47 | Time to Stop

1466 Kata
Di sela-sela waktu berjualan, Ditrisya mendapati Ahyar menghubungi beberapa teman yang kiranya punya info tentang rumah yang dikontakkan, sesuai dengan kriteria yang dicarinya, yaitu punya pelataran cukup untuk parkir mobil kulinernya. Ditrisya tidak tahu, kebetulan hari ini saja atau setiap hari suasananya memang sesepi ini. Jika setiap hari begini, wajar saja jika Ahyar ragu mencari karyawan baru. Melihat seorang pembeli berjalan mendekat, Ditrisya labgsung menegakkan badan, siap-siap menyambutnya seramah mungkin. "Menunya cuma ini aja, ya, Mbak? Perasaan dulu ada taco juga." Ditrisya meringis kecil. "Iya, Kak, hari ini yang tersedia ini variasi burger-burger aja." "Oh, oke." Dia kemudian menyebutkan pesanannya meski tampak kecewa tidak mendapatkan makanan yang diinginkan. Dia memesan dua burger rendang. "Yar," panggil Ditrisya pada Ahyar yang tak bergeming dari kursinya. Sejak tadi sibuk memainkan ponsel. "Kamu aja yang buat," jawab Ahyar. Ditrisya tidak membantah, berpikir mungkin Ahyar sibuk mebcari rumah kontrakan. Ahyar tidak punya banyak waktu, lantaran Bu Linda mengirim pesan, memberi batas waktu paling lambat satu minggu ke depan, kamar Ahyar sudah harus dikosongkan. Dirisya tersenyum pada sang pembeli yang merupakan seorang gadis tanggung, dia tampak lugu dengan kacamata minus, sebelum mulai menyiapkan pesanannya secepar mungkin. "Terima kasih, ditunggu kedatangannya kembali." Ujar Ditrisya sembari menyerahkan pesanan si pembeli. Ahyar masih sibuk dengan ponselnya, ketika Ditrisya menghampirinya. Penasaran, Ditrisya mengintip apa yang tertampil di layar ponsel Ahyar. "Game?" pekik Ditrisya tertahan. "Jadi dari tadi kamu cuma main game, Yar?" "Kamu kira apa? Chatting sama Sisil?" "Apa, Yar?" Ahyar mendongak sekilas sambil tersenyum. "Bercanda. Nggak ada kerjaan, ngapain lagi kalau nggak main game?" lanjutnya datar. "Aku kira kamu lagi sibuk nyari rumah kontrakan." Ahyar hanya menghela napas, seperti malas menjawab. Ditrisya ingin mencecar, bertepatan dua orang pembeli datang. Saat Ditrisya memberitahu Ahyar, lagi-lagi Ahyar menyuruhnya mengerjakan. Ditrisya tentu tidak bisa membiarkannya lagi. Segera setelah pembeli terakhir pergi, Ditrisya mendekati Ahyar lagi. "Kamu ini kenapa? Dari tadi males banget melayani pembeli, aku terus yang kamu surub handle." "Kenapa? kamu capek? Ya, udah pulang aja. Nggak ada yang nyuruh kamu di sini, kan?" "Ahyar...," panggil Ditrisya lirih. Sesaat Ditrisya kehabisan kata-kata, sama sekali tidak menyangka kalimat itu keluar dari bibir Ahyar. Ia tak pernah meminta perhargaan dari setiap hal yang dilakukannya, sungguh Ditrisya hanya ingin menunjukkan bahwa Ahyar tidak sendirian. Tidak tahukah Ahyar bagaikana Ditrisya sangat mencemaskan dia? "Yar, kenapa, sih?" hanya itu yang ada di kepala Ditrisya saat ini. Ahyar tak bergeming. "Aku benar-benar nggak ngerti sama kamu. Baru tadi pagi aku mikir kamu udah bijaksana, tapi sekarang kamu nunjukin kalau kamu masih bocah yang suka marah nggak jelas." "Apa, sih, Di? Nggak perlu didramatisir. Aku lagi nggak mood berdebat. Kalau kamu capek, pulang aja." Baiklah, jika itu yang Ahyar ingikan. Ditrisya berjalan cepat kembali ke mobil sembari melepaskan ikatan apronnya, dan mengambil tasnya lalu pergi. Asal Ahyar tahu, Ditrisya juga tidak mood meningkahi sikapnya. Ditrisya menghentikan langkah saat berpapasan dengan seorang wanita paruh baya bersama remaja yang beberapa saat lalu membeli burger. "Kamu yang jual makanan ini?" Wanita itu membanting kresek berisi dua buah burger ke meja kecil di depan Ahyar. Lantaran terlalu terkejut, respon Ahyar melambat, perlahan pria itu bangkit berdiri sambil bertanya. "Iya, apa ada masalah, Bu?" "Kamu yang mau coba membuat masalah!" bentak wanita itu meski sang anak sudah menarik-narik tangannya yang membisikkan kata untuk berhenti. "Ini yang kalian sebut burger rendang? Daripada burger rendang, ini lebih kelihatan kayak daging tipis yang dicelup ke dalam minyak." "Maafkan saya, saya akan kembalikan uang Ibu. Saya-" "Saya datang bukan untuk itu. Saya cuma mau mengingatkan kalau manusia butuh makanan untuk bertahan hidup, tapi apa jadinya kalau makanan yang mereka beli dengan harapan bisa terus hidup, pelan-pelan justru membunuh dia? Saya bahkan nggak yakin ini layak disebut makanan. Baik Ahyar atau Ditrisya tersentak mendengarnya. Sungguh Ahyar tidak mempermasalahkan komplainnya, hanya saja, kalimat terakhir ibu itu sangat kasar dan melukai perasaannya. Tanpa sadar kedua tangan Ahyar mengepal di sisi tubuhnya. Ahyar akhirnya berani memasak itu setelah kegagalan berkali-kali sampai ia bisa membuat rasa yang pas dan konsisten. Tidak sedikit waktu dan energi yang Ahyar curahkan, bagaimana bisa orang itu menyebut masakannya tidak bisa disebut sebagai makanan?" "Ma, udah... ayo pulang aja." Rengek sang anak. Wanita itu memberi anaknya lirikan tajam, lalu kembali menatap Ahyar. "Kamu menjual sesuatu yang dikonsumsi manusia, masuk ke dalam tubuhnya. Jangan egois dan mengabaikan kesehatan orang lain." Dengan sinis, dia melirik mobil kuliner Ahyar. "Jualan modal keren doang. Kualitas mirip burger gocengan." Wanita itu akhirnya bergeming setelah sang anak menariknya lebih kuat. Saat itu Ahyar langsung membuang burger yang dikembalikan itu ke arah sembarang. Ahyar melampiaskan kemarahannya dengan meninju badan mobil kulinernya yang tadi dibilang modal keren saja. "Yar, udah..." Ditrisya berusaha menghentikan Ahyar melukai diri dan memeluknya, tapi Ahyar mendorongnya menjauh. "Itu..." Rahang Ahyar mengatupkan rahang kaku, "Kamu tadi tanya kenapa aku malas jualin burger hari ini, karena itu! Karena aku malu, rendang yang aku buat sangat berminyak." Ditrisya berusaha menyentuhnya, namun Ahyar lagi-lagi mundur menghindar. Ditrisya mengambil jeda, matanya menatap nanar Ahyar yang nampak tak terkendali. Menahan gejolak di d**a, Ditrisya mencoba menyentuhnya sekali lagi, kali ini Ahyar tak bergerak. Ditrisya pun memberanikan diri memeluknya. Ahyar mengurai pelukannya cepat. Terlihat jelas pria itu tertekan, namun berusaha menutupnya dengan seulas senyum yang justru membuat hati Ditrisya teriris. Ya Tuhan, pria ini harus berusaha sekeras apa lagi? "Mau tunggu di sini sebentar lagi?" tanya Ahyar dengan tarikan napas lebih tenang. Ditrisya mengangguk, mana mungkin ia bisa meninggalkan Ahyar dalam situasi kacau begini. "Aku cari makan dulu buat kita," ujarnya, kemudian pergi tanpa merasa perlu menunggu respon Ditrisya. Ahyar tidak benar-benar pergi ke sebuah tempat yang menjual makanan, lelaki itu mendatangi sebuah tanah kosong yang menghadap rel kereta api. Kedua tangan Ahyar mengepal di sisi tubuhnya, saat kereta api melintas, Ahyar berteriak sekencang-kencangnya. Berharap emosi yang mengendap bisa keluar bersama suaranya lalu terbawa laju cepat kereta. Napas Ahyar terenggah-enggah setelah mengeluarkan amarah dan frustrasinya. Belum, ini belum waktunya Ahyar menyerah. Ahyar akan memberikan kesempatan sekali lagi bagi dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa hasil tidak akan menghianati usaha. Jika itu berhasil dibuktikan semua orang, seharusnya itu juga berlaku bagi Ahyar, bukan? *** "Dia bukannya penjual burger di foodtruck yang ada di ujung jalan itu, ya?" Selagi menunggu nasi bungkus di sebuah warung, tanpa sengaja Ahyar mendengar pembicaraan bisik-bisik dua orang perempuan yang duduk di depan etalase makanan. "Iya, kayaknya." "Bosen kali, ya, makan burger melulu." "Bukannya bosan, tapi emang nggak doyan." "Hah? Bukannya rasanya enak, ya?" "Kamu belinya bareng aku sekali itu doang, kan? Belakangan ini rasanya parah. Terakhir aku beli dua hari lalu dan tenggorokanku rasanya mau kebakar karena pedasnya merica yang amit-amit." "Masa, sih?" "Iya, pedagang, kan, emang gitu. Ramai dikit, udah malas jaga kualitas. Mentang-mentang udah punya pelangggan. Aku suka belanja di sana karena dulu rasanya khas dan itu enak banget, apalagi yang jual ganteng dan murah senyum. Tapi sekarang aku udah kapok, nggak mau lagi beli. Buat apa aku bayar makanan nggak enak dengan harga mahal kalau lidah aku berontak nggak ngijinin masuk ke perut? Meskipun dimakannya sambil ngeliatin si mas penjual, tetep aja rasanya nggak enak." Begitu dua nasi bungkusnya didapat, Ahyar langsung membayar dan bergegas pergi dari sana. "Yar-" Ahyar mengabaikan Ditrisya saat menyerahkan nasi bungkus itu padanya. Ahyar segera menaiki mobil dan mengambil wadah besar rendang yang belum terjual setengah sepanjang hari ini. Ahyar menyadari kehadiran Ditrisya yang menatapnya bingung, namun mengabaikannya. Ahyar mengambil sendok dan memakan satu sendok penuh rendang itu, Ahyar memejamkan mata pada kunyahan ke tiga. Salah Ahyar tak pernah mencicipi rendang buatannya. Ia pikir hanya tampilannya saja yang berminyak, rupanya rasanya juga membuat Ahyar mual. "Ahyar, kamu ken--" Ditrisya berusaha menyentuh Ahyar, namun Ahyar bergerak cepat menuangkan rendang itu ke dalam kantung hitam tempat sampah. Ditrisya sontak memekik kaget dalam waktu bersamaan. Ditrisya belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, ketika ia mendengar gumaman Ahyar. "Tutup aja sekarang." Ahyar mulai mengemasi semua yang perlu di bereskan. Ahyar yang belum ingin memberi penjelasan apapun, merasakan tangannya ditarik, tubuhnya dipaksa menghadap Ditrisya. "Udah? Sampai di sini aja? Kamu mau menyerah sekarang?" "Aku udah berusaha, Di. Aku beneran berusaha dan inilah hasilnya." "Enggak, Yar..." Ditrisya menggeleng, membuat sebutir air mata ikut luruh bersama gelengan kepalanya. "Ini masih proses." "Sebuah proses nggak selalu berujung kesusksesan, Di. Kegagalan itu juga hasil dari proses." Ahyar menghembuskan napas gusar. Jika ada yang harus menangis, orang itu harus lah Ahyar. "Percuma kita keliling setiap hari buat jualan makanan yang orang lain kita kotoran setelah melihatnya. Yang kalau dimakan, orang itu baru menyadari kalau itu adalah racun. Aku salah karena nggak mengukur kemampuan aku dan berpegangan pada kemampuan orang lain, saat orang itu ngelepasin talinya, aku terjengkal ke belakang, jatuh dan nggak tahu mesti ngapain." "Kamu bisa berdiri lagi, lari-" "Di saat aku udah nggak punya kaki lagi?" Ahyar tertawa sumbang, "Nggak, Di. Itu saatnya aku berhenti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN