Ahyar membuang rokoknya yang tinggal lima cm ke bawah kakinya bersama dengan puntung-puntung rokok lain yang sejak beberapa jam lalu menemani Ahyar termangu menatap titik tempat mobil kulinernya berubah jadi rongsokan dalam sekejap mata.
Ini sangat tidak adil, pikirnya. Apakah memang inilah takdirnya? Apa benar Ahyar tidak ditakdirkan memiliki apa-apa? Tidak boleh kah ia bermimpi memiliki kehidupan tertata seperti orang-orang?
Ahyar mengahabiskan sebatang rokoknya lagi, sebelum meninggalkan tempat itu. Ia menaiki bus kota yang sedang penuh. Ketika melihat tempat duduk kosong, ia langsung duduk di sana. Tatapannya nyalang ke luar jendela, melihat segala kesibukan dan lalu lalang kendaraan. Ia pun ingin merasakan kesibukan itu lagi. Namun pagi ini ia kembali bangun tanpa memiliki tujuan dan sederet list untuk dikerjakan. Ahyar kembali jadi pengangguran tak berguna.
"Ehem!" Ahyar melirik sekilas pada seorang perempuan muda yang berdiri di samping kusinya. Perempuan itu berdehem lagi, tapi kali ini Ahyar tak bergeming.
Ahyar bukannya tak sadar perempuan itu mengirim isyarat bahwa Ahyar tidak layak duduk dikursi sementara ada perempuan berdiri.
"Jadi cowok egois banget," dengus perempuan itu lalu berpindah beberapa langkah ke depan.
Ahyar tidak peduli. Gila saja, ia dikatai egois hanya karena sebuah kursi. Apa sekadar duduk saja berlebihan untuk Ahyar dapatkan?
Di tengah perjalanan, jalanan sempat tersendat akibat ada kecelakaan lalu lintas. Di saat hampir semua orang di bus saling bergumam mengasihani seorang pemuda tanggung yang menangisi tubuh temannya yang ditutup koran, Ahyar menatapnya tanpa ada sedikit pun getar iba.
Ahyar turun di pemberhentian terdekat dengan kosnya. Ia berdiri di tepi zebra cross menunggu lampu merah agar bisa menyebrang bersama beberapa pejalan kaki lain. Di seberang jalan, Ahyar melihat seorang Ibu-ibu tasnya dijambret seseorang dari atas motor. Dan lagi-lagi, hati Ahyar tidak merasakan emosi apa pun. Hati kecilnya berkata, seperti itulah hidup. Hukuman kadang kita terima meski kita tidak berbuat salah, kemalangan kadang datang padahal tak diharapkan, dan segala sesuatu yang disemogakan setulus hati serta diupayakan sekuat tenaga belum tentu jadi kenyataan.
Entah mengapa, mengetahui bukan hanya dirinya sendiri yang mengalami kesialan, membuat perasaan Ahyar sedikit membaik.
"Mas Ahyar, baru pulang?" sapa Rusty yang kebetulan sedang di luar.
"Ya...," gumam Ahyar sekadarnya, lebih tepatnya malas. Rusty kembali ramah setelah tahu Ahyar tidak akan membuat keributan dan kamarnya tidak akan menimbulkan bau menganggu lagi.
"Tadi pacarnya sempat ke sini, tapi kayaknya udah pulang."
"Ya...," gumam Ahyar lagi, lalu menutup pintu kamar tanpa peduli sikapnya mungkin saja menyakiti hati Rusty.
Ahyar melempar tubuhnya di tengah ranjang, mengilas balik apa saja yang dikerjakannya selama beberapa bulan terakhir, kemudian merinci apa saja hasilnya.
Skuter kesayangannya terjual, hutang sejumlah uang pada Galang, serta penegasan ke semua orang bahwa ia tak lebih dari pecundang yang banyak omong di depan.
Ponsel Ahyar yang sengaja ia tinggal berdering, panggilan telepon masuk dari Ditrisya. Ahyar hanya memandangi foto kontak Ditrisya sampai panggilan itu berakhir sendirinya. Kemudian muncul pemberitahuan belasan panggilan telepon tak terjawab dari gadis itu.
Tinggal menunggu waktu, Ditrisya pun akan pergi dari hidupnya.
Ditrisya berganti mengirim pesan singkat, saat Ahyar membukanya, deretan pesan lain langsung terbaca.
Money Slave
Udah sampai di rumah, Yar?
Ya, udah kamu istirahat aja
Kalau udah bangun telepon aku, ya?
Yar, angkat telepon aku
Ahyar. Jangan gini, dong. Pasti ada jalan keluar
Aku tadi tanya-tanya ke siapa kita minta ganti rugi
Jangan patah semangat
Yar
Ahyar
Angkat telepon aku
Kamu di mana? Aku di kos kamu
Angkat, Yar. Aku khawatir
Kali ini Ahyar tergerak membalasnya.
Aku mau sendiri dulu
Dan setelah pesan itu terkirim, Ahyar mematikan ponselnya. Ia benar-benar tidak ingin bertemu atau berbicara dengan siapa-siapa saat ini.
***
Ditrisya hanya sanggup memberi Ahyar waktu satu hari saja lantaran ia justru khawatir jika membiarkan Ahyar sendiri. Sepulang kerja, Ditrisya menyambangi kos Ahyar lagi. Ditrisya mengetuk pintu, dan pada ketukan ke empat, pintu itu akhirnya terbuka. Ditrisya meringis antara lega dan sedih akhirnya melihat Ahyar berdiri di hadapannya.
Wajah lelakinya itu tampak kuyu dan lelah. Tubuh tak bertenaganya hanya dibalut kaos hitam tipis dan celana training panjang. Ditrisya mencari-cari kerlingan nakal khas seorang Ahyar Aldrian Pahala di balik kantung tebal di bawah mata lelaki itu. Ditrisya memerintahkan bibirnya untuk tersenyum, meski tak yakin senyumnya akan tampak cukup tulus atau tidak. "Hai, aku bawain soto sapi, pasti belum makan, kan?"
"Di..." Ahyar menghalangi jalan Ditrisya saat gadis itu hendak masuk, "nggak perlu, kamu pulang aja."
"Yakin mau aku pergi?" tanya Dirisya bermaksud menggoda, walaupun wajah datar Ahyar jelas- jelas menunjukkan jika dia bersungguh-sungguh dengan kata- katanya.
Ditrisya memaksa kedua sudut bibirnya tetap tertarik. "Aku pergi setelah makan, ya, aku lapar banget," ujarnya berlagak memelas.
"Enggak, Di, tolong...."
Lengkungan senyum Ditrisya perlahan mengendur. "Kamu masih butuh waktu buat sendiri dulu?"
Kepala Ahyar menggeleng lemah. "Jangan pernah ke sini lagi."
"Yar..."
"Aku bukan orang yang bisa kamu jadikan sandaran," kata Ahyar nyaris menyerupai bisikan. Jangan habisin waktumu sama pecundang kayak aku.
"Yar, nggak apa-apa--"
"Berhenti bilang nggak apa-apa!" bentak Ahyar dengan suara berdesis geram. "Kamu selalu bilang nggak apa-apa, nggak apa-apa. Kenyataannya aku nggak bisa jadi seperti kamu mau, menjadi pengusaha seperti yang kamu harapkan. Sukses dan banyak uang."
Inilah yang Ditrisya takutkan sejak kemarin. Ahyar akan menyesali yang sudah terjadi, menyalahkan diri, menganggap dirinya tidak berarti, dan merasa tidak ada harapan lagi. Padahal jika Ahyar bisa mengelola emosi, mereka bisa memikirkan jalan keluar lain. Ahyar tidak semestinya pasrah menerima keadaan dan menanggung semua kerugian sendirian. Ditrisya yakin ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
"Kita putus aja." Ditrisya tidak datang untuk mendengar kalimat itu.
Mata Ditrisya menyipit sebagai respon pertama, ia menajamkan pandangan guna menilai keseriusan pada mimik wajah Ahyar. Namun alih-alih kesungguhan, Ahyar lebih terlihat seperti orang bingung yang ragu dengan keputusannya. Yang takut menghadapi resikonya.
Ditrisya tersenyum lagi, walau getir. "Kamu ini ngomong apa? Semalam nggak bisa tidur, ya? Sekarang ngomongnya jadi ngaco gini. Minggir, ah, aku juga mau makan." Ditrisya menerobos masuk usai berhasil mendorong Ahyar dengan mudah.
Ahyar mengembuskan napas panjang. Ia sadar harusnya ia mengusir lebih keras, tapi entah mengapa ada sisi lain dari dirinya yang ingin Ditrisya tetap di sini.
Dengan santai seakan ada di rumah sendiri, Ditrisya bergerak meletakkan tas di pinggir Kasur Ahyar, melepaskan jaket, lalu megambil perlengkapan makan di dapur tak berpintu itu. Ia ingin mengabaikan sakitnya ajakan putus Ahyar, seperti ia tak mempedulikan kakinya yang sakit.
Cara jalan Ditrisya yang menjinjit tak luput dari perhatian Ahyar, pemandangan Ditrisya berjalan kesana kemari dengan kaki terluka makin membuat dadanya sesak.
Ahyar mencekal tangan Ditrisya saat gadis itu hendak mengambil piring, Ditrisya mendongak terkejut, apalagi Ahyar membarenginya dengan bentakan, "Kamu tuli atau bodoh, sih?!
"Aku bilang udah selesai! Jangan jadi bodoh dengan masih bertahan bersama pengangguran kayak aku. Aku udah nggak punya apa-apa lagi. Kalau kemarin- kemarin kamu bertahan karena melihat ada harapan, sekarang harapan itu udah nggak ada lagi. Bukannya kamu suka uang? Sana kejar laki-laki yang bisa ngasih itu."
"Uang?" dengung Ditrisya dengan mata terluka, "Apa Cuma sebatas itu kamu menilai aku selama ini, Yar?"
Cekalan Ahyar melemah, selemah jiwanya sekarang. Ahyar baru menyadari bahwa ia telah menambah luka di dirinya sendiri dengan menyakiti hati gadis yang ia cintai.
Dan tentu tidak! sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang, Ahyar bisa merasakan cinta di setiap kehadiran Ditrisya, dan itu adalah hal yang paling Ahyar syukuri seumur hidupnya.
Lelaki itu tertunduk dalam, penyesalan menggerogoti seluruh tubuhnya hingga persendiannya lemas. Ahyar sungguh bingung dan bahkan tidak tahu apa yang ia katakan. Ia hanya berpikir Ditrisya tidak seharusnya ada di sini, sebab Ditrisya layak mendapat laki-laki lebih baik daripada dirinya.
Ditrisya maju selangkah mendekati Ahyar, tangan gadis itu terulur menangkup kedua sisi wajah Ahyar lembut, memaksa Ahyar membalas tatapannya. "Sekarang bilang sama aku, kamu ingin aku ngapain? Pergi ninggalin kamu? Sekarang juga? Iya?"
Ahyar membalas dengan gelengan kepala, lalu menjatuhkan dirinya ke depan memeluk Ditrisya. Pria itu menangis di balik tubuh Ditrisya. Terisak dan meneteskan air mata seperti anak kecil tersesat. Ditrisya melingkarkan kedua tangannya di sekitar punggung lebar Ahyar, sementara Ahyar menyusukan kepalanya pada lekukan leher Ditrisya.
"Habis, Di..." Gumam Ahyar dengan suara parau. "Semuanya sudah habis..."