Kita Ini Pengemis! Kita Ini Peminta-Minta

1878 Kata
“Bang Wirdaaaan, masya Allaaaah!” Gadis berjilbab ungu itu berteriak histeris saat matanya mengenal sosok yang sudah terduduk di pintu kopaja itu. Tangannya mengeluarkan darah segar. Bau amis tercium dalam beberapa detik saja. Gadis itu langsung berteriak memanggil siapa saja untuk dimintai tolong. Sementara Mira masih membeku. Mencerna nama yang baru saja diteriakan sahabatnya. Wirdan. Wirdan. Wirdan. Bukan cuma otaknya saja yang merekam. Tapi juga hatinya. Mungkin setelah ini akan ada nama ini dalam doanya. Akan ada nama ini dalam sujudnya. Kalau memang cinta yang baru tumbuh itu benar-benar mekar sempurna. “Miraaaaaa! Buruan masuk!” Suara teriakan yang memanggil itu menyadarkannya. Lalu ia segera berlari menuruni kopaja dan turut masuk ke dalam taksi. Ia agak kaget saat duduk. Pasalnya lelaki itu duduk tak jauh darinya. “Rumah sakit, Pak! Yang mana aja! Yang paling deket!” titah Khayra yang duduk di samping sopir. Sementara Mira malah membeku. Sudut matanya melirik lelaki yang nampak menahan kesakitan akan garis lurus ditelapak tangan. Garis lurus yang mengucur darah segar. Lelaki itu meringis-ringis tapi tetap berlagak sok kuat. Aih, lelaki. Selebar apapun lukanya. Sesakit apapun perihnya. Separah apapun sakitnya. Mereka tetap tak ingin tampak lemah dihadapan wanita mana pun yang ada di dunia ini. “Ini pakai obat merah juga sembuh, Ra. Gak dalam kok lukanya”, tutur lelaki itu yang langsung membuat Khayra berang sambil bersungut-sungut sok tahu. Gadis itu tetap menitahkan sang sopir ke rumah sakit. Tak peduli pada penolakan keras lelaki itu. Sementara Mira nyaris menyemburkan tawanya. Khayra yang biasanya terlihat lemah lembut, hari ini mendadak cerewet minta ampun. Mirip emak-emak yang kekurangan jatah bulanan. Tapi sudut matanya tak berhenti mengabsen lekuk wajah lelaki teduh di sampingnya. Ia heran, kenapa dalam sekejab saja ia bisa segila ini pada seorang lelaki yang baru dilihatnya? Love at first sight? Konyol. Mana ia percaya hal semacam itu! Kecerewetan Khayra tak sampai di taksi saja. Saat turun, ia langsung menghambur ke dalam rumah sakit. Memanggil perawat untuk segera mengangkut Wirdan yang malah berjalan santai setelah keluar dari taksi. Tangannya yang masih mengucurkan darah itu membuat heboh ibu-ibu yang duduk di lobi rumah sakit. Akhirnya, ia pasrah saja diangkut selayak-nya orang sakit. Mira hanya menggelengkan kepala. Sahabatnya malah panik sedangkan yang sakit malah lempeng saja. Ini yang sakit sebenarnya siapa? Ia menarik nafas dalam, kemudian berjalan pelan mengikuti langkah cepat milik Khayra yang jauh di depannya. Ponselnya berdering. Saat ponsel itu tepat ditelinganya, suara gadis berambut panjang memekikan telinganya hingga membuat ia menjauhkan ponsel itu dengan cepat. Mencibir kelakuan sahabatnya yang satu itu. Kemudian memberitahu posisinya. Rencana ke Kota Tua batal. Kini ia malah terdampar di rumah sakit. Memang, manusia hanya bisa merencanakan tapi keputusan rencana itu terlaksana atau tidak adalah kehendak Allah. Matanya menangkap sosok Khayra yang sudah duduk dengan nafas memburu di bangku panjang. Ia ikut duduk disana. Diam dalam kehening-an. Hingga dua puluh menit kemudian, pintu terbuka. Khayra langsung menghambur masuk. Sementara Mira berjalan santai. Tapi tidak dengan hatinya yang ingin cepat melihat lelaki itu. Sekali lagi, ia heran. Kenapa hatinya kehilangan kesabaran hanya karena lelaki itu? “Gak apa-apa kan, dok?” Getar suara Khayra nampak cemas. Lelaki paruh baya yang baru saja mengobati tangan Wirdan hanya mengangguk. Wirdan sudah bisa pulang. Seperti kata lelaki itu, lukanya tak dalam. Hanya tergores sedikit meski cukup membuat ibu-ibu di lobi tadi berjengit ngeri. Hanya gadis yang satu ini saja yang terlalu lebay menanggapi. “Dibilang juga apa?!” nyinyir lelaki itu yang membuat Khayra mematut bibirnya. Cemberut. Sementara Mira bertanya-tanya, apa hubungan Khayra dan lelaki ini? Kenapa mereka nampak begitu akrab sekali? “Namanya juga pisau, Bang. Kalo ke gores kan bahaya. Gak diobati takutnya infeksi. Penyakit sekecil apapun jangan diremehi!” tuturnya sok bijak lalu menatap Mira yang sedari tadi silih berganti menatapnya dan Wirdan. “Ya gak, Mir?” ajunya meminta persetujuan. Mira malah berdeham--kikuk. Tak tahu harus menanggapi apa sementara lelaki itu hanya menatapnya sekilas. Lelaki itu bahkan baru menyadari kehadirannya. “Ah-eh iya!” Gadis berjilbab ungu itu bersorak. Seolah baru teringat sesuatu yang ia lupakan. “Ini loh Mir, ketuanya komunitas MJ kampus kita!” serunya sambil memberi kode agar Mira mendekat. “Kenalan dulu....,” titahnya. Mira maju lalu mengulurkan tangannya. Tapi sayang, lelaki itu malah menangkupkan tangannya di depan d**a, membuat Khayra terkikik kecil sambil membungkam bibirnya dengan tangan. Bibir merah itu nyaris me-nyemburkan tawa. Seharusnya ia memberitahu dulu kalau lelaki ini tak kan mau bersentuhan dengan wanita bukan muhrimnya. Sementara Mira menarik tangannya dengan cepat. Setengah kesal tapi malu juga. Rasanya ia ingin mencekik Khayra yang sekarang menertawakannya. “Namanya siapa?” “A-Amira,” jawabnya setengah gagap. Campuran gondok, malu dan marah menjadi satu. Tapi ia hanya bisa memendamnya dalam diam. “Mana lagi temanmu?” Kali ini Wirdan bertanya pada Khayra yang malah terkekeh mem-buat lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Ah iya!” serunya sambil menepuk jidat. Tapi tak lama kemudian gemuruh langkah disertai suara berisik masuk ke dalam ruangan sempit itu, membuat beberapa perawat datang dan segera me-nyuruh mereka keluar. Naya—gadis berambut panjang—dan Delia—gadis berjilbab hijau—datang bersama dua orang laki-laki, yaitu Firman dan Fahmi. Naya dan Delia nampak histeris melihat telapak tangan sang ketua dibalut perban putih. Lalu keduanya berlagak ala sinetron. Wajah panik dan sikap lebay yang dibuat-buat membuat orang-orang di sekitar mereka tertawa ketika melangkah menuju ruang administrasi. Usai membayar pengobatan, tujuh orang itu berjalan menelusuri trotar jalan raya di depan rumah sakit. Mencari anak-anak jalanan dan membatalkan rencana ke Kota Tua seperti minggu sebelumnya. Sekaligus menghubungi para anggota lain agar segera datang kemari. Hampir enam jam menghabiskan waktu bersama, mengumpulkan anak-anak jalanan, membagi ilmu walau tak seberapa sambil bermain apa saja yang bermanfaat. Kemudian makan bersama. Sebelum berpisah, mengambil beberapa gambar untuk dikenang dimasa yang akan datang. Pengalaman baru ini memberi warna baru bagi hidup Mira yang biasanya sibuk sendiri. Entah jalan ke mall sendirian, nongkrong di kafe sendirian atau memojok di toko buku sendirian. Setidaknya kegiatan baru ini lebih bermanfaat. Apalagi........ Ah! Ia menggelengkan kepalanya. Mencoba mengusir perasaan asing yang baru hinggap beberapa jam lalu. Namun tetap saja, yang namanya hati tak mampu menolak. Hanya mampu menafikan diri. Tapi tak bisa memungkiri. Kalau hati telah terpaut pada lelaki berwajah teduh itu. Lelaki yang hari ini ia kenal keberaniannya. Menggertak siapa saja. Tak peduli ia lebih tua. Kalau memang benar, kenapa harus takut? Lelaki yang hari ini ia kenal keramahannya. Menyapa siapa saja. Tak peduli mereka membalas atau tidak. Karena niatnya baik. Meskipun awal-nya sulit. Ia bisa merasakan penolakan anak-anak jalanan saat pertama kali menghampiri mereka tadi. Namun tak urung berhasil juga menakhlukannya. Langkah kecil dan santai milik lima belas orang termasuk Mira, sampai di masjid Istiqlal menjelang magrib. Hendak menunaikan solat di sana sebelum pulang. Suasana masjid sore itu nampak sepi. Beda jauh dengan suasana jalan raya di depannya yang nampak ramai. Hatinya agak terusik melihat kenyataan ini. Mengapa di mall begitu ramai, tapi di masjid begitu sepi? Padahal tempat yang jelas-jelas menawarkan pahala lebih banyak adalah masjid. Tempat yang menjanjikan kenikmatan dunia dan akhirat. Karena ketika akhirat digapai, dunia juga tergenggam. Nikmatnya dunia memang tak seberapa dibandingkan akhirat. Kesadaran itu, membuat Mira berpikir sekaligus miris. Apalagi saat kakinya menjejak langkah di tempat wudhu yang begitu luas. Namun penggunanya hanya segelintir saja. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Raganya memang ada di tempat itu tapi tidak dengan pikirannya. Merayap kemana-mana. Tak tentu arah. Saat kakinya menaiki tangga menuju tempat solat, ia menepuk dahinya. Lupa kalau ia hampir tak pernah membawa mukena kemana pun saat ia pergi. Kenyataan itu menyentaknya. Ada sisi hati kecilnya yang baru menyadari. Bagaimana ia akan ingat untuk solat kalau perlengkapannya saja tak pernah ia bawa? Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Saat kakinya melintas di lantai bawah tadi, ia ingat ada tempat peminjaman mukena. Namun kaki itu hanya berbalik dan batal melangkah saat ter-dengar suara ibu-ibu tua yang duduk di atas tangga menawarkan mukena untuk dipinjam. Akhirnya, ia malah melangkah naik dan meminjam mukena dari ibu itu. Lalu memakai mukena di ruang ganti mukena. Se-lanjutnya ia berjalan menuju barisan para wanita. Solat magrib kali ini, ia tunaikan berjamaah bersama satu baris penuh para wanita. Sementara barisan-barisan dibelakangnya? Kosong.   Tangannya membeku saat menyerahkan mukena itu kepada si peminjam. Ibu yang tadi duduk di dekat tangga kini sudah duduk di belakangnya. Nampak menunggunya selesai doa dan zikir. Namun bukan kehadiran ibu itu yang membuat tangannya membeku. Tapi ucapannya saat ia menyerahkan mukena itu. “Seikhlasnya saja, neng.” Wajahnya berubah keruh. Tak percaya kalau mukena yang ia pinjam dikenakan biaya walau tak langsung. Namun sungguh menganggu hati kecilnya. “Seikhlasnya saja.” Ulangan kalimat milik ibu itu membuatnya mengerjabkan mata. Lalu tersadar. Walau ia agak tak terima hal ini, ia tetap mengeluarkan uang untuk membayarnya. Ternyata benar slogan yang mengatakan bahwa 'tak ada yang gratis di dunia ini'. Bahkan untuk solat sekali pun, ia harus membayar uang untuk menyewa mukena. Ia tak menyangka, hanya dengan kalimat sederhana 'seikhlasnya saja' itu, sanggup meng-goncang hatinya. Ia berjalan gamang menuruni tangga untuk mengambil sepatu di tempat penitipan. Lalu melangkah keluar dan duduk di teras-teras masjid. Merenung sebentar hingga ia merasakan tepuk--an tangan Delia dibahunya. Membuatnya tersadar dan segera memakai sepatu. “Kalau kita menolong orang lain dengan niat pamrih, apa pahalanya berkurang Del? Atau bahkan tak ada pahalanya?” Pertanyaannya dibalas kendikan bahu oleh Delia. Gadis berjilbab hijau itu memilih duduk sembari menunggu Mira memakai sepatu. Ia tak tahu perkara berapa banyak pahala yang didapat dengan angka pasti untuk sebuah perb-uatan baik. Itu bukan urusannya. Itu adalah urusan Allah. “Tadi aku meminjam mukena pada ibu-ibu di atas. Ku kira gratis. Eh....ternyata bayar juga. Meski yah, dia cuma bilang 'seikhlasnya saja'. Tapi apa bedanya dia dengan pengemis di jalanan sana? Kalau bantuan yang ia tawarkan mengharap pamrih?” Delia diam saja. Ia sudah sering mendengar pertanyaan ini setiap ber-tandang kemari. Tak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Karena letak salahnya adalah pada cara berpikirnya. “Toh sama saja kan? Cuma bedanya, yang di luar sana menyanyi sedangkan yang di dalam sini, modus jasa mukena.” Kali ini ucapannya terdengar ketus. Membuat Delia gerah sendiri.  “Intinya sama saja dengan mengemis. Meminta uang pada orang lain.” Kali ini nada suaranya berubah sinis. Dan Delia sudah kehilangan kesabarannya. “Kau tahu apa yang sedang kau bicarakan, Mir?” ia bertanya dengan nada dingin. Hatinya yang dingin itu mulai dilingkupi amarah. “Seharusnya kau bercermin dulu sebelum bicara!” kecamnya yang tak kalah sinis. Seolah-olah ia yang sedang dibicarakan Mira.Kini matanya menatap tajam Mira yang nampak kaget mendengar tutur mulutnya yang lebih tajam dan lebih pedas dari biasanya. “Kau sadar diri, Mir! Kita ini sama dengan mereka! Kita ini pengemis! Kita ini peminta-minta! Jangan kau rendahkan mereka!” Nafasnya agak memburu. Lalu membuang muka ke depan. Jangan emosi, nasihat hati kecilnya. “Kau lupa bahwa pada dasarnya kita tak memiliki apapun di dunia ini?! Bahkan raga ini pun dimiliki Allah, Mira!” Nada suaranya berubah menggebu. Ia tak perduli pada banyaknya pasang mata yang kini menatapnya. “Kita ini meminta pada-Nya! Mengemis pada-Nya! Agar apa?” sengitnya dengan mata tajam yang menusuk hati Mira. Gadis itu tertampar sampai merah hanya dengan mulut Delia yang berbicara. Tapi ini belum seberapa. “Agar kita memiliki apa yang kita punya saat ini. Padahal sejatinya......,” ia menghela nafasnya. Lalu menunduk. Ada air mata yang jatuh saat ia mengucapkan kalimat berikutnya. “Kita tak punya apapun, Mir. Jangan kau sombongkan dirimu. Jangan kau berbangga atas apa yang tidak kau punya. Karena balasan untuk kesombongan itu.... panasnya neraka, Mira,” lanjutnya yang kini melemah. Mira bungkam. Bungkam yang membuatnya benar-benar tersadar. Lupa kalau sebenarnya....ia tak punya apapun di dunia ini. Harta tak dibawa mati. Hanya amal yang dibawa mati. Hanya amal yang setia menamani. Pertanyaannya, berapa banyak amalnya kini? Berapa banyak teman untuk menemaninya nanti?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN