Hari ini adalah hari ke empat belas Ahyar berjualan kembali. Setelah beberapa kali melakukan percobaan memasak rendang sendiri, Ahyar memutuskan untuk mulai berjualan lagi seminggu sejak belajar dari Ibu pertama kali. Ia tentu tak berani membawa stok terlalu banyak. Dengan sangat menyesal, Ahyar juga harus menghapus beberapa menu lain dan memfokuskan pada varian rendang dan daging ayam lantaran ia keteteran jika harus menyiapkan semuanya sendirian. Yang terpenting, Ahyar mulai berjualan lagi, sembari terus belajar membuat menu lainnya.
Kamar kost yang ditempatinya kini tak ubahnya gudang, semua barang bercampur jadi satu di sana. Dapur kecil yang sedianya adalah dapur bersih terpaksa dijadikan tempat produksi, maka tak heran jika aroma di dalam sana sangat susah digambarkan. Ada aroma rempah, cabai, asap, pakaian kotor Ahyar, dan semprotan parfum Ahyar yang tersamarkan oleh aroma rempah dapur yang dominan.
Setiap harinya Ahyar akan bangun pukul empat pagi untuk berbelanja ke pasar, langsung mengolah daging yang dibeli mengingat proses memasak rendang akan memakan waktu berjam-jam.
Satu lagi sisi positif dari ketidakprofesionalan Sisil, Ahyar kini jadi lebih peka terhadap isu-isu yang sedang berkembang yang berhubungan dengan harga kebutuhan bahan pangan. Ahyar bisa berkeliling pasar hanya untuk membandingkan harga di lapak satu ke lapak lainnya, ia tak segan menawar, hingga berdesakan dengan Ibu-ibu. Dan jika dulu uang koin seribu rupiah baginya tak ada artinya, sekarang uang lima ratus rupiah pun dikumpulkannya.
Saat ini Ahyar sudah lepas dari fase mengeluh dan menyalahkan Sisil. Ia menganggap semua ini sebagai kesempatan agar ia bisa berdiri di kakinya sendiri, tanpa orang lain perlu menyokongnya agar dapat tegak. Ahyar hanya perlu beradaptasi, lalu setelah ia terbiasa, perlahan-lahan pekerjaan ini akan kembali menyenangkan seperti sebelumnya.
Pukul sepuluh pagi rendang sudah jadi, Ahyar beralih menyelesaikan sambal-sambalan, sebelum hari semakin siang karena masih ada selada yang belum ia cuci dan banyak perintilan persiapan lainnya.
Ahyar mengumpat saat mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Ahyar tidak mengharapkan gangguan yang pastinya akan menghambat pekerjaannya. Dengan kesal Ahyar beranjak membuka pintu, tetapi setelah tahu siapa yang datang, kekesalannya seketika hilang.
"Aku kesiangan, ya?" Ditrisya berdiri di sana, dengan wajah polos dan mata jernihnya.
"Nggak kerja?"
Ditrisya melemaskan bahu, diikuti desahan panjang. "Ini hari minggu, Ahyar."
"Masa?" Ditrisya memutar bola mata malas, dan Ahyar menertawai kebodohannya. Ia terlalu sibuk sampai-sampai lupa hari. "Aku kira masih hari sabtu," kekehnya.
Sesuai janjinya, hari ini Ditrisya akan membantu Ahyar dari pagi hingga malam. Seperti yang kerap dilakukannya sewaktu usaha Ahyar masih ramai-ramainya. Sekarang ini yang membuat Ahyar sibuk bukan melayani para pembeli, akan tetapi menyiapkan 'senjata tempur' sendiri. Mulai dari belanja bahan baku, mengolah, hingga menjualnya, lantaran Fandy ternyata sudah punya pekerjaan di tempat lain.
Ahyar tidak pernah menyuruhnya, Ahyar malah menyuruh Ditrisya memanfaatkan hari liburnya untuk istirahat. Namun Ditrusya menolak, ia berdalih bahwa badannya kaku jika hanya berkutat di rumah. Padahal jauh sebelum kenal Ahyar, bermalas-malasan adalah refreshing baginya. Ditrisya sengaja menyimpan alasan sebenarnya, lantaran malu mengakui bahwa ia tak ingin Ahyar melewati masa sulit ini sendiri.
Ditrisya melihat lingkaran kehitaman di sekitar mata Ahyar, makin hari badan pria itu makin kurus dan kurang terurus. Entah kapan terakhir kali Ahyar potong rambut. Sekarang rambutnya sudah mencapai telinga, memang tidak terlalu terlihat karena Ahyar lebih sering memakai topi.
"Fandy benar-benar nggak bisa bantu-bantu di sini, ya?" tanya Ditrisya, berharap ada update kabar terbaru.
"Iya."
"Terus kamu belum dapat orang lagi?" Ahyar menjawabnya hanya dengan gelengan kepala. "Mau aku bantu cari? Adik sepupu teman aku katanya ada--"
"Nggak usah, Di," cegah Ahyar tanpa memberi kesempatan Ditrisya mengentaskan kalimatnya. "Aku aja yang cari, kan aku yang bakal kerja sama dia. Kalau kamu yang cari, nanti takutnya nggak cocok sama aku."
"Kan, nggak langsung kerja, Yar? Kamu mesti interview dulu, ya kali mau mempekerjakan sembarangan orang."
Ahyar memberinya senyuman, seolah ingin menenangkan. "Biar aku cari sendiri. Kamu santai aja," ujarnya, lalu mencuci sayuran di wastafel kecil yang membuat air menyiprat ke mana-mana.
"Jangan bilang kamu emang nggak nyari karyawan." Ditrieya memicing curiga. Meski tidak terlalu yakin, perasaannya mengatakan Ahyar tidak sungguh-sungguh mencari karyawan pengganti Fandy. "Iya, kan, Yar? Jujur aja sama aku."
"Cari, tapi santai."
"Cari tapi santai?" Itu adalah jawaban paling ambigu terbaru yang pernah didengar Ditrisya. Sekalian saja ia simpulkan, Ahyar memang tidak mencari. Ditrisya mendesah panjang. "Yar, kamu lagi kerja apa nyiksa diri?"
"Nggak usah khawatir. Aku masih sanggup."
Dan, kalimat barusan memperjelas semuanya. Bahwa Ahyar memang tidak berniat merekrut karyawan baru.
"Setiap hari bangun jam empat pagi, belanja bahan di pasar, nyiapin dagangan, jualan, sampai beres-beres baru selesai sampai jam satu. Terus bangun lagi jam empat. Aku yakin kamu makan pun pasti sambil berdiri. Ditrisya menjabarkan rutinitas Ahyar jaga-jaga seandainya Ahyar lupa saking sibuknya. "Tiga jam, Yar. Bahkan drakula aja istirahat sepanjang siang."
"Kamu terlalu khawatir, Di. Nggak separah itu, kok. Kan nggak setiap saat ada pembeli, aku selalu bisa makan sambil duduk tenang."
"Tetap aja kamu nyiksa diri namanya, Yar...," lirih Dirrisya sedih.
Ahyar tersenyum, selalu seperti itu setiap kali Ditrisya menasehati agar memperbanyak waktu istirahat.
"Mas Ahyar, permisi..."
Sontak mereka menoleh ke arah sumber suara. Tampak pemilik kos, melonggokkan kepala di celah pintu kamar Ahyar yang terbuka setengah.
"Eh, siang, Bu Linda," sapa Ahyar segera menghampirinya.
Wanita tambun dengan perhiasan emas bergelantungan di leher, bergelangan tangan, dan berjejer di jari-jarinya itu tersenyum sekilas pada Ahyar. Matanya sibuk menelisik tiap sudut kamar.
"Ehm, maaf lagi berantakan banget, Bu."
Bu Linda mesem kecut. "Lumayan banyak ya, barang-barang kamu."
"Ehm... kelihatan banyak karena lagi berantakan aja, Bu. Kalau boleh tahu, ada perlu khusus kah ke sini?" Bu Linda tinggal cukup jauh dari sini, sejak tinggal di sini Ahyar baru bertemu dengannya dua kali. Urusan kost dipercayakan pada penjaga yang dipekerjakannya, sementara untuk uang bulanan, p********n dilakukan lewat transfer bank.
"Ngecek aja, sih. Masa saya harus izin kamu kalau kamu ngecek property punya saja."
Ahyar meringis tidak enak hati. "Bukan begitu maksurnya--"
"Udah, nggak apa-apa. Saya paham. Kamu pasti sibuk banget. Gimana bisnisnya? Lancar?"
"Naik turun, tapi sejauh ini lancar."
Bu Linda menganggukkan kepala sekali. "Kalau lihat sibuknya kamu dari yang saya dengar, kayaknya memang sukses."
"Amin, Bu. Semoga saja." Ahyar bersungguh-sungguh mengaminkan, berharap itu kenyataan, meski belum sekarang. Untuk kali ini, ia akan percaya bahwa setiap perkataan adalah doa.
"Itu bagus. Saya senang kalau kamu sukses, tapi saya rasa kamu butuh tempat yang lebih besar. Kamu mungkin butuh nyewa rumah kontrakan yang punya dapur dan garasi sendiri."
Ahyar fokus mencerna ucapan Bu Linda, pun dengan Ditrisya yang merasa masalah baru se
"Begini, Mas Ahyar. Gimana ya, saya ngomongnya, sebenarnya beberapa penghuni komplain ke saya, mereka bilang susah keluar masuk karena terhalang mobil kamu itu. Dan belakangan ini mereka juga makin terganggu dengan aktivitas kamu di kamar waktu pagi-pagi buta dan tengah malam, dari kamar kamu juga masih sering terdengar keributan. Kamu mengerti maksud saya, kan?" jelas Bu Linda dengan raut seolah-olah menyesal. Sebagai pengusaha kos-kosan, pasti ini bukan kali pertamanya tegur menegur atau usir mengusir penghuni.
"Sama kamu lihat itu," Bu Linda menunjuk plafon yang berada tepat di atas kompor Ahyar. Di sana tampak bercak lebih gelap dari sekitarnya. "Tolong dimengerti ya, Mas Ahyar. Di sini saya perbolehkan masak-masak di kamar, tapi ya, tahu diri lah masaknya yang gimana. Kalau buat masak besar begini, ya nggak cocok. Terus masalah mobil, nih. Iya, kamu bayar sewa lebih, tapi kalau sudah menganggu aktivitas penghuni lain, saya terpaksa minta kesadarannya Mas Ahyar."
Respon Ahyar sedikit melambat, jiwa dan pikirannya seolah terpisah dari badan. Hingga akhirnya bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebih terlihat masam. "Saya mengerti, Ibu tenang aja. Saya juga sudah berpikir itu. Secepatnya, saya akan segera pindah setelah mendapat rumah yang cocok."
"Saya harap kamu nggak tersinggung. Tapi tempat kost saya memang kurang cocok untuk tempat usaha."
Ahyar mengangguk paham sekali lagi, dan Bu Linda pun pergi.
Ayar merasakan remasan di lengannya, sekaligus menyadarkan dirinya bahwa ia sudah melamun. Lelaki itu menoleh ke samping. Ditrisya mungkin sedang berusaha menguatkannya, tetapi air muka gadis itu Ahyar yakin tidak lebih baik dari wajahnya.
"Jangan terlalu ambil pusing," ujar Ditrisya yang sungguh takut hal itu makin membebani pikiran Ahyar.
Ahyar tersenyum tipis, itu senyum terbaik yang bisa dikeluarkannya saat ini. "Bu Linda Cuma ngasih saran, dan itu bukan hal buruk, kan? Aku emang udah nggak nyaman tinggal di sini." Ahyar mengatur praduga positif, malah berbalik dirinya yang menguatkan Ditrisya.
Kerisauan Ditrisya sedikit terhapuskan, digantikan desakan haru. Semua yang menimpa Ahyar, membuat Ahyar-nya makin dewasa. Dalam menghadapi masalah, Ahyar tak lagi mempermasalahkan si pemberi masalah, melainkan langsung mencari solusi mengenyahkannya. Ditrisya bangga, memikirkan bahwa pria itu adalah miliknya.