Saat Ibu menelpon, Ditrisya masih berada di kost Ahyar. Ibu tak mengomel meski sekarang sudah jam sepuluh malam sementara Ditrisya masih di kost seorang lelaki. Ibu mengerti saat Ditrisya mengatakan Ahyar sangat terpukul dan ia tak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Ditrisya melirik sekali lagi lelaki yang sedang meringkuk di kasurnya itu dengan selimut membungkus tubuhnya. Ahyar kedinginan bahkan di suhu ruang.
"Aku tutup dulu, ya, Bu. Aku mau ajak Ahyar makan dulu sebelum pulang." Usai sambungan terputus, Ditrisya mendekati Ahyar. Setengah berbaring menghadap wajah Ahyar, dengan menggunakan siku sebagai tumpuan, sementara tangannya yang bebas menyentuh punggung Ahyar. "Yar ....," panggilnya lembut.
Ahyar bergumam, perlahan matanya terbuka. "Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh. Mau makan, nggak? Tadi kamu nggak makan sotonya, aku bisa angetin. Makan sedikit, ya?"
Ahyar memejamkan mata lagi, lalu membukanya. Dia tak menyangka bisa akhirnya bisa tidur pulas lebih dari satu jam. "Nanti aku angetin sendiri. Aku antar kamu pulang sekarang."
"Aku bisa pulang sendiri," cegah Ditrisya. Melihat bibir Ahyar yang pecah-pecah serta matanya yang sangat merah, Ditrisya menggerakkan tangannya menyentuh kening Ahyar, seketika itu juga matanya membeliak. "Ahyar, kamu demam."
Ahyar menyingkirikan tangan Ditrisya, bahkan telapak tangannya juga terasa hangat. "Aku punya paracetamol. Setelah minum itu pasti turun demamnya," ujar lelaki itu menenangkan.
"Dimana? aku ambilin." Ditrisya bangkit tergesa, kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya yang tak sekusam yang lelah. "Tapi sebelum minum obat, kamu makan dulu."
"Mending kamu pulang sekarang sebelum jalanan makin sepi, Di. Bahaya," saran Ahyar mendesak.
Ditrisya tak menghiraukan, ia tahu itu hanya usaha Ahyar untuk mengusirnya. Ditrisya tidak bisa pulang di saat jelas-jelas Ahyar sedang sakit. Dipaksa makan sejak tadi saja tidak bisa, apalagi jika ditinggal sendiri?
Ditrisya terduduk lagi di tepi kasur Ahyar. "Kita ke dokter, ya?"
"Aku nggak apa-apa. Beneran."
"Kamu mesti ngaca saat ngomong barusan. Aku nggak akan pulang selama kamu masih demam dan ngeyel!" putus Ditrisya sebal.
"Apa seperti ini rasanya?"
"Apa?" Ditrisya memandang tangannya yang digenggam oleh Ahyar.
"Punya seseorang yang mengkhawatirkan kita." Ditrisya terpaku menatapnya, "Seumur hidup aku sendiri. Waktu masih tinggal di panti, aku nggak pernah ngerasain ini. Aku nggak pernah ngebiarin badanku jatuh sakit karena aku tahu nggak akan ada orang yang memaksa aku minum obat."
"Terus kenapa sekarang kamu ngebiarin badan kamu sakit?"
"Aku juga nggak mau, Di. Aku juga nggak mau bikin kamu khawatir terus. Tapi aku tetap aja sakit, kayak aku tetap aja gagal meskipun udah usaha."
Di dalam batin, Ditrisya meringis pedih. Kehancuran Ahyar bisa Ditrisya rasakan dari sorot matanya. Sesungguhnya ia ingin mengatakan 'tidak apa-apa', tapi sepertinya bukan itu yang ingin Ahyar dengar. Ditrisya akan memberikan Ahyar waktu untuk merayakan dukanya, sembari perlahan-lahan mengajaknya kembali bangkit
Ditrisya merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Ahyar, bebaring miring di atas satu bantal yang sama dengan lelaki itu. "Apa kamu menyesal memulai bisnis?" tanyanya, menatap kedalaman mata Ahyar.
"Sampai kemarin, iya."
"Kalau sekarang?"
"Nggak terlalu," jawab Ahyar tak terduga, sekaligus mematik penasaran Ditrisya. "Setelah aku pikir-pikir, aku sebenarnya senang menjelaninya. Meskipun banyak masalah dan kesannya nggak ada satu pun yang beres, aku merasa aku senang menjalani itu. Gimana capeknya, frustrasinya, puasnya setelah berhasil mengatasi. Aku bisa menyebutnya apa, ya? Aku kayak... b*******h?"
"Karena setiap hari kamu punya tujuan." Ditrisya lega mendengar pengakuan Ahyar. Setidaknya, Ahyar tidak lagi hanya menyalahkan diri.
Ahyar mengangguk sekali, setuju dengan Ditrisya. "Makanya sekarang aku merasa kosong, tapi aku nggak tahu mesti ngapain."
"Nggak apa-apa. Pelan-pelan aja," Ditrisya meyakinkan. "Kapok bisnis lagi, nggak?"
Ahyar terdiam cukup lama. Rasa-rasanya, ia belum pernah seantusias itu pada pekerjaan atau kegiatan. Namun, untuk mencobanya lagi, Ahyar menggelengkan kepala. "Aku udah nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan. Maksud aku, modal."
"Kalau ada yang ngasih bantuan?"
Ahyar menggeleng lagi. "Sekarang aku mau mulai denga pasti-pasti aja. Nggak mau lagi bikin orang expect tinggi, kalau aku gagal lagi membuktikan kayak sekarang, aku nggak tahu mukaku mau ditaruh dimana."
"Aku yakin nggak ada yang nyalagin kamu. Orang-orang pasti paham kalau kamu gagal bukan karena kamu yang payah atau kurang berusaha, ini karena musibah."
"Musibah...," gumam Ahyar tersenyum kecut. "Iya, ya, ayo kita anggap sebagai musibah."
"Ahyar, nggak--" ucapan Ditrisya terpotong saat Ahyar mendekatkan punggung tangan Ditrisya ke dekat bibirnya untuk dikecup lama, Ahyar menjauhkan tangan Ditrisya sejurus kemudian bangkit dari rebahannya dengan berat. Seolah sengaja ingin mengakhiri percakapan.
"Ciuman benerannya nyusul, ya. Bibir aku lagi kering dan aku belum sikat gigi sejak pagi tadi," canda Ahyar berusaha tertawa yang lebih seperti kekehan hambar. "Ayo, aku antar ke depan. Mana kuncinya, biar aku keluarin motor kamu."
"Aku nggak akan pulang dulu sebelum lihat kamu makan sama minum obat," kekeh Ditrisya tegas.
"Nanti terlalu malam, Di," bujuk Ahyar. "Ya udah, kamu pilih. Tungguin aku makan dan pulangnya aku antar, atau pulang sediri tapi sekarang."
Melihat Ditrisya melotot protes dan hendak membantah, Ahyar segera mendahului. "Nanti aku video pas aku makan sama minum obat, pas kamu sampai di rumah, videonya pasti udah terkirim."
Meski berat, akhirnya Ditrisya mengalah. "Awas kalau sampai aku udah di rumah dan videonya belum masuk. Aku samperin ke sini lagi."
Ahyar hanya terkekeh kecil sambil mengangguk, dan bangkit lebih dulu dari tempat tidur.
Ditrisya menunjuk ke arah meja, "Aku cabut charger dulu," katanya sebelum mencabut charger dari stop kontak, ketika tiba-tiba terdengar suara sesuatu terjatuh, Ditrisya menoleh dan jantungnya nyaris ikut jatuh mendapati Ahyar terduduk di dekat pintu sambil memegangi perut dan memejam kesakitan.
"Ahyar, kamu kenapa?" tanyanya panik. Seluruh fokus Ahyat agaknya hanya dipakai untuk menahan rasa sakitnya.
Dengan tangan gemetaran, Ditrisya berusaha menelepon ambulan. Sialnya, otaknya mendadak kosong dan tidak tahu haru menelepon ke nomor berapa. "Sebentar, aku minta tolong--"
"Nggak usah," cagah Ahyar memegangi tangan Ditrisya. Napasnya mulai teratur serta ringisan di wajahnya mengendur. "Ada klinik di depan, antar aku ke sana. Aku masih kuat kalau cuma naik motor."
"Kamu yakin?" tanya Ditrisya karena dirinya tidak yakin. Wajah pucat Ahyar makin mengerikan. Namun sekali lagi, Ahyar menganggukkan kepala meyakinkan.
***
Menggunakan punggung tangan kirinya Ditrisya mengusap air matanya kasar, lalu menurunkan tangan itu ke gagang setir motor yang sedang melaju di jalan raya. Di belakangnya Ahyar terkulai lemas, menyandarkan kepala di pundak Ditrisya dan memeluk pinggangnya dengan lemah. Beberapa kali terdengar gumaman maaf dari bibir Ahyar.
Sungguh, mengapa hidup harus sekejam ini pada Ahyar?
Ahyar segera mendapatkan penanganan begitu tiba di UGD klinik terdekat. Dokter juga mengambil sampel darah Ahyar untuk diuji di labolatorium. Di saat itulah Ditrisya tahu Ahyar ternyata belum makan apa-apa sejak kemarin. Selama dua hari lelaki itu tidak memasukkan apa-apa ke dalam tubuhnya, kecuali air putih. Dokter sampai terheran-heran bagaimana bisa laki-laki dewasa seperti Ahyar melalaikan kewajiban sederhana yaitu makan.
Dokter menyarankan agar Ahyar menginap di rumah sakit malam ini, meski Ahyar bersikeras tak ingin. Ditrisya diminta melengkapi administasi dan memilih kelas kamar rawat. Ahyar berpesan agar Ditrisya memilih kamar kelas tiga saja. Diam-diam Ditrisya memilih kamar kelas satu agar Ahyar bisa beristirahat dengan tenang dan tak terganggu dengan pasien lain. Ia pernah dirawat di kamar kelas tiga, dan baru semalam langsung menangis minta dipindahkan lantaran tak bisa tidur.
Sayangnya seluruh kamar kelas satu dan dua sudah penuh, termasuk kamar VIP sehingga membuat Ditrisya terpaksa memilih kamar kelas tiga.
Ahyar sedang tertidur, di punggung tangan kirinya tertancap jarum yang memasukkan cairan infus ke dalam tubuhnya. Ditrisya menarik kursi dan duduk di dekat ranjang setelah menutup tirai pemisah dengan pasien di samping kanan dan kiri Ahyar. Dipandanginya wajah pucat lelaki itu dengan sedih. Jika tidak diinfus dan diberi obat, barangkali Ahyar tidak akan bisa tidur pulas.
Ditrisya mengelus lembut kening Ahyar. "Kamu akan baik-baik aja," bisiknya nyaris tak terdengar.
Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang lelaki itu lewati, mustahil rasanya jika Ahyar bisa tetap tegap berdiri. Hari ini Ahyar menunjukkan bahwa dia hanya manusia biasa, yang rapuh dan tunduk pada takdir.
Tidak akan Ditrisya membiarkannya sendirian. Setidaknya untuk malam ini, Ditrisya tak akan meninggalkannya sendiri.