“Kau sadar diri, Mir! Kita ini sama dengan mereka! Kita ini pengemis! Kita ini peminta-minta! Jangan kau rendahkan mereka!”
“Kau lupa bahwa pada dasarnya kita tak memiliki apapun di dunia ini?! Bahkan raga ini pun dimiliki Allah, Mira!”
“Kita ini meminta pada-Nya! Mengemis pada-Nya! Agar apa?”
“Agar kita memiliki apa yang kita punya saat ini. Padahal sejatinya....”
“Kita tak punya apapun, Mir. Jangan kau sombongkan dirimu. Jangan kau berbangga atas apa yang tidak kau punya. Karena balasan untuk kesombongan itu....panasnya neraka, Mira.”
Ia merinding setiap teringat kalimat-kalimat Delia yang bagai berputar-putar dikepalanya. Rasanya ia ingin menangis sekarang. Menangis sejadi-jadinya agar Allah mengampuni dosanya. Agar Allah menerima tobatnya. Kakinya gemetar saat tiba di Stasiun Juanda yang tepat bersebrangan dengan masjid besar itu. Bagaimana kalau ia meninggal sebelum tiba di kos nanti?
Kakinya langsung lemas. Terduduk di lantai. Puluhan pasang mata menatapnya. Ia menjadi sorotan namun ia tak peduli. Ia hanya peduli pada Tuhannya. Pada dosanya dengan amal yang tak seberapa.
Wahai Allah....
Jangan Engkau cabut nyawa hamba sekarang. Apa yang akan hamba bawa ketika raga tak lagi bernyawa?
Siapa lagi yang akan menemani hamba selain amal baik hamba?
Dosa hamba menggunung.....
Pahala hamba tak seberapa.....
Masuk neraka tak kuat menahan siksanya....
Tapi masuk surga pun hamba tak mampu.....
Ampuni hamba ya Allah.....
Air matanya luruh seketika. Menangis sejadi-jadinya. Menangis di tengah-tengah gedung stasiun itu. Mengundang banyak pasang mata yang heran menatapnya. Rasa sesal itu menggerogotinya hingga ke dasar jiwa. Ia hanya menggeleng saat beberapa petugas menghampirinya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Hingga ia lelah dan memilih berdiri dibantu para petugas itu. Bahkan untuk tiket pun tak perlu mengantri. Para petugas itu dengan senang hati membantunya. Mengantarnya ke peron dan menyuruhnya duduk di bangku panjang. Menunggu kereta dengan tujuan Stasiun Pondok Cina.
Malam gelap itu menjadi saksi penyesalannya yang selama ini hidup dan berteman dengan kesombongan. Kesombongan yang hanya akan membawa duka dan siksa. Merasa hebat di hadapan manusia. Tapi hina di hadapan-Nya.
Lampu kereta menyorotinya dari jauh. Membuatnya memicingkan mata. Angin malam kala itu membuat kerudungnya berterbangan. Hingga kereta besi itu berhenti tepat di depannya, ia naik dengan sabar. Membiar-kan penumpang yang ingin turun lebih dulu. Kemudian ia naik dan berdiri di dekat pintu. Angannya berpaling. Mengingat kejadian tadi. Bagaimana ucapan Delia sanggup mengguncang jiwanya. Bahkan ini lebih dahsyat dari gempa bumi. Angan yang membuatnya melamun di sepanjang perjalanan. Alangkah buruknya ia selama ini. Memandang rendah manusia lain padahal ia sendiri tak lebih rendah dari mereka atau bahkan lebih rendah dari mereka. Membuatnya berlirih-lirih mengucapkan istigfar. Ia menarik nafas. Mencoba bersandar lalu memejamkan mata. Otaknya mengulang-ngulang dosa yang ia lakukan hari ini dan hari-hari sebelumnya.
Betapa sombongnya ia ketika ada tangan yang menengadah di depan-nya, ia malah berpaling. Tak mau mengeluarkan apa yang ia punya untuk dibagi. Karena saat itu ia berpikir, dengan memberi mereka hanya akan membuat mereka malas dan semakin rajin meminta-minta. Atau dengan memberi mereka, hanya akan menambah uang mereka yang sebenarnya punya bahkan mungkin melebihi miliknya. Padahal kalau memang niat memberi, berikan saja. Jangan pertanyakan untuk apa uang itu mereka gunakan. Itu urusan mereka. Yang penting adalah niat memberi dan sisa-nya kembalikan pada Allah.
Sedekah itu tak pernah sekali pun membuat seseorang menjadi miskin. Malah makin memperkaya diri. Walau bukan kaya harta tapi cukuplah dengan kaya iman. Kenikmatan yang ditawarkan Allah jauh melebihi apa yang ada dibumi ini. Jangan merasa merugi padahal hanya mengeluarkan harta yang tak seberapa banyaknya. Saat pikirannya mulai tenang, ia buka mata dan menegakan tubuhnya. Tapi alangkah kagetnya ia ketika mendengar kicauan sang petugas kereta. Bahwa kereta yang ditumpanginya sudah tiba di Stasiun Depok Baru. Sudah lewat dari stasiun tujuannya. Membuat ia terpekik kaget dan segera melarikan diri. Nyaris saja pintu itu menjepit tubuhnya hingga membuat ibu-ibu di dalamnya menjerit heboh. Tapi nyawa masih bersama raganya malam itu. Ia selamat dan kini sedang berlari menuruni tangga menuju peron di seberangnya. Menunggu kereta yang akan membawa ke stasiun tujuannya. Namun tubuhnya terpaku saat kereta berhenti tepat di depannya. Laki-laki berwajah teduh itu keluar dari kerumunan kereta yang berawal dari Stasiun Bogor. Membuat ia mengerjab-erjab berulang kali, memastikan penglihatannya. Mereka memang berpisah sebelum magrib tadi. Memutuskan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing dengan jalan masing-masing. Ia memastikan penglihatannya lagi. Tak salah dan ia yakin sekali. Lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang ia jumpai di kopaja hari ini. Lelaki berwajah teduh. Lelaki yang membuatnya terpesona dan dalam sekejab saja membuat resahnya hilang. Seakan hujan turun begitu saja dan membanjiri jiwanya yang kering. Membuatnya kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama. Hingga punggung lelaki itu menghilang di pintu keluar Stasiun Depok Baru. Membuat ia mengalihkan tatapannya lalu berseru seketika. Ia baru saja ketinggalan keretanya.
Benih-benih cinta yang hadir benar-benar mengujinya. Matanya tak ingin lepas dari sosok Wirdan. Ia yang tak pernah mangkal di masjid kampus, perpustakaan kampus, mendadak memunculkan diri di sana. Berlama-lama di sana hanya agar matanya dapat melihat Wirdan. Heran? Ia juga. Kenapa matanya tak bisa puasa sehari saja untuk absen tak melihat lelaki itu?
Ia menghembuskan nafasnya. Jadi begini rasanya jatuh cinta?
Kali ini ia mengangguk-angguk sambil menyembunyikan wajah di balik buku. Di seberang sana ada Wirdan yang nampak asyik berpacaran dengan lembaran-lembaran skripsi. Ia mengangguk maklum. Lelaki itu setahun di atasnya. Kakak tingkatnya di fakultas yang sama. Asli Aceh. Berbeda dengan-nya yang asli Padang. Tahu dari mana? Tentu saja dari Khayra yang satu daerah asal dengan lelaki itu. Untungnya gadis itu memberitahu tanpa curiga sedikit pun padanya. Ia yang tak pernah bertanya soal lelaki mendadak cerewet dan bawel ketika menyangkut Wirdan. Ia heran sekaligus aneh. Apa yang dicarinya dari Wirdan?
Bicara soal fisik, lelaki itu tampan. Tapi tampan yang tak tampan-tampan amat. Namun wajahnya teduh sekali. Wajahnya biasa tapi binarnya luar biasa. Jika melihatnya dari kejauhan, ia yang nampak paling bersinar. Berada dimana pun, ia terlihat paling menonjol. Ia senang sekali mengikuti lelaki itu kemana pun. Walau jamnya tak tentu, tapi akhir-akhir ini ia memang sering membolos kalau tidak ketahuan Khayra. Gadis lembut yang satu itu paling anti pada segala hal yang menentang aturan. Termasuk acara pembolosan. Tapi hari ini, ia selamat. Dengan alasan sakit dan wajah pucat yang dibuat-buat, ia izin pada dosen kesayangannya, Bu Marissa. Untungnya wanita cantik itu mengizin-kan tanpa pertanyaan. Akhirnya, membuat pantatnya berada di kursi empuk ini. Mengamati Wirdan dalam jarak yang terbentang dua meter saja.
Saat melihat sosok Wirdan yang mulai beranjak dan membereskan barang-barangnya, ia juga. Ia langsung beranjak dan mengembalikan buku yang tak ia baca sama sekali. Buku yang ia jadi kan pelindung. Padahal kalau saja ia tahu, buku itu ia buka dalam keadaan terbalik. Kemudian ia tegakan di depan wajah dengan mata yang mengintip dibaliknya. Tapi ia tak sadar. Bahkan beberapa mahasiswa yang lewat di depannya terkikik-kikik kecil. Merasa lucu melihat sikap innocent-nya. Kakinya melangkah pelan. Menjaga jarak dengan langkah santai Wirdan. Lelaki itu tak sadar kalau hampir seminggu ini diikuti Mira. Hingga tubuhnya sampai di bangunan megah. Rumah-Nya. Milik-Nya.
Lelaki itu sempat menyapa sahabat-sahabatnya yang lewat. Sekedar membagi senyum atau berucap kata saling mendoakan lalu masuk ke tempat wudhu membuat Mira melakukan hal yang sama. Gadis itu sering berjamaah di sini beberapa hari ini. Sering diam di masjid ini sambil mengaji tapi pikiran-nya melayang pada lelaki teduh itu. Matanya, pikirannya, dan hatinya tak ingin lepas dari lelaki itu. Memuncul-kan rasa ingin memiliki. Mengharapkan rasa yang ingin dibalas dan tak mau merasakan sendiri.
Cinta dalam keheningan. Cinta yang menatap dari kejauhan. Cinta yang mengharapkan balasan. Manusia mana yang rela mencintai dalam kesendirian?
Awalnya ia tak tertarik untuk benar-benar bergabung dalam komunitas ini. Tapi kehadiran lelaki itu benar-benar mengusik jiwanya. Jiwa yang biasanya tenang itu mendadak gelisah. Jiwa yang biasanya diam itu mendadak bising. Jiwa yang biasanya sendiri itu mendadak mengingin-kan pasangan. Jiwa itu ingin mencari teman untuk berbagi. Saling bertukar rasa. Membagi cinta dan apa yang ia punya. Sorenya, ia muncul di tengah-tengah keramaian Stasiun Universitas Indonesia. Saat membaca status Black Berry Messenger milik Naya tadi, ia langsung ke sini. Karena para anggota komunitas Mahasiswa Jalanan akan berangkat ke Kota Tua sore ini. Mengganti rencana yang batal minggu lalu. Alasannya berada di sini?
Tentu saja sosok lelaki yang sedang bercanda di bangku halte itu. Padahal tadi, ia melewati bangku itu. Tapi matanya tak jeli menangkap kehadiran lelaki itu. Hingga membuatnya berjalan menghampiri. Menyapa teman baru sekaligus teman lama. Kemudian mengambil duduk di samping Naya yang nampak akrab dengan mereka. Hingga lima belas menit kemudian, mereka beranjak masuk. Firman yang mendapat tugas mengantri tiket untuk dua puluh lima orang itu. Sisanya memilih berdiri sembari menunggu Firman. Ketika lelaki itu berbalik, mereka berbondong-bondong berjalan menuju peron. “Katanya sakit?” nyinyir Khayra yang tiba-tiba muncul di belakangnya saat mereka masuk ke dalam kereta tujuan Jakarta Kota itu.
Mira hanya terkikik kecil. Sebenarnya ia malu. Apalagi saat melihat wajah Khayra yang mulai mencurigainya. Tapi ia berlagak biasa saja. Kalau salah tingkah, ia malah makin dicurigai. Khayra hanya menggelengkan kepalanya. Heran akan tingkah labil manusia satu ini. Ia tak ambil pusing. Lagi pula, jarang-jarang Mira betah berada di keramaian seperti ini. Saling bertegur sapa. Saling bercanda. Saling mengobrol ria. Padahal ia tahu sekali, jika Mira paling malas berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya kecuali teman-teman satu jurusan. Hampir satu jam perjalanan ditempuh, akhirnya mereka tiba di stasiun tujuan akhir. Rombongan itu bergegas keluar. Berjalan kaki menuju Kota Tua. Mira yang tak begitu paham melakukan apa, bergegas mengikuti langkah Wirdan, mendekati lelaki itu dan bertanya apa saja yang akan dilakukan. Berpura-pura tak paham agar lelaki itu terus menerus menjelaskan hal yang sama berulang-ulang. Dan itu tak hanya sekali. Tapi berkali-kali.
Di pertemuan kedua, ketiga dan keempat masih sama. Mira senang sekali bertanya apa saja pada Wirdan. Tentunya dengan selalu mengikuti lelaki itu kemana pun. Untungnya ia punya alasan untuk melakukan itu. Bahkan terkadang, ia bertanya tentang penelitian dan skripsi lelaki itu. Wirdan pun tak segan membagi. Itu lah hal yang membuat Mira merasa bahagia. Jadi ini perasaan orang yang sedang jatuh cinta?
Hanya melihatnya dari jauh. Memanggilnya sebentar saja. Mengajak-nya bicara walau satu detik saja. Cukup lah untuk membuat senyumnya tak pudar. Jantungnya berdegup kencang. Dan hati yang senantiasa berteriak.
Aku bahagia!
Tapi makin lama, Mira sadar. Perasaan cinta darinya tak cukup. Ia menginginkan pembalasan. Menginginkan kepemilikan atas rasanya dan rasa lelaki itu. Menginginkan sebuah komitmen. Lebih dari sekedar cinta yang terpendam. Lebih dari sekedar cinta dalam kesendirian.Ia semakin gencar ke perpustakaan kampus, masjid kampus dan rutin mengelilingi Jakarta bersama Wirdan membuat kepekaan sahabatnya terusik. Gadis berjilbab itu sering mendapati Mira berdiam di masjid kampus. Sering mendapati Mira berdiam di perpustakaan kampus. Selalu aktif ikut komunitas kampus. Dan dimana hadirnya Mira, selalu ada Wirdan. Tak hanya mengamati kehadirannya tapi juga bahasa tubuh Mira. Kadang tersenyum lalu terkekeh-kekeh dan diakhiri cekikikan. Tapi kadang, gadis itu hanya menghela nafas dan membalik tubuh untuk pergi saat tiba di perpustakaan atau masjid. Hal yang tak Khayra tahu, bahwa Mira akan melakukan itu kalau tak menjumpai Wirdan di tempat-tempat itu membuat mata Mira harus berpuasa sehari penuh. Terkadang lagi, gadis itu berjalan memutar ke masjid, perpustakaan baru kemudian ke kelas. Membuat Khayra bertanya-tanya.
Apa yang ia cari?
Di pertemuan kelima, Khayra berani membuka suara. Pertemuan ke-lima Mira yang aktif dalam komunitas ini. Kali ini, tempat yang mereka jajahi hanya sekitar Stasiun Pondok Cina. Karena waktu yang sempit mengharuskan mereka mencari tempat terdekat untuk membagi ilmu. Bermain bersama para pencari nafkah jalanan. Membagi harta walau tak seberapa. Belajar untuk saling peduli walau tak saling mengenali.
Di sore menjelang magrib itu, Mira duduk di trotoar. Menatap jalan-an sempit namun banyak dilalui kendaraan. Tapi jangan salah, matanya tak pernah lepas dari sosok Wirdan yang sedang menutup pertemuan dengan kelompok kecil anak-anak jalanan di seberang sana.
Ketika hati telah jatuh, walau terpisah jarak jauh. Asal dimata tetap muncul raganya, entah itu punggungnya saja, siluetnya saja bahkan bayangannya saja. Cukup membuat hujan yang kelam berganti pelangi di-hati. Karena begitulah cara cinta mengubah dunia. Dalam sekejab saja, hati yang tadinya suram mendadak cerah bahkan berwarna warni.
“Aku Bahagia,” gumamnya tanpa sadar yang membuat Khayra yang baru saja duduk di sebelahnya, langsung menoleh ke titik yang ditatap Mira. Dugaannya benar.
“Bahagia?” tanya Khayra.
Mira menggangguk tanpa sadar. Pikirannya tertuju penuh pada Wirdan. Ia bahkan tak sadar akan kehadiran Khayra.
“Ya. Hanya dengan menatapnya saja, aku sudah bahagia. Mungkin ini yang namanya cinta,” lanjutnya yang berucap bagai orang yang terkena hipnotis. Lalu berjengit kaget ketika mendengar tawa milik Khayra.
Sejak kapan dia di sini?
Mira menatapnya horor sementara Khayra mulai menguasai tawanya. Gadis itu berdeham lalu menatap ke arah yang sama. Arah yang ditatap Mira sejak tadi. Arah yang membuat Mira enggan berpaling. Karena pusat dunianya telah berganti.
“Hidup ini bukan hanya perkara cinta kepadanya saja, Mir,” tuturnya membuka wacana dengan nada serius tapi penuh kelembutan. “Coba kau pikir, apa dengan kau mencintainya, dia akan bisa membahagiakanmu?”
Mira diam. Otaknya yang tak seberapa pintar itu mencoba mencerna kalimat-kalimat Khayra.
“Boleh kau mencintainya, aku tak melarang,” lanjut Khayra saat melirik sekilas pada Mira yang nampak bungkam. Padahal ia bicara dengan santai kali ini. “Tapi kau harus ingat satu hal.”
Kemudian matanya menghunus tajam ke arah Mira. Membuat gadis itu membeku sesaat lalu memalingkan muka. Sementara wajah Khayra ber-ubah keruh. Ia seolah sedang menasehati dirinya sendiri. Mengingatkan dirinya sendiri. “Perkara cinta kepada Allah, harus diatas segala-galanya.”
Nada suaranya masih datar. Namun detik selanjutnya, nada suara itu naik pelan-pelan. Seolah-olah ia sedang berorasi di depan khalayak ramai. Namun kalimat-kalimatnya mampu menyihir Mira sampai ke akar-akarnya.
“Jangan kau sandingkan cinta duniamu pada-Nya lalu kau berkoar hanya dengan mencintainya, hidupmu akan bahagia. Jangan sekali-kali kau berkoar itu!”
Tegas dan tak mau dibantah. Namun sisi kelembutannya sebagai wanita tetap terjaga, membuat Mira terkagum-kagum akan pribadi sahabat-nya yang satu ini. Namun yang tak Mira sadari adalah mata Khayra yang sudah memerah. Memendam emosi di dalam hati. Memaki dan mencaci diri sendiri. Luka yang ia simpan rapat-rapat mulai terkuak lagi.
“Karena kita ini pengemis, Mira. Kita tak punya apapun. Sama seperti dia yang kau cintai,” tuturnya menajam dan arah tatapannya tertuju pada Wirdan membuat Mira tersentak kaget. Khayra mengetahui rasa yang ia pendam dalam diam untuk lelaki itu. “Dia tak punya apapun, Mir. Jangankan kebahagiaan, cinta saja ia tak punya. Karena cinta itu, Allah yang memberi.”
Nada suaranya berubah pelan. Ada isakan yang ditahannya mati-matian. Sakit itu kembali menguasai hatinya. Ia berdoa, ya Allah lindungi hamba dari penyakit hati ini.
“Jadi, jangan sekali-kali kau salah gunakan cinta. Lalu mengagungkan cinta semu kepada lelaki sebelum waktunya,” nasihatnya lalu tersenyum tipis sambil menyembunyi-kan air mata yang jatuh dipipi. Mira tak boleh tahu jika ia menangis tadi. “Karena cinta seperti itu menyesatkan, Mir. Awalnya, kita menyadari rasa itu bernama cinta. Tapi semakin lama, rasa itu berkembang pesat. Tak hanya ingin melihat, tapi juga ingin memiliki. Ketika itulah cinta telah sirna. Berganti nafsu yang mengatasnamakan cinta. Disaat itulah, kau tak kan bisa membedakan mana yang benar-benar cinta dan mana yang benar-benar nafsu.”