Inikah akhirnya?
Ahyar bersumpah dirinya masih ingin berjuang, tapi tak seperti sebelum-sebelumnya, saat ini Ahyar sama sekali tidak punya bayangan harus bagaimana. Pikirannya benar-benar kosong. Sulit berprasangka bahwa ini belum kiamat, ketika sejak pagi Ahyar terus dihadapkan dengan masalah tanpa henti.
Pelanggan jelas-jelas tidak puas dengan produknya, lalu apa lagi yang bisa Ahyar tawarkan?
Ditrisya menyodorkan sebotol air dingin yang penutupnya sudah terbuka, menyuruh Ahyar meminumnya. Ahyar meminum seteguk. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk hanya sekadar menelan air lebih banyak.
"Ini hari apa, ya? Perasaan nggak ada satu pun yang berjalan benar. Apa ini tandanya aku mesti berhenti?"
"Enggak, Yar, ini cuma hari apes. Hari ini bukan akhir dari perjuangan kamu."
"Di, udahlah," sahut Ahyar malas mendengar sugesti-sugesti positif Ditrisya. Lama-lama, bukannya memecut semangat, kata-kata itu membuat Ahyar kehilangan rasionalisme. Optimis pun harus masuk akal.
"Yar--"
"Cukup. Aku bilang udah ya, udah!" bentakan Ahyar seketika membuat Ditrisya mengatupkan bibir rapat. Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berusaha memahami perasaan Ahyar saat ini.
"Maaf, aku cuma lagi pusing," gumam Ahyar menyadari bentakannya keterlaluan, lalu beranjak menjauh dari Ditrisya.
***
Ditrisya salah, semula ia pikir Ahyar sudah berada di fase terbiasa menghadapi masalah. Nyatanya Ahyar dengan mudah kalah oleh masalah. Ahyar memilih berhenti untuk pindah haluan, alih-alih menghadapi masalah-masalah baru lagi. Jika seperti itu cara hidup Ahyar, maka selamanya dia tidak akan sampai pada tujuan.
Kecuali, jika Ahyar memang tak ingin tiba di sana. Seorang bijak pernah berkata bahwa hidup adalah perjuangan, selama kamu masih bisa bernapas, selama itulah masa perjuanganmu.
Setelah Ahyar membuang semua dagangannya dan mereka tidak punya apa-apa untuk dijual, mereka tentu saja langsung pulang. Hati Ditrisya sakit memikirkan makanan-makanan dalam kondisi bagus itu teronggok di tempat sampah hanya karena emosinal Ahyar. Semarah dan sekecewa apa pun, Ahyar tidak seharusnya berbuat sampai sejauh itu. Tidak ada dari mereka yang merasa perlu membangun obrolan, sepanjang perjalanan mereka disibukkan dengan pikiran masing-masing.
Ditrisya pikir ia masih punya cukup waktu untuk meyakinkan Ahyar bahwa ini belum kiamatnya, namun takdir berkata lain.
Suasana di jalanan sedikit tidak biasa hari ini. Banyak mahasiswa, terlihat dari jas almamater mereka yang warna warni berbaur jadi satu, ramai-ramai berjalan ke depan.
"Sepertinya di depan ada demo, mending kita putar cari jalan lain." Saran Ditrisya dijawab anggukan sepakat oleh Ahyar.
Mereka terpaksa berhenti lantaran tepat di depan mereka puluhan polisi berjejer memblokade jalan agar demontrasi tak meluas. Sekitar seratus meter di depan sana terlihat kepulan asap hitam membumbung di udara. Terdengar bunyi sirene kendaraan kepolisian dan ambulance, juga orasi para demonstran yang menuntut pembebasan beberapa aktivis yang ditahan akibat kritik mereka terhadap pemerintah di media sosial.
Namun terlambat, Ahyar bahkan belum menemukan jalan untuk putar balik, gerombolan besar mahasiswa berjas almamater menyerbu polisi. Batu-batu beterbangan di udara, jumlah aparat yang kalah membuat mereka tunggang langgang menyelamatkan diri.
Ditrisya berteriak ketika salah satu batu mengenai kaca depan mobil hingga retak. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ahyar antara khawatir dan tegang, sekaligus pertama kalinya Ahyar buka suara sejak memutuskan berhenti berjualan.
Ditrisya memegangi d**a yang berdebar-debar ketakutan, "Kita harus pergi dari sini secepatnya, aku takut."
Tok!tok!tok! Seorang polisi mengetuk kaca di pintu samping Ahyar, Ahyar menurunkannya dan polisi itu berkata cepat. "Keluar! demonya akan meluas sampai ke sini."
"Tapi mobil saya--"
"Ini demi keselamatan kalian! cepat!"
"Ayo, Yar." Ditrisya ikut meyakinkan sesaat sebelum turun sambil mengalungkan tas selempangnya melintangi tubuh. Ahyar mengumpat keras sambil memukul setir, lalu turun pada akhirnya. Polisi berperisai itu melindungi Ahyar dan Ditrisya, membawa mereka ke gedung perkantoran sekitar bersama puluhan orang lain.
"Mohon tunggu di sini sampai situasi terkendali." Pesan polisi sebelum berlari melanjutkan tugasnya kembali.
Menginjak lantai marmer gedung, Ahyar baru menyadari bahwa mereka meninggalkan jejak. Jejak Ditrisya tepatnya, berupa jejak tapak kaki berwarna merah. Ahyar tercenggung. "Di, kaki kamu..."
Ditrisya terkesiap mendapati darah tepat di kakinya, ia tak sadar kakinya terluka, ia hanya sadar sewaktu flat shoenya terlepas saat tengah berlari tadi. "Kaki aku luka," gumamnya seperti orang kebingungan.
"Aku juga bisa lihat, bodoh!" Ahyar geram, dia dan sebagian orang di lobby kantor ini juga bisa melihatnya. Ahyar menoleh ke sana ke mari lalu menyeret Ditrisya menuju sofa tamu yang tak menyisakan space kosong lagi untuk diduduki.
"Permisi..." Ujar Ahyar mendekati seorang pria muda tegap yang duduk di sofa, "Maaf... kaki pacar saya luka, bisa minta tempat duduknya?"
"Aku nggak apa-apa, Yar." Ditrisya merasa tak enak hati, Ahyar memberinya lirikan tajam dan Ditrisya langsung tidak berani membantah lagi.
Meski terlihat enggan, pria itu tetap bangkit pada akhirnya. Ahyar menuntun Ditrisya untuk duduk di sana. Saat itulah kakinya baru terasa nyeri. Ahyar berjongkok di depannya dan berjengit ngeri saat mengambil serpihan kaca yang masih menempel di telapak kaki Ditrisya. Ditrisya merintih sambil mencengkeram pundak Ahyar karena itu rasanya sakit sekali. Seorang wanita yang duduk tepat di samping Ditrisya mengulurkan tissue pada Ahyar. Ahyar menggumamkan terima kasih dan menggunakan tissue itu untuk menutup luka Ditrisya sementara.
"Kenapa bisa sampai kayak gini, sih?! Sepatu kamu mana? Nggak lihat apa, ada beling di depan?!"
"Aku juga nggak tahu. Kamu jangan marah-marah..." lirih Ditrisya dengan suara bergetar, campuran sakit dan ketakutan.
Ahyar mendongak ke atas dan mendapati bibir Ditrisya yang bergetar menahan tangis. Menghela napas panjang, Ahyar berkata. "Tunggu di sini sebentar." Ahyar kemudian pergi, entah mau kr mana.
Ditrisya mendengar celoteh beberapa orang yang hampir semuanya menyesalkan tindakan demonstrasi anarkis ini. Karena bukan hanya berdampak pada kemungkinan timbulkan korban jiwa maupun luka antar demonstran dan aparat, serta kerusakan fasilitas umum. Demonstrasi ini pastinya menghambat kegiatan masyarakat di wilayah setempat.
Sebagian lagi memaklumi. Jika hanya dengan cara seperti ini pemerintah mau berhenti berpura-pura menjadi tuli, mau bagaimana lagi?
"Minum, Mbak. Ini masih belum dibuka, kok."
Ditrisya mengangguk dan tersenyum pada orang baik hati yang sengaja menghampirinya hanya untuk memberi sebotol air mineral. "Terima kasih banyak." Tanpa menunggu waktu, Ditrisya langsung meminumnya. Ketegangannya pun sedikit berkurang.
Tak lama kemudian Ahyar kembali dengan membawa sebuah kotak P3K. "Dapat dari mana?" Tanya Ditrisya saat Ahyar tengah membuka kotak berwarna putih dan mengeluarkan beberapa kapas.
"Minta sama OB." Ahyar membersihkan bekas darah di sekitar luka Ditrisya lalu membengoleskan cairan antiseptik dan obat merah, sebelum kemudian ditutup dengan kain kasa dan perban.
Wanita yang memberikan Ditrisya tissue tiba-tiba dipanggil seseorang, dia menghampiri orang itu dan masuk ke dalam lift. Ahyar menempati tempat yang ditinggalkannya. Ahyar menyandarkan punggungnya di bantalan sofa yang sangat empuk, sayangnya itu tak cukup untuk meringankan beban pikiran yang tengah ditanggungnya. Semua hal berkumpul di dalam kepalanya, Ahyar lalu bertanya pada hatinya, seperti inikah neraka dunia? Atau masih ada yang lebih buruk dari ini?
Sentuhan di pahanya membuat Ahyar membuka mata, Ditrisya tampak ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Maka gadis itu hanya memandangi wajah Ahyar dan jemari tangannya bergantian.
Jika Ahyar ditanya bagian apa dalam hidupnya yang berjalan dengan benar, tanpa ragu Ahyar akan menjawab, bagian jatuh cinta pada Ditrisya. Ditrisya membuat Ahyar tak bisa berpaling dan menjadikannya sebagai orang pertama dihubungi saat ia bahagia, mendengar suaranya saat hatinya gundah, dan satu-satunya orang yang ingin Ahyar lindungi keselamatannya.
Sebaliknya, bagi Ditrisya, jatuh cinta dengan Ahyar barangkali adalah kesialan yang tak bisa ditolak. Ahyar belum bisa menjaminkan apa-apa, dan bahkan tidak bisa melindungi keselamatannya.
Ahyar menegakkan duduknya dan menarik Ditrisya ke dalam pelukannya. Ditrisya menggeliat ingin melepaskan diri, "Banyak orang, Yar..."
"Cuma peluk, Di," gumam Ahyar, menekan kepala Ditrisya di dadanya. Lelaki itu menghirup aroma shampo Ditrisya yang tak begitu menyengat. Orang yang melihat akan berpikir mereka tak punya sopan dengan mengumbar kemesraan di depan umum, apalagi situasi di luar sedang genting.
"Aku akan menghadapi hal yang lebih buruk dari ini, Di. Jadi biarin aku memeluk kamu sebentar lagi."
Terdengar suara ledakan cukup keras di luar tak lama kemudian, semua orang riuh ingin tahu apa yang terjadi.
"Yar... Mobilnya pasti aman, kan?"
Bola mata Ahyar menatap nanar kepulan asap dari dinding kaca. "Hmm... paling cuma kacanya yang pecah."
***
Ditrisya membalik halaman depan koran yang menampilkan sebuah mobil terbakar hebat, itu bukan satu-satunya kendaraan yang turut menjadi korban anarkisme para demonstran kemarin. Beberapa motor dan sebuah mobil polisi kini tinggal berupa kerangka besi gosong.
"Ya, ampun, jadi itu food truck-nya Ahyar?"
Ditrisya mengangguk lesu. Vivi memaksa menemuinya di sela istirahat makan siang hanya karena mencemaskan keadaan Ditrisya, setelah mengaku baik dia maupun Galang tidak bisa menghubungi Ahyar. Jangankan mereka, Ditrisya saja belum bicara dengannya sejak kemarin.
"Ahyar pasti syok banget."
"Saking syoknya, dia sampai nggak bisa ngomong apa-apa. Gue sendiri takut sampai sekujur badan gemetaran, dan kalau gue boleh milih, gue pingin dia teriak-teriak atau memukuli siapapun yang harus bertanggungjawab."
Vivi mengelus punggung tangan Ditrisya yang terkulai di atas meja. "Ini tugas lo buat nguatin dia. Lo tahu sendiri, kan, Ahyar nggak punya siapa-siapa." Ditrisya mengangguk lagi, setetes air matanya lolos tiap kali teringat kejadian saat mereka melihat petugas pemadam kebakaran menyemprotkan semacam form untuk memadamkan api yang membakar habis mobil kuliner Ahyar. Dengan kaki terseok-seok, Ditrisya memeluk Ahyar yang mematung menatap mobilnya dengan tatapan kosong. Ditrisya menangis hebat, dan Ahyar mati rasa.
Bisa Ditrisya bayangkan bagaimana terguncangnya Ahyar. Mobil kuliner itu bukan hanya sekadar alat kerja baginya, melainkan seluruh harta yang dia punya. Bahkan hutang yang belum terbayar juga turut terbakar di sana.
Habis. Semuanya.
"Vi, lo tahu, nggak, hutang Ahyar ke Galang berapa?"
"Lo nggak pernah tanya ke dia?" balik tanya Vivi.
Ditrisya menggeleng pelan. "Pernah tanya. Tapi dia kayak nggak mau gue tahu. Pasti banyak, ya?"
Vivi tidak enak hati menerima pertanyaan itu. Jika Ahyar tidak mau memberitahu, mungkin Ahyar lebih nyaman jika Ditrisya tidak perlu tahu. Vivi pun menjawab sebisanya. "Untuk kondisi Ahyar sekarang, ya, terhitung lumayan banyak. Tapi nggak usah dipikirin. Ahyar sama Galang berteman udah lama. Galang nggak mempersalahkan sama sekali uangnya dibawa sama Ahyar." Vivi mendorong piring makan Ditrisya yang belum tersentuh. "Lo harus makan, Di, Ahyar butuh lo."
Vivi benar. Ahyar butuh dirinya. Ditrisya tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, sebab apa yang dirasakannya ini tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dipikul Ahyar.
Hingga sore hari Ahyar belum juga bisa dihubungi, Ditrisya yang khawatir pun menjadikan kosan Ahyar sebagai tujuan pertama sepulang kerja. Motor Ahyar tampak di parkiran, berarti lelaki itu ada di dalam.
Namun, Ditrisya diberitahu salah satu tetangga Ahyar bahwa lelaki itu keluar jalan kaki tidak tahu ke mana.