51 | There's Always a Miracle in Disaster

1302 Kata
Dari 'musibah' itu, Ahyar mungkin kehilangan hampir semua harta bendanya, tapi di saat yang sama Ahyar banyak mendapatkan pelajaran berharga. Salah satu yang paling terasa adalah kehadiran Ditrisya. Di hari pertama Ahyar dirawat, Ditrisya rela mengambil jatah cutinya hanya untuk menjaga Ahyar. Dia yang mengurus semua masalah administrasi dan yang cerewet bertanya banyak hal pada dokter, sampai-sampai suster mengira mereka sudah suami istri. Sepanjang hari Ditrisya berjaga di sini. Jika saja Ahyar tidak marah saat Ditrisya bersikeras ingin menginap malam harinya, bisa dipastikan Ditrisya menghabiskan dua puluh empat jamnya hanya untuk merawat Ahyar di rumah sakit. Dan di hari ke dua Ahyar dirawat, Ditrisya mulai masuk kerja, meski sesungguhnya Ahyar lebih berharap Ditrisya ambil cuti sehari lagi untuk dia istirahat saja di rumah. Ahyar tidak mau egois, atas musibah itu, bukan dirinya saja yang lelah, bukan jiwanya saja yang terguncang. Ditrisya juga butuh istirahat dan mengurus dirinya sendiri lebih dari apa pun. Musibah itu sekaligus menjadi semacam filter pertemanan Ahyar. Ahyar ditunjukkan mana orang-orang yang benar-benar peduli, dan mana yang berteman dengannya hanya untuk sekadar haha hihi. Untuk mereka yang menjauhinya, mereka tidak salah. Mereka berhak pergi jika dirasa Ahyar bukan lah teman yang mereka cari, dan Ahyar pun tidak punya hak merasa ditinggalkan. Galang, Vivi, dan Sandra menjadi segelintir yang menunjukkan kepedulian dengan bertanya keadaan Ahyar pasca musibah itu dan menjenguknya hari ini. Diantara segelintir orang yang menjenguknya, sosok tak disangka-sangka muncul diantaranya. Sisil datang bersama tiga orang teman Ahyar lain. Wajah mereka tampak risih berada di kamar rawat rumah sakit kelas tiga seolah ruangan itu dipenuhi virus penyakit, mereka bertanya heran bagaimana Ahyar bisa tidur bersama enam orang pasien lain dengan penyakit beragam. Barangkali karena itulah mereka memutuskan buru-buru pergi sesaat setelah mengucapkan doa semoga Ahyar lekas sembuh. Kecuali Sisil, ia menyuruh ketiga temannya pulang lebih dulu karena masih ingin bicara dengan Ahyar. "Gue prihatin sama apa yang menimpa bisnis lo," ujarnya sembari menarik kaki kursi dengan kakinya, lalu duduk di sana dengan tenang. "Gue sempat mengira bisnis lo akan gagal karena gue." Kalimat terakhir Sisil Ahyar rasa sedikit ambigu. Dia seakan tahu bisnis Ahyar akan pincang tanpa dirinya, tapi tetap memutus kerja sama. "Apa maksudnya lo menyayangkan ternyata kegagalan gue karena demo sialan itu dan bukan karena ketidakprofesinalan lo?" Sisil tersenyum mengejek. "Lo kayaknya nggak paham, Yar, kata profesional itu cuma disa dipakai atas kesepakatan yang ada legalitasnya. Kalau cuma dari mulut ke mulut, itu nggak lebih dari belas kasihan gue te teman." "Belas kasihan?" ulang Ahyar, merasa lucu dengan dua kata itu. "Kalau memang belas kasihan, lo akan melakukannya cuma-cuma. Lo nggak akan kirim invoice setiap hari, dan lo nggak akan mengharap timbal balik apa pun dari gue, apalagi sampai mengira lo berhak ngatur sama siapa gue mesti jatuh cinta." "Hah, nggak usah terlalu besar kepala, Ahyar. Seolah-olah gue ngemis cinta aja. Gue akui gue sempat bodoh, tapi sekarang gue udah sadar. Ternyata benar kata orang, lo itu modal tampang doang." Ahyar bisa saja mendebat, tapi buat apa? Ahyar lebih ingin berbaring nyaman karena kepalanya masih sedikit berat. "Lo repot-repot ke sini cuma mau bilang itu aja, Sil?" "Enggak. Gue mau tunjukin ke diri sendiri kalau menjauhi lo adalah keputusan terbaik yang pernah gue ambil." "Jadi, udah puas?" Bibir Ayu menipis menahan geram, “Lo cowok paling b******k yang pernah gue kenal, Yar. Cowok yang suka memberi perhatian ke semua cewek, membuat mereka berharap banyak dan lo jatuhin setelahnya. Gue sangsi lo ngerti apa artinya cinta. Gue nyesel udah kenal sama cowok kayak lo, lebih lagi gue sempat percaya dan jatuh cinta. Sok-sokan lo ngaku cinta ke cewek lo yang sekarang, emang lo tahu cinta itu apa?" Sisil meninggalkan kamar rawat Ahyar usai mengeluarkan semua kekecewaannya. Hingga beberapa saat setelah Sisil pergi, Ahyar masih belum bereaksi. Jujur saja Sisil bukan satu-satunya gadis yang menunjukkan amarah terhadapnya, biasanya gadis-gadis yang telah membaca kedok Ahyar akan menangis sejadi-jadinya sambil memukuli Ahyar mengunakan handbag mahal mereka. Tak pernah sekalipun Ahyar memikirkan secara serius makian mereka seperti sekarang. Apakah ini jawaban mengapa segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan Ahyar? Karena banyak orang berdoa agar Ahyar menderita. Getaran ponselnya memecah renungan Ahyar, sebuah pesan masuk dari nomor kontak Ditrisya. Money Slave Aku udah mau pulang. Mau dibawain apa? Ahyar segera mengetikkan jawaban. Ahyar Pahala Nggak usah ke sini Tadi banyak yang datang, jadi banyak makanan Money Slave Justru karena banyak makanan, aku mesti datang Karena dokter larang kamu makan makanan keras Ahyar Pahala Besok aja ke sininya Money Slave Iya, besok ke sana lagi Hari ini juga Ahyar menghela napas panjang. Ia menghabiskan sepuluh menit percuma dengan berdebat dengan Ditrisya lewat pesan singkat. Ahyar sudah mengeluarkan berbagai kalimat larangan datang, sekarang gadis itu sudah ada di hadapannya sembari memamerkan cengiran polos. Ditrisya mendekati nakas yang di atasnya ada nampan makanan dan beberapa barang kecil lain. “Ini jatah makan malam?” Ahyar mengangguk, “Kenapa belum dimakan? Makan sekarang, ya. Tadi siang minum obat, kan? Makannya habis, kan? Perutnya masih sakit, nggak?" Bukannya menjawab Ahyar malah tertawa dan membuat Ditrisya kesal karena pertanyaannya tidak dianggap serius. “Kamu lebih cerewet daripada dokternya. Satu-satu tanyanya.” Ditrisya meringis kecil, akhirnya paham mengapa saat dirinya sakit Ibu selalu marah-marah tiap jam makan dan minum obat. “Siapa aja yang ke sini tadi?” tanya Ditrisya melihat adanya parcel buah di atas nakas dan satu dus kue. “Iya, teman-teman.” Ditrisya mengangguk, merasa sudah puas dengan jawaban itu. Padahal jika Ditrisya teman siapa saja, Ahyar akan jujur menjawab Sisil salah satunya. Ditrisya mengambil nampan makan Ahyar sambil berujar, “Makan, ya, biar besok bisa beneran boleh pulang.” Ditrisya duduk di sisi tempat tidur, menghadap kepada Ahyar yang duduk bersandar pada dua bantal yang disusun di belakang tubuhnya. “Kamu nggak kasihan apa sama aku? aku bosen nungguin kamu sembuh, tahu.” “Kalaupun sembuh aku juga nggak punya pekerjaan, nggak tahu mau ngapain di kost.” “Kan masih sakit, wajar lah nganggur. Nanti kalau udah sehat, bisa cari kesibukan lagi.” Selain perhatian Ditrisya, yang membuat Ahyar perlahan bisa tenang karena Galang menyombongkan diri bahwa uang yang dipinjamkannya ke Ahyar itu adalah recehan, Ahyar tidak perlu mencemaskan masalah itu karena ada atau tanpa uang itu, Galang akan tetap kaya. Sembari menerima sendok demi sendok nasi tim yang disuapkan Ditrisya ke mulutnya, Ahyar sudah mulai berpikir apa yang akan dilakukannya setelah keluar dari rumah sakit. Mungkin, ia akan mulai dengan mencari kerja. Bisnisnya mungkin sudah berakhir, tapi hidupnya belum. “Hmm... soal administrasi rumah sakit, kamu belum mengurusnya, kan?” tanya Ahyar. “Belum, rencananya habis ini.” “Dompetku ada di laci. Pakai kartu debitku, kalau cuma bayar perawatan di kamar kelas tiga masih cukup lah.” “Kamu emangnya nggak butuh uang itu? Maksudku, kamu mungkin punya rencana—” “Jangan buat aku makin nggak nyaman dengan lebih banyak ngerepotin kamu," potong Ahyar teringat perjuangan Ditrisya membawanya ke rumah sakit, itu sungguh tak terbayangkan. Ditambah bagaimana telaten dan sabar Ditrisya mengurusnya sepanjang hari kemarin. “Aku memang udah bangkrut, tapi aku nggak semiskin yang kamu pikir. Walau nggak banyak, aku masih punya tabungan pribadi.” Ditrisya langsung mengiyakan. Dasar laki-laki dan ego mereka. "Ya udah, iya." "Gitu, dong, sekali-kali langsung nurut." Ahyar tiba-tiba menyentuh keningnya, membuat Ditrisya bertanya khawatir, “Kenapa? demamnya naik lagi, ya?” “Aku udah nggak demam.” Ditrisya menunjukkan mimik wajah tak mengerti, “Berarti aku udah sembuh.” “Tunggu hasil tes darah terakhir keluar.” Ahyar mendelikkan kepala ke arah tirai pembatas yang sengaja dibuka agar Ahyar memperoleh udara segar. “Di, tutup tirainya. Ayo ciuman," bisik Ahyar. Dengan pipi bersemu kemerahan, Ditrisya melirik sekitar takut ada yang mendengar. Tentu ia tak menanggapi perintah ngawur Ahyar, meski ia juga ingin. Seringai di wajah Ahyar barusan menandakan bahwa sudah benar-benar sembuh, tanpa perlu menunggu hasil tes keluar. Pertanyaan Sisil terngiang saat Ahyar memandangi wajah Ditrisya yang dihiasi tawa malu-malu. Emang tahu apa lo tentang cinta? Untuk saat ini, setahunya, baginya, cinta adalah Ditrisya Devaski.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN