaian muslimah hanya agar Wirdan meliriknya. Tapi ternyata, Wirdan malah tak merespon sama sekali. Sikap lelaki itu masih sama. Sama seperti ia menghadapi wanita manapun. Tak ada tanda suka apalagi cinta. Membuat perasaannya yang sensitif itu sakit hati. Kepercayaan diri yang ia tanam hancur seketika. Pertahanan diri tak kuat hingga ia roboh. Ia merasa tak ada gunanya berpakaian seperti ini jika Wirdan masih sama. Masih tak meliriknya. Sebenarnya lelaki itu menyukai wanita yang seperti apa? Ia tak berubah, tak dilirik. Ia berubah, tetap tak dilirik.
Ia merasa kecewa. Ia merasa apa yang ia lakukan sia-sia.
Pagi itu, Khayra pamit pada Umminya untuk berangkat ke kampus, menunggu di tepian jalan, menunggu angkutan biru tiba. Namun senyum-nya tiba-tiba memudar ketika sosok lelaki dan perempuan lewat di depannya. Duduk berdua di atas motor. Berpelukan di sepanjang jalan membuatnya merasa jijik seketika. Ia tak kenal perempuan itu. Tapi ia kenal lelaki itu. Ia beristigfar kuat-kuat. Ia tahu penyakit hati ini tak bisa disembuhkan dengan mudah. Masih ada benci itu. Masih ada dendam itu. Tapi ia selalu berdoa agar penyakit ini segera sembuh. Disembuhkan dengan obat yang bernama ke-ikhlasan. Belajar menerima meski tak mudah. Karena ia yakin, Allah mau mem-bantunya. Meski bagai merangkak pelan-pelan untuk dapat berpindah tempat. Maka dari itu ia belajar untuk tak mencintai seseorang melebihi batas kewajaran. Karena bisa jadi, suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang ia benci. Dan itu benar-benar terjadi.
Dulu, ia terlalu mencintainya setengah mati. Kini, ia terlalu membencinya setengah mati. Lagi. Ia beristigfar lirih. Ia tak boleh terlalu larut dalam perasaan kebencian. Sama seperti ia tak boleh terlalu larut dalam perasaan cinta selain cinta kepada-Nya. Ia melambaikan tangan disaat hatinya mulai tenang. Meski gejolak kebencian itu masih ada. Dan amarah masih melingkupi hatinya. Namun ia menahan diri. Ia duduk di dalam kendaraan biru itu. Duduk disana dengan mata yang kosong memandang keluar.
Dua tahun yang kelam dan suram telah ia lewati. Dua tahun yang sulit. Dua tahun yang dirundung duka tiada henti. Dua tahun yang sangat menguji. Tapi semua itu berhasil ia lewati. Meski kepedihan itu masih menyapa. Meski kebencian itu masih singgah. Namun sungguh ia berusaha untuk tak terlalu larut ke dalamnya. Ia belajar untuk menerima dengan lapang dan berpikir....
Oh mungkin ini cara Allah mengetuk pintu hatinya. Ini cara Allah me-ngembalikan ia ke jalan-Nya. Jalan menuju jannah-Nya. Jalan yang jauh lebih indah. Ia tersenyum tipis. Beryukur kepada-Nya karena masih diberi kesempatan memperbaiki diri. Masih diberikan kesempatan untuk kembali. Namun senyumnya pudar saat mata menatap sosok gadis ber-jeans ketat yang sedang berjalan gamang di tepian jalan sana. Hatinya perih seketika. Tangannya langsung mengetuk kaca kuat-kuat dan meminta diberhentikan. Padahal kampusnya tinggal sejengkal lagi. Ia turun dari angkutan biru itu. Berjalan melewati motor-motor yang mengantri untuk berlalu lalang. Pember-hentian dadakan itu membuatnya diturunkan di tengah-tengah jalan.
