Jiwa-Jiwa Cinta

1258 Kata
“Tak hanya ingin melihat, tapi juga ingin memiliki. Ketika itulah cinta telah sirna. Berganti nafsu yang mengatasnamakan cinta. Disaat itulah, kau tak kan bisa membedakan mana yang benar-benar cinta dan mana yang benar-benar nafsu.” Pengingkaran hati. Itulah yang dilakukan Mira ketika bait-bait kalimat yang meluncur dari mulut Khayra sore itu mendominasi pikirannya. Berulang kali ia me-nyangkal. Berulang kali ia mengingkar. Jika rasa yang ia punya benar-benar cinta. Tapi sejauh apapun pengingkaran yang ia lakukan, tetap saja ia tak bisa menampik. Benar, ia ingin memiliki raga lelaki itu. Karena cinta dari-nya saja tak cukup. Karena ia membutuhkan cinta lain sebagai balasan. Cinta dari sosok lelaki yang ia cintai. Inginnya, cinta ini dibalas sama besarnya dengan rasa yang ia punya. Namun sekali lagi. Ia tetap menyangkal. Bahwa ini adalah cinta. Bukan nafsu. Tapi sebenarnya, ia tak mengerti sama sekali. Apa itu cinta? Hatinya ingin di sana. Di masjid dekat danau kampus itu. Tapi raga tak mengizinkan. Setiap kali kakinya hendak berbalik, Khayra seolah memper-ingatkannya dengan tatapan datar gadis itu. Itu nafsu, Mira! Bukan cinta! Cinta. Cinta. Cinta. Mungkin ia belum terlalu paham akan makna kata itu. Kata yang terlalu umum. Kata yang membuat siapa saja bisa tersenyum. Kata yang bisa membuat siapa saja bisa tertawa. Kata yang bahkan bisa membuat siapa saja bahagia. See? Hatinya kembali berseteru. Ini cinta, bukan nafsu! Namun tetap yang namanya hati putih, membela yang haq dan me-nyingkirkan yang batil. Karena cinta akan menjaga pandangannya. Karena cinta akan menjaga pendengarannya. Karena cinta akan menjaga tutur kata-nya. Karena cinta akan menjaga isi hatinya. Karena sejatinya, cinta itu suci. Kalau kotor, namanya bukan cinta. Itu nafsu. Karena dasar-nya, cinta adalah menjaga bukan merusak. Tapi tetap yang namanya hati manusia, seolah tuli ketika mendengar kebenaran menguar. Sekalipun itu untuk kebaikan, hati mereka tetap menyangkal. Dan Mira tetap pada pendiriannya. Bahwa ini adalah cinta. Bukan nafsu. Ia bersikukuh akan hal itu. Hingga memutuskan untuk membukti-kan jika ucapan Khayra tidak benar. Rasa ingin melihat dan memiliki itu wajar. Karena manusia mempunyai naf.... Ia menggeleng kuat-kuat. Menyangkal lagi.   Esoknya ia benar-benar menjauh. Meski hati sungguh tak rela. Apalagi bisikan-bisikan yang terus menggodanya untuk menghampiri masjid atau perpustakaan itu membuatnya tak tahan tapi ia terus bertahan. Kalau baru begini saja ia tergoda, artinya ucapan Khayra benar. Bahwa ini bukan lah cinta. Tapi ini adalah nafsu. Namun sayangnya, takdir seakan sedang mencandainya. Lelaki itu mendadak muncul dimana saja. Saat ia berjalan ke kelas, ia tak sengaja berpapasan dengan lelaki itu. Wajah teduhnya menyapa dengan ramah. Membuat Mira tak kuat lagi me-nopang tubuhnya. Kakinya melemas seketika. Ia baru tahu walau hanya dengan senyuman, lelaki itu mampu menyulap otot-ototnya yang kaku menjadi lemah tak berdaya. Tak hanya itu. Ia juga menjumpai lelaki teduh itu ketika berjalan bersama tiga sahabatnya ke kantin. Lelaki itu sedang duduk bersama teman-teman seangkatannya. Kali ini tak hanya otot kaki yang bermasalah. Tapi telinganya yang bersih dari kotoran itu mendadak dipenuhi tawa milik Wirdan. Tawa yang mengalun membentuk nada-nada. Kemudian menukik-nukik indah mem-bentuk lagu cinta. Lagu yang membuat hatinya tentram seketika. Membuat jiwanya teduh seketika. Tapi tidak dengan jantung yang terus berdentam kuat. Memang yang namanya cinta itu menghanyutkan segala panca indera. Tidak hanya itu. Sepulangnya, saat menunggu angkutan umum di depan kampus, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Ketika ia menoleh, jawabannya ada didekatnya. Lelaki itu sudah berdiri di belakangnya dan tersenyum ketika melihatnya menoleh. Rasanya jiwa Mira melayang seketika. Jiwanya sudah tak bersama raga. Jiwanya menari-nari indah dilangit penuh warna membuatnya menyerah. Ia kalah dengan nafsunya. “Pulang?” Ia bertanya. Karena hatinya sudah tak mampu lagi menampung rangkaian kata yang memberontak ingin keluar. Wirdan hanya balas meng-angguk tapi sanggup membuat ia tak bisa berpaling. Gadis itu diam lalu dengan perlahan mengalihkan pandangannya. Menyembunyikan senyum tipis yang tidak hanya menguasai bibirnya tapi juga jiwanya. Pipinya menampakan warna baru. Warna merah yang pekat sampai ke hati. Merah jambu. Mira berdeham. Gigi-giginya yang putih itu menggigit-gigit bibirnya. Ia gugup. Tapi ia ingin bertanya lagi. Sekedar bertanya hal tak penting seperti biasanya namun saat ia akan menolehkan kepalanya, tiba-tiba hujan mengguyur lebat. Ia dan lelaki itu memundurkan langkah agar tak basah. Tangannya ia lipat di depan d**a. Ujung matanya melirik-lirik lelaki yang kini berdiri tepat di sebelah kanannya. Pipinya makin memerah. Entah pertanda apa ini. Namun bagi Mira, hujan ini adalah berkah baginya dan perasaan ini adalah anugerah terindah baginya. “Hujan ya?” tanyanya dengan nada menggantung. “Padahal lagi buru-buru mau pulang,” bohongnya. Padahal hatinya malah sebaliknya. Mana ia rela pulang lebih cepat jika ada lelaki ini di sampingnya? “Jangan begitu, Mir. Bagaimana pun hujan adalah anugerah dari Allah. Jadi harus disyukuri.” Mira hanya bisa nyengir. Ah, ia memang paling senang mendengar tutur lembut lelaki ini. Padahal, ia memang sengaja memancing pembicara-an. Agar apa? Agar bisa mendengar suaranya. Lalu otaknya akan mereka suara indah itu di dalam hatinya. “Percaya tidak, kalau hujan yang tiba-tiba itu adalah takdir yang diuntai untuk menyatukan dua hati?” Wirdan nyaris menyemburkan tawanya tapi ia tahan mati-matian hingga yang bersisa hanyalah kedut-kedut dibibirnya. Laki-laki itu melirik geli ke arah Mira yang serba salah tingkah. “Maksudnya semacam garis takdir yang disebut jodoh?” Ia bertanya balik dan Mira terlalu malu untuk menganggukan kepalanya. Jujur saja, ia juga tak tahu apa yang ditanyakannya barusan. Ia hanya mengeluarkan isi hatinya. Karena kini hatinya sudah tak mampu menyimpan kata lebih banyak. Terlebih kata-kata itu adalah kata-kata cinta. “Kau terlalu banyak menonton film roman, Mir,” ledek lelaki itu. Mira terkekeh. Senyumnya makin mengembang. Jantungnya semakin kencang bertalu. Wahai Allah....indahnya perasaan ini. Perasaan jatuh cinta. “Film-film roman itu berasal dari kisah kehidupan sehari-hari loh. Jangan salah!” Ia tak mau kalah. Kali ini Wirdan terkekeh kecil. Suara kekehannya menyengat ke dalam hati Mira membuat gadis itu semakin melayang tinggi. “Masa?” tanyanya tak percaya. Bibirnya yang masih berkedut-kedut itu memesonakan Mira. “Setahu ku, film roman itu berasal dari seorang pecinta mimpi. Mana ada hidup yang bahagia selamanya?” Ada, Dan! Ada! Kalau saja kau mau merangkai kisahnya berdua dengan ku! serunya dalam hati. Lalu terkekeh-kekeh kecil. Geli sendiri akan pemikirannya. “Tapi kalau seandainya ada, kau berharap kisah yang seperti apa?” tanyanya penuh harap. “Selama hidup di dunia ini Mir, tak ada yang akan bahagia selama-nya. Karena akan ada maut yang memisahkan.” Mira mengangguk-angguk. Membenarkan. Lelaki ini memang pandai sekali membuka cakrawala pikirannya. Agar melihat dunia lebih luas dan kali ini tentang hidup. Mengingatkan kita bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Kekalnya adalah hidup di akhirat. “Tapi kalau bisa memilih, aku ingin kisahku seperti Ali dan Fatimah. Cinta diam-diam yang dipendam dan hanya dilantunkan lewat doa rindu kepada yang terkasih. Cinta yang menjaga fitrahnya yang suci. Karena memang cinta yang semestinya seperti itu,” jelasnya dengan mata yang lekang memandang ke depan. Hingga muncul angkutan biru di depannya, laki-laki itu tersenyum tipis tanpa melirik sama sekali ke arah Mira. Karena gadis itu masih memikirkan ucapannya. Masih memikirkan kalimatnya. Bahwa cinta yang ia anut dan lelaki itu anut, bertolak belakang. Cinta yang ia anut adalah cinta yang menuntut balasan dan tak mengindahkan prinsip agama. Sehingga membuka peluang setan untuk bekerja keras menggoda iman. Sedangkan Wirdan menganut cinta yang diam-diam dan disampai-kan lewat doa rindu kepada Tuhannya untuk yang terkasih. Cinta yang ingin dijaganya sampai waktunya tiba nanti. Bukan cinta yang ingin dibalas dalam waktu sedekat ini. Bukan cinta yang hanya berlandaskan nafsu sejati. Tapi cinta yang benar-benar cinta sejati. “Duluan, Mir. Assalamualaikum!” pamit lelaki itu. Ia tersenyum tipis. Kini ia paham. Memang seharusnya cinta seperti itu. Karena dasarnya cinta adalah menjaga. “Waalaikumsalam,” bisiknya pelan dengan senyum mengembang. Sementara angkutan biru yang ditumpangi Wirdan sudah melesat jauh. Namun senyumnya tak pernah lepas. Matanya tak lelah memandang. Bahkan rasanya ia ingin menari-nari sekarang. Larut dalam bahagia yang katanya semu. Walau begitu, ia tetap merasa dunia miliknya hari ini. Milik jiwa yang katanya, sedang jatuh cinta.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN