Dear Pelangi
Dear Pelangi,
Kini aku sadar. Aku tak perlu iri pada hujan. Aku tak perlu iri karena hujan memilikimu. Tak perlu. Karena kini aku sadar. Aku punya Tuhan. Allahku. Dia lebih dari cukup bagiku untuk menapaki duniaku yang suram.
Aku tak perlu harta, jika akan membuatku lupa. Walau tanpa keluarga, Ia selalu menemaniku. Ada disisiku. Asal tak miskin imanku, tak miskin akhlakku, tak miskin ilmuku. Aku rela kehilangan segalanya asal tak kehilangan-Nya. Karena dengan-Nya, aku seperti punya segalanya. Lebih dari bumi dan isinya.
Amira Jasmine
Ia menapak jejak di tanah ketika raga membawa lari pikiran menuju kelas yang harus diisinya kala itu. Tangan kanannya menenteng tas selempang. Tangan kirinya memegang helai-helai kertas yang ditulis setiap kali terlintas syukur. Membagi tulisan-tulisan itu di mading-mading kampus. Sekedar mengingatkan bagi mereka yang lupa untuk selalu bersyukur. Walau hidup tak punya apapun. Tak punya harta. Tak punya keluarga. Tak punya jabatan. Jangan sampai tak punya hati. Jangan sampai tak punya iman. Jangan sampai tak punya ilmu. Kakinya menapaki kerasnya lantai. Disapa ratusan mahasiswanya yang mengilir mudik setiap hari di kampus kuning itu. Dibalas senyum ramah olehnya. Senyum yang berbeda dari bertahun-tahun lalu. Tangannya dengan lincah menempel-nempel kertas itu di mading. Beralih dari mading satu ke mading yang lain sembari menapaki jalan menuju kelas. Hingga matanya menangkap poster besar di samping tangan kanannya yang masih menempel pada mading putih itu. Dahinya mengernyit lalu tangannya menarik kuat poster itu. Terpaku. Detik berikutnya, ia berlari menyusuri koridor-koridor kampus menuju auditorium besar yang terpampang diposter itu. Lupa akan jadwal kelasnya yang akan dimulai sepuluh menit lagi. Ia malah menjejak langkah di ruang khusus seminar. Tangan kanannya memegang erat poster itu. Takut poster itu jatuh dan menghilang pergi seperti lelaki itu. Ya, lelaki itu. Lelaki yang menghilang hampir lima tahun lalu. Menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun untuknya. Kini lelaki itu muncul di depannya sedang melakukan seminar untuk program doktornya. Berkeliling Indonesia dan kampus ini adalah tujuan terakhirnya. Membuat lemah kakinya tapi matanya tak lepas memandang sosok lelaki yang tampak lebih dewasa. Lebih banyak kerutan dahinya. Lebih berisi dari lima tahun sebelumnya. Mendendang mulut, menyuarakan isi proposal disertasinya hari ini. Wajah itu masih sama walau bertambah usia. Masih berkarisma. Masih tajam tatapannya. Masih wibawa. Masih tegas pembawaannya. Tapi senyumnya tampak lebih ramah menyapa. Bukan menyapanya. Tapi menyapa para hadirin di sini. Membuatnya terpaku namun tak lama. Bermenit-menit kemudian ia mengembangkan senyumnya. Sedikit lagi lelaki itu akan menggapai impiannya.
Ia menarik nafas dalam. Menatap wajah yang tak balas menatapnya. Lalu membalik tubuh dan menoleh untuk terakhir kali. Sepertinya jalan takdir mereka memang diciptakan untuk tak selalu sama. Selalu berbeda
“Bagaimana bisa Ibu menyimpulkan bahwa dengan adanya limbah-limbah yang tak terpakai ini berkaitan dengan keagungan-Nya? Bagaimana bisa Ibu yang seorang dosen mengaitkan limbah-limbah yang kotor itu dengan Allah?”
Awalnya, ia agak kaget menerima pertanyaan seperti itu diakhir jam pertama mata kuliahnya diawal semester ini. Tapi senyumnya tak surut. Ini memang caranya mengajar. Selalu mengaitkan teori alam dengan kepe-milikan-Nya. Tak ada yang salah kan?
Karena memang baik dunia dan isinya ini adalah milik-Nya. Pertanyaan itu sedikit sensitif untuk dibahas. Ah, bukan pertanyaan tapi cara bertanyanya yang kurang melurus. Pertanyaan yang diumbar dengan emosi bukan dengan akal. Ditambah lagi, beberapa mahasiswanya mulai saling mendebat dijam terakhir kuliah kala itu. “Begini, kalau kita melihat limbah misalnya s****h. Apa yang ada dibenak kita pertama kali?” tanyanya yang malah membuat mereka saling menatap tak mengerti. Dosen ini maunya apa?
“Kotor. Anggap saja seperti itu.” Ia malah menjawab pertanyaannya sendiri. Tapi senyumnya tak pernah pudar. “Lalu bagaimana caranya kita me-ngembalikan s****h ini seperti semula? Agar tak kotor. Agar tak terlihat menjijikan ketika memandangnya. Bagaimana?”
Ia kembali bertanya yang kemudian dijawab beberapa mahasiswa. Ada yang menyebutkan 'didaur ulang saja' sedang yang lain memilih bungkam. Ia mengembangkan senyumnya. “Nah disinilah letak keagungan-Nya. Ia mempertotonkan hal-hal menjijikan itu untuk membuat kita berpikir bagai-mana mengubahnya. Agar bisa bermanfaat dan tak menggelepar di tanah sebagai barang tak berguna. Keagungan-Nya terletak pada akal dan pikiran yang diberi oleh-Nya. Paham?" tanyanya sekali lagi. Tapi mereka masih bingung. “Akal dan pikiran itu digunakan untuk mengubah barang yang tak berguna menjadi barang yang bermanfaat. Sama seperti mengubah tanah tandus menjadi tanah subur,” lanjutnya yang masih disambut keheningan.
Namun beberapa mahasiswa mulai merespon paham. Sang mahasiswa yang bertanya tadi juga ikut mengerti walau mencerca terlebih dahulu. Memang cukup sopan ia bertanya tapi nada suaranya yang tinggi pasti menyinggung siapa saja. Untung saja wanita itu tak ambil pusing. Ia tak begitu perduli, ia malah mengerti. “Ada yang bertanya lagi?”
Ketika tak ada satu pun yang mengacung tangan lagi, ia menutup per-temuan singkat di semester awal kuliah ini dengan doa barokah dan bertutur salam. Kemudian meringkas buku-bukunya. Menghadapi mahasiswa yang bertempramental tinggi itu memang susah. Tapi ia senang menghadapinya. Baginya itu ujian. Itu lah cara Allah mendekatkannya. Lewat ujian.
Tangan indahnya membuka pintu kelas sebagai orang terakhir yang keluar dari kelas para penuntut ilmu itu. Namun langkahnya terpaku saat menatap punggung yang kian lebar. Tubuh yang kian tinggi. Tubuh yang kini berbalik menghadap ke arahnya. Menyembunyikan kedua telapak tangan dalam saku celana. Lelaki berbaju kemeja kotak-kotak. Lelaki yang sama saat dilihatnya sebelum memasuki kelas tadi. Lelaki yang sama saat dilihatnya lima tahun lalu. Lelaki yang sama saat berdiri di depannya kini.
“Apa kabar ibu dosen?”
“Ku kira kau tak kembali lagi,” tuturnya lalu mengambil duduk di tepian danau yang luas di tengah-tengah gedung penuntut ilmu. Lelaki berbaju kemeja kotak-kotak itu hanya berdiri jauh di depannya. Sama seperti impian mereka dulu. Begitu jauh. Tapi tidak dengan jarak mereka kini. Begitu dekat.
“Betapa durhakanya aku kalau melupakan tanah ini,” tutur lelaki itu. Kepalanya mendongak ke atas. Menatap langit biru yang cerah kala itu. Mengumbar senyum lewat hatinya bukan bibirnya. Sementara wanita dibelakangnya diam. Tampak hanyut dalam suasana indah ini. Suasana alam yang selalu mengajarkannya untuk bersyukur.
Lihat lah raga ini masih bergerak. Jantung ini masih berdetak. Paru-paru ini masih mengembang. Mulut ini masih bicara. Hidung ini masih bernafas. Telinga ini masih mendengar. Mata ini masih melihat. Hati ini masih merasa. Kaki ini masih melangkah. Tangan ini masih bergerak.
Alam ini membuatnya bisa merasakan keindahannya lewat sehatnya raga. Maka, nikmat mana lagi yang kau dustakan?
“Bang Ilham, apa kabarnya?”
“Dia baik.”
“Kau tak menanyakan kabarku, Mir?”
Wanita itu tergagap. Ia agak segan karena lama tak bertemu. Berpisah jarak walau masih dalam satu tapakan, yaitu bumi yang sama.
“Ku kira kau baik-baik saja.”
Lelaki itu mengangguk-angguk. Memang benar. Ia sangat baik-baik saja. Seharusnya memang tak perlu bertanya. Tapi ia belum pernah mendengar wanita ini lebih dulu menanyakannya. Selalu ia yang memulai segalanya.
“Impianmu hampir tercapai semuanya,” gumam wanita itu.
“Ya, nyaris. Tapi ada satu hal yang belum sama sekali ku sentuh.”
“Apa?”
“Menikah.”
Wanita itu menelan ludah kelu. Ia tak mau berharap pada hal yang bernama ketidakpastian. Hal yang selalu menyangkut dengan lelaki ini.
“Kau hem---” ia menarik nafas lalu melanjutkan ucapannya. “Sudah menikah?”
Wanita itu diam. Lama ia menatap punggung yang seakan tak bergerak itu. Inilah yang ia maksud dengan jalan yang berbeda. Mungkin karena lelaki ini selalu di depannya. Mungkin karena lelaki ini selalu mendahuluinya.
“Akan menikah,” jawabnya tegas yang membuat lelaki itu menahan nafas sesaat.
“Dengan siapa?”
“Nanti kau juga tahu,” tuturnya lalu berbalik pergi.
Ia tak kuat berada di sini lagi. Sungguh, ia masih mengharapkan lelaki ini. Tapi sayang, ia sudah terlanjur menerima pinangan lelaki pilihan abangnya.
Dear Pelangi,
Aku harus tetap bersyukur bukan? Walau apa yang ku inginkan tak pernah ku raih? Walau apa yang ku dapat tak pernah ku inginkan?
Karena begini cara Allah mengujiku. Menguji imanku. Menguji keikhlasanku. Menguji kelapangan hatiku.
Jika memang pilihan-Nya yang terbaik, untuk apa ku risaukan?
Walau tak sesuai kehendak hatiku. Walau tak sesuai inginku. Karena takdir yang tak pernah ramah menyapaku.
Amira Jasmine