“MIRAAA!” ia berteriak garang. Membuat beberapa pengendara menoleh kaget padanya. Tapi ia tak peduli. Emosinya naik begitu saja. Dan ia tak bisa mengendalikannya. Amarah ini menelannya dan menenggelam-kannya hingga jatuh jauh ke dalam. Gadis yang dipanggil, mendongak. Kaget melihat sahabatnya muncul dari depannya. Melangkah cepat dengan tatapan garang, marah tapi juga kecewa. “Apa kau tak malu, Mir?” ia berteriak dengan nada marah dan tajam. Ia tak pernah semarah ini. Tapi ia tak kuasa. Ia marah karena begitu mudahnya, Mira kembali memakai baju sebelumnya. Berpakaian tapi seperti t*******g. Tak hanya itu. Ia juga marah, karena Mira begitu mudah mendapatkan hidayah-Nya dibandingkan ia yang begitu sulit. Tapi kenapa semudah itu ia melepasnya?
“Kau....,” ia menunjuk dengan berang. “Kau mempermainkan cinta-Nya, Mira!”
Telunjuknya mengacung ke atas. Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu ber-istigfar lirih. Lagi-lagi ia memohon ampun. Karena ia hanyalah manusia biasa. Manusia yang tak sempurna. Manusia yang sering larut dalam ke-khilafannya.
“Kau harusnya bangga, Mir. Karena Allah tak menunjuk semua hamba-Nya untuk kembali. Untuk mendapat hidayah-Nya. Hidayah yang Dia lempar lewat berbagai cara,” tuturnya menggebu. Tapi dikalimat berikutnya, nadanya memelan turun. “Dan untukmu, lewat rasa cinta.”
“Harta, tahta, cinta itu ujian manusia. Kau kaya, ujian. Kau miskin, ujian. Kau berkuasa, ujian. Kau biasa, ujian. Kau mencinta, ujian. Tidak mencinta pun, ujian,” ia menarik nafas dalam. Hatinya masih terus memohon ampunan kepada-Nya. Ia khilaf, ya Allah. “Ujian itu akan selalu ada selama nyawa masih melekat pada raga, Mir. Selama maut belum men-jemput, Mir. Selama waktumu masih tersisa, Mir.”
“Kenapa kau melepasnya?”
Mira bungkam. Tak berani bersuara. Sementara Khayra malah tak habis pikir. Apa yang ada diotak Mira?
“Kali ini terserahmu. Karena aku telah memperingatimu, Mir. Toh dosamu, kau yang menanggungnya sendiri,” ucapnya pelan dan tajam lalu berbalik pergi. Ia tak mau berkoar lebih panjang lagi. Karena amarah ini tak bisa ia padamkan. Ia harus segera ke kampus. Harus segera mengambil wudhu untuk mengobati amarahnya. Sementara Mira malah membeku di tepian jalan itu. Hanya satu kalimat Khayra yang melekat diotaknya saat itu.
“Kenapa kau melepasnya?”
Kenapa? Kenapa?
Ia termenung diantara keramaian pagi ini. Ia tahu jawabannya. Tapi tak mau mengakuinya.
Kenapa?
Ia menggeleng kuat lalu malah terisak-isak.
“Kenapa kau melepasnya?”
Karena lelaki itu tak meliriknya. Ia berubah atau tidak, lelaki itu tetap tak meliriknya. Karena sedari awal niatnya sudah keliru, memakai jilbab hanya agar Wirdan meliriknya. Lalu membalas perasaannya. Sehingga sama mencintainya. Tapi ternyata tidak. Itu hanya ada dalam angannya. Nyatanya, lelaki itu tak peduli.
Ia kesal. Ia marah. Ia kecewa. Tapi ia lebih kesal. Ia lebih marah. Ia lebih kecewa ketika Khayra memarahinya. Ini belum seberapa. Bagaimana kalau Allah yang memarahinya?
Ia terisak hebat. Terduduk ditanah. Tak peduli pada orang-orang yang menatap heran. Ia malah menangis meraung-raung. Sebenarnya untuk siapa ia berjilbab? Memakai pakaian yang benar-benar menutup diri?
Apa hanya untuk meraih cintanya? Atau cinta-Nya